JATIMTIMES - Wali Kota Malang Wahyu Hidayat memastikan bahwa pedagang kaki lima (PKL) bukan termasuk objek pajak. Hal tersebut ia tegaskan untuk menyikapi kekhawatiran atas perubahan yang diatur di dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Wahyu menegaskan bahwa pedagang kaki lima (PKL) maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bukanlah menjadi bagian dari obyek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) makanan dan atau minuman. Sehingga, ia berharap hal itu tidak semakin dikhawatirkan oleh para pedagang atau masyarakat lain.
Baca Juga : Hasil PPPK 2024 Tahap II Sudah Diumumkan di SSCASN, Memang Berapa Sih Gajinya?
"Tidak kena, karena itu pedagang cilok, sempol dan PKL lainnya bukan bagian dari objek pajak PBJT mamin. Itu komitmen dan keberpihakan terhadap UMKM, khususnya di sektor makanan dan atau minuman," jelas Wahyu melalui akun instagramnya.
Sebagai informasi, salah satu poin dalam Ranperda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2023 tentang PDRD yang sempat menyita perhatian publik adalah soal ambang batas omzet pengenaan PBJT mamin. Yang semula Rp 5 juta, kini pengusaha makan dan atau minum yang dapat dikenaik pajak adalah beromzet di atas Rp 15 juta.
Sedangkan pengenaan pajak tersebut hanya diberlakukan kepada pelaku usaha resto dan kafe yang menyediakan meja dan kursi bagi pelanggan untuk layanan dine in. Artinya, meskipun PKL memiliki omzet lebih dari Rp 15 juta per bulan, maka tidak akan dikenakan pajak karena bukan bagian dari objek PBJT mamin.
"Walau omzet di atas Rp 15 juta, mereka (PKL) bukan objek PBJT mamin. Jadi beda. Mereka yang masuk dan yang tidak masuk objek PBJT. Nah objek PBJT mamin ini adalah resto dan kafe juga karena punya tempat untuk dine ini," jelas Wahyu.
Selain itu, dirinya menjelaskan bahwa pengenaan PBJT mamin bukanlah langkah untuk membebani pengusaha resto ataupun kafe. Sebab, pada prinsipnya, lanjut Wahyu, pajak PBJT mamin adalah pajak yang dipungut dari konsumen untuk disetorkan kepada pemerintah daerah (pemda).
"Dengan naiknya (ambang batas omzet) dari Rp 5 juta menjadi Rp 15 juta, itu adalah bentuk komitmen dan keberpihakan Pemerintah Kota Malang terhadap keberlangsungan UMKM. Memang, perubahan itu menimbulkan lost potential PAD sebesar Rp 7 miliar. Tapi itu tidak masalah demi pertumbuhan UMKM," tutur Wahyu.
Baca Juga : Pemprov Jatim dan Uni Eropa Perkuat Kolaborasi Produksi Beras Berkelanjutan
Soal pajak, Wahyu menegaskan bahwa tak semua pelaku usaha dikenakan PBJT mamin. Salah satunya seperti minimarket. Ia mengatakan bahwa minimarket atau toko modern tidak seluruhnya dikenakan PBJT mamin. Sebagian minimarket juga ada yang hanya dikenakan pajak PPN.
"Kalau PPN sendiri dibayarkan ke Kementerian Keuangan melalui Kantor Pajak Pratama," imbuh Wahyu.
Namun, masih ada sejumlah minimarket yang bisa dikenakan PBJT mamin. Yakni minimarket yang menyediakan meja dan kursi untuk pelayanan dine in bagi pengunjung.
"Toko modern ada yang dikenakan dan tidak. Yang kena adalah minimarket yang menyediakan makan dan atau minuman dan tempat dine in. Jadi, tidak keseluruhan," pungkas Wahyu.