JATIMTIMES - Polemik dugaan korupsi pengadaan tanah di lingkungan Politeknik Negeri Malang (Polinema) memasuki babak baru. Melalui Permohonan Pra-peradilan Nomor 20/Pid.Pra/2025/PN.SBY, pihak pemohon menilai telah terjadi ketidakadilan dalam proses hukum terhadap eks Direktur Polinema Awan Setiawan (AS) dalam penetapannya sebagai tersangka.
Dalam dokumen pra-peradilan yang diajukan, terungkap bahwa pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema sudah sesuai prosedur dan legal formal. Bahkan, pengadaan ini sudah dirancang sejak tahun 2018, dengan penganggaran masuk dalam rentang waktu 2019 hingga 2024.
Baca Juga : Sinergi Bank Jatim dan Kejari Batu: MoU untuk Pencegahan Risiko Hukum
Berdasarkan informasi yang diterima JatimTIMES, pembentukan panitia pengadaan tanah sudah dilakukan sejak tahun 2019 sebagai langkah awal. Saat itu, direktur Polinema telah menerbitkan SK Nomor 689 Tahun 2019 tentang pembentukan panitia pengadaan tanah Polinema, tertanggal 11 Juni 2019.
SK Nomor 2888 Tahun 2020, pembaruan atas SK sebelumnya, diterbitkan 3 April 2020. Pembentukan panitia kedua dilakukan karena panitia pengadaan lahan yang dibentuk tahun 2019 tidak berjalan.
"Pertama tidak berjalan karena salah satu panitia masuk masa pensiun. Maka kemudian oleh klien kami, dibuat lagi panitia yang kedua. Dengan telah dibentuk panitia ini, secara otomoatis terjadi pelimpahan kewenangan. Maka (AS) tidak boleh ikut campur," terang kuasa hukum AS, Soemardhan, Kamis (10/7/2025).
Setelah pembentukan panitia, dilakukan rapat pengadaan yang menghadirkan seluruh anggota. Rapat tersebut memutuskan adanya tiga bidang tanah strategis yang akan dijadikan lokasi perluasan kampus.
Pengadaan dilakukan berdasarkan UU No 2 Tahun 2012 dan Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2015, khususnya pasal 53 yang mengatur bahwa pengadaan tanah di bawah 1 hektare bisa dilakukan langsung antara instansi pemerintah dan pemilik tanah, tanpa proses panjang.
Dalam struktur pengadaan, direktur Polinema saat itu memang berperan sebagai pengguna anggaran (PA). Namun, secara teknis, pelaksanaan kegiatan telah didelegasikan kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) dan ketua panitia pengadaan tanah.
“Delegasi ini membuat PPK bertanggung jawab penuh secara teknis. Sedangkan direktur hanya mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan secara umum,” ungkap Soemardhan.
Sebagai bukti, kliennya telah mengirimkan dua surat teguran kepada PPK. Pertama Surat Teguran Nomor 178/DIR/PL/2022, kedua Surat Teguran Nomor 179/DIR/PL/2022, tertanggal 7 September 2022. Hal ini menunjukkan fungsi pengawasan tetap dijalankan sebagaimana mestinya.
Baca Juga : Guru Besar Hukum Unair: Aneh Jika KPK Tak Periksa Khofifah
Untuk memastikan keadilan harga, pihak panitia pengadaan tanah mengajukan permohonan penilaian ke Kementerian ATR/BPN. Hasil penilaian menyebutkan, nilai tanah Rp 6,5 juta per meter persegi. Data itu merujuk dari Kantor Pertanahan Kota Malang per 23 Juni 2022.
Namun, tanah dibeli dengan nilai Rp 6 juta per meter persegi. Artinya negara justru mendapat surplus. Permohonan ini didasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan nomor 04, 07, dan 10 tertanggal 7 Januari 2021.
Meski semua proses dinilai sesuai aturan dan dokumen lengkap, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tetap menganggap tidak ada proses pengadaan tanah di Polinema.
Namun dalam sidang praperadilan, tim kuasa hukum pemohon menegaskan bahwa tuduhan ini tidak berdasar karena seluruh mekanisme pengadaan telah sesuai ketentuan hukum. Bahkan, delegasi tugas dan fungsi telah dijalankan secara administratif dan legal.
“Seharusnya direktur Polinema tidak dapat dijerat hukum pidana korupsi atas dasar ini. Seluruh pelaksanaan teknis telah dijalankan sesuai prosedur dan kewenangan masing-masing,” ucap Soemardhan.