JATIMTIMES - Di sebuah sudut sunyi di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, berdiri bisu jejak masa lalu yang terlupakan dari wacana sejarah nasional: Situs Biting.
Di balik rimbunnya pepohonan dan garis pagar tembok kuno yang kini tertimbun tanah dan semak belukar, tersembunyi cerita besar tentang Kerajaan Lamajang Tigang Juru—kerajaan Islam paling awal di tanah Jawa, yang ironisnya tak banyak tercatat dalam narasi resmi historiografi Indonesia.
Baca Juga : Cek Kriteria Peserta yang Lulus Seleksi Kompetensi PPPK 2024 Tahap 2
Situs Biting dan Lamajang Tigang Juru: Jejak Arkeologis yang Terlupakan
Keberadaan Situs Biting telah lama dikenal masyarakat sekitar. Bahkan jauh sebelum penelitian modern dilakukan, makam Arya Wiraraja dan keturunannya sudah dikeramatkan dan diziarahi. Hal ini membuktikan kesinambungan ingatan kolektif masyarakat lokal terhadap warisan leluhur yang agung. Peneliti Belanda J. Magemen baru pada 1861 menyentuh situs ini secara ilmiah, namun bukan sebagai penemu, melainkan pencatat arkeologis pertama.
Kemudian pada 1920, A. Muhlenfeld dari Hindia Belanda melakukan penggalian dan dokumentasi awal terhadap Situs Biting. Sayangnya, hasil penelitiannya tidak dipublikasikan secara luas, berbeda dari penelitian candi-candi Hindu-Buddha yang mendapat perhatian besar.
Baru pada 1982 hingga 1991, Balai Arkeologi Yogyakarta dan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Lumajang kembali menggali dan merekonstruksi situs ini dalam 11 tahap penelitian. Dari sanalah ditemukan struktur benteng kuno dari bata, fragmen gerabah, keramik, dan artefak lainnya yang berasal dari abad ke-14 hingga ke-20.
Temuan arkeologis memperlihatkan bekas tembok benteng raksasa sepanjang 10 km, selebar 4–6 meter, dan setinggi 6–10 meter. Situs Biting diperkirakan mencakup kawasan seluas 135 hektar yang terdiri dari enam blok utama: Keraton (76,5 ha), Jeding (5 ha), Biting (10,5 ha), Randu (14,2 ha), Salak (16 ha), dan Duren (12,8 ha). Ukuran ini menunjukkan bahwa kawasan ini bukan sekadar permukiman biasa, melainkan pusat pemerintahan yang besar dan penting.
Historiografi Lamajang Tigang Juru: Kronik dan Silsilah
Negarakertagama, salah satu karya penting dari masa Majapahit, menyebut Lamajang sebagai "Lamajang Tigang Juru," yang memiliki arti "Lamajang Tiga Pemerintahan." Ini menunjukkan sistem kekuasaan yang unik dan kompleks. Dalam naskah tersebut, ibukota Lamajang disebut sebagai "Arnon," yang dalam pelafalan lokal kemudian menjadi Renon dan akhirnya dikenal sebagai Kutorenon. Aetiologi ini memperlihatkan transformasi toponim sebagai penanda kontinuitas sejarah dan budaya lokal.
Lamajang bukan hanya kerajaan awal, tetapi juga terkait erat dengan silsilah agung Majapahit. Sri Kertawarddhana, seorang tokoh penting dalam sejarah Majapahit, memiliki garis keturunan yang berakar dari wilayah ini. Dari selir asal Paguwan bernama Citra Resmi, ia menurunkan Singhawarddhana Bhre Paguhan yang menjadi leluhur Sri Wikramawarddhana (1386–1429), raja besar Majapahit. Dari Wikramawarddhana lahir Maharani Suhita (1424–1448) dan Sri Kertawijaya (1448–1451), yang dikenal sebagai Brawijaya V, sosok penting dalam transisi Hindu-Buddha menuju Islam di Jawa.
Sri Kertawijaya inilah yang disebut-sebut menurunkan sejumlah tokoh Islam awal di Jawa seperti Arya Damar (Adipati Palembang), Raden Patah (Adipati Demak), Bathara Katong (Ponorogo), Ratu Adi Pengging, Arya Lembu Peteng (Adipati Madura), hingga Bondan Kejawen dan Ki Ageng Tarub. Hubungan ini memperlihatkan keterkaitan erat antara pusat kekuasaan Majapahit dengan penyebaran Islam awal di Jawa dan Nusantara.
Nama-nama Tempat sebagai Bukti Toponimi Historis
Keberadaan nama-nama desa di sekitar Situs Biting semakin menguatkan identifikasi kawasan ini sebagai pusat pemerintahan kuno. Desa Jogoyudan (Jaga Yuddha) menunjukkan peran militer sebagai penjaga benteng. Satuan-satuan seperti Ragatruna, Jagatruna, dan Ditatruna yang menjaga perbentengan kerajaan pun kemungkinan besar berasal dari kawasan ini. Desa Paguwan, Purwosono, Petahunan, Babakan, dan Sukorejo—masing-masing mengandung makna simbolik sebagai bagian dari struktur pemerintahan dan kehidupan kerajaan.
