JATIMTIMES - Puluhan warga dari lima desa di wilayah pegunungan selatan Tulungagung berkumpul di Desa Kaligentong, Tulungagung, Kecamatan Tulungagung. Mereka menggelar aksi damai untuk menuntut sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak dasar, yaitu akses listrik.
Warga yang datang bukan hanya dari Kaligentong, tetapi juga dari desa sekitar seperti Panggungkalak, Rejosari, Kalibatur, dan Kresikan. Berdasarkan keterangan salah satu mahasiswa UIN SATU yang diterima pada Minggu, 13 Juli 2025, saat berada di lokasi aksi, warga membawa spanduk dan kertas bertuliskan harapan. Mereka menyampaikan permintaan kepada pemerintah pusat hingga daerah agar jaringan listrik bisa segera masuk ke desa mereka.
Baca Juga : Dari Rumah ke Arena Turnamen, Bocah 8 Tahun Ini Uji Mental di Bhayangkara Chess Day
Seruan yang digelar sejak Sabtu (12/7) ini mereka tujukan kepada Presiden RI, Wakil Presiden, Menteri BUMN, Menteri Pertahanan, Gubernur Jawa Timur, hingga Direktur Utama PLN.
“Kami hanya ingin listrik. Ini kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Anak-anak kami sulit belajar dan aktivitas malam sangat terbatas,” ungkap seorang warga.
Selama ini, warga hidup tanpa sambungan listrik permanen. Sebagian dari mereka terpaksa memakai pelita minyak yang asapnya tidak sehat. Ada juga yang mengandalkan genset. Namun, biaya bahan bakar genset cukup memberatkan karena harus dibeli secara rutin.
Beberapa keluarga berusaha memakai tenaga surya, tetapi daya yang dihasilkan sangat terbatas dan belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Seorang Ketua RT di Kaligentong menyebutkan bahwa usaha untuk mendapatkan listrik sebenarnya sudah dilakukan berkali-kali. Mulai dari rapat warga di tingkat dusun, desa, sampai pengajuan dalam Musrenbangcam pun sudah ditempuh. Surat-surat permohonan juga pernah dikirim ke pihak PLN.
“Kami sudah bertahun-tahun mengajukan. Tapi selalu dijawab bahwa wilayah kami sulit dijangkau atau belum masuk prioritas. Lalu kapan kami akan menjadi prioritas?” keluhnya.
Warga merasa pembangunan masih timpang. Mereka melihat di perkotaan listrik berlimpah, bahkan pemerintah gencar berbicara soal digitalisasi desa dan smart village. Sementara di desa mereka, cahaya lampu di malam hari saja masih menjadi harapan. Anak-anak harus belajar di bawah penerangan lampu minyak atau lilin yang temaram. Untuk mengerjakan tugas sekolah, mereka sering kesulitan karena penerangan minim.
Baca Juga : PSG Incar Sejarah! Satu Laga Lagi Menuju Musim Sempurna
Kondisi ini semakin terasa ironis ketika warga mengingat masa lalu desa mereka. Beberapa wilayah yang ikut aksi ini dulunya merupakan kawasan perkebunan negara. Pada waktu itu, tenaga mereka dipakai untuk kepentingan negara. Namun, ketika perkebunan itu berhenti beroperasi, kehidupan mereka seolah tidak lagi diperhatikan.
“Dulu kami diminta bekerja untuk negara, sekarang kami seperti tak dianggap. Padahal kami juga bagian dari republik ini,” ujar seorang tokoh masyarakat yang hadir dalam aksi.
Hingga berita ini dibuat, belum ada pernyataan resmi dari pihak PLN atau pemerintah daerah tentang tindak lanjut tuntutan warga lima desa tersebut. Meski begitu, warga tetap berharap aksi damai ini bisa membuka mata banyak pihak bahwa masih ada saudara-saudara mereka yang hidup dalam gelap.
“Kami tidak anti pembangunan. Tapi jangan lupakan kami. Kami tidak minta muluk-muluk — cukup listrik agar anak-anak kami bisa belajar lebih baik dan warga bisa beraktivitas lebih manusiawi,” kata seorang ibu rumah tangga yang juga ikut turun ke jalan.
Aksi ini berlangsung tertib tanpa ada keributan. Setelah menyampaikan tuntutan, warga membacakan pernyataan sikap bersama. Mereka juga sempat berfoto bersama di depan spanduk tuntutan. Lewat aksi ini, mereka ingin suara mereka terdengar lebih luas, agar pihak berwenang segera turun tangan.