Apalagi Paguwan disebut sebagai tempat asal Citra Resmi, selir Sri Kertawarddhana. Maka, Situs Biting bukan hanya peninggalan fisik, tapi juga sebuah locus genealogi penting dalam dinasti Majapahit. Sebuah tempat yang melahirkan keturunan agung dan membentuk peta politik serta spiritual Nusantara di masa transisi.
Jejak Islam Awal di Lamajang
Dari penelitian Agus Sunyoto, diketahui bahwa Kerajaan Lamajang memiliki hubungan dengan perkembangan awal Islam di Jawa. Arya Wiraraja yang memimpin Lamajang disebut sebagai tokoh penting dalam penguatan kekuasaan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Ia adalah sosok pemersatu, negarawan cerdas, dan pembuka jalur diplomasi antara Jawa Timur dan kerajaan-kerajaan Melayu.
Tradisi lisan dan kronik rakyat di sekitar Situs Biting memperkuat narasi bahwa Arya Wiraraja dan para penerusnya memiliki kecenderungan kepada nilai-nilai Islam awal. Hal ini bisa dilacak dari sistem pemerintahan yang inklusif, toleran, dan berbasis musyawarah. Nama "Tigang Juru" pun bisa dimaknai sebagai bentuk sistem tripartit yang mencerminkan nilai syura dalam Islam, meskipun dibungkus dalam institusi budaya Jawa kuno.
Sampai saat ini, Situs Biting belum mendapatkan perhatian serius dari lembaga penelitian nasional. Padahal, berdasarkan luas, artefak, serta kedalaman historisnya, situs ini memiliki potensi besar untuk merombak narasi arus utama tentang Islamisasi Jawa. Jika benar Lamajang Tigang Juru merupakan kerajaan Islam tertua di Jawa, maka ini mendahului Demak sebagai pusat awal penyebaran Islam di tanah Jawa.
Situs Paguwan dan Pejarakan di Randu Agung juga harus diteliti lebih lanjut karena secara genealogi dan geografis terhubung erat dengan Situs Biting. Perlu ada studi multidisipliner yang melibatkan arkeologi, filologi, antropologi, dan toponimi untuk menguak misteri besar dari kawasan ini.
Situs Biting bukan sekadar reruntuhan. Ia adalah prasasti bisu tentang bab besar sejarah Nusantara yang hilang dari pelajaran sekolah. Ia adalah cermin kejayaan Lamajang Tigang Juru, sebuah kerajaan yang menjadi benih Islam di Jawa sebelum berkembang menjadi imperium Demak dan penguasa-penguasa muslim lainnya di Nusantara.
Penulis berpendapat bahwa dalam membedah sejarah Situs Biting, perlu dikedepankan pendekatan dokumenter-kritis terhadap sumber-sumber alternatif sejarah Jawa. Pendekatan semacam ini memungkinkan pembacaan yang lebih mendalam atas data lokal, kronik, toponimi, hingga temuan arkeologis. Melalui pendekatan tersebut, rekonstruksi sejarah Lamajang sebagai salah satu kerajaan Islam awal di Jawa dapat menjadi kontribusi penting bagi perkembangan historiografi nasional.
Baca Juga : 18 Venue Cabor Kota Batu Siap Jadi Ajang Pertarungan Porprov Jatim, Ini Daftar Lengkap Jadwal dan Lokasinya
Kini, tinggal bagaimana anak bangsa menyambut panggilan sejarah ini—membaca ulang masa lalu, membongkar narasi lama, dan menempatkan Lamajang Tigang Juru di peta besar sejarah Islam dan Nusantara. Karena sejarah bukan semata soal masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa di masa depan.
Para Penguasa Lamajang Tigang Njuru: Dinasti Muslim dari Timur Jawa
Di kaki Gunung Semeru, pada kawasan yang kini dikenal sebagai Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, tersembunyi sebuah kisah kejayaan masa silam yang jarang terangkat dalam arus besar historiografi nasional. Di sinilah berdiri Situs Biting, peninggalan monumental dari Kerajaan Lamajang Tigang Njuru, yang dipandang oleh banyak kalangan sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Di balik tembok tanah setebal 6 meter dan sepanjang lebih dari 10 kilometer, tersimpan jejak dinasti para penguasa lokal yang memainkan peran krusial dalam percaturan politik Nusantara abad ke-13 hingga ke-15.
Nama “Tigang Njuru”—yang berarti “tiga arah”—menggambarkan orientasi kekuasaan Lamajang ke tiga wilayah utama: Lamajang di lereng barat Semeru, Madura di utara, dan Blambangan di timur. Kerajaan ini lahir dari pembagian kekuasaan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, tokoh sentral yang berasal dari Madura dan pernah menjabat Demung di istana Singasari. Menentang ekspansi Tantrayana ala Sri Kertanegara, Arya Wiraraja memilih membangun basis kekuatan sendiri yang lebih inklusif terhadap ajaran Islam dan struktur lokal di kawasan timur.
Setelah membantu Raden Wijaya mendirikan Majapahit, Arya Wiraraja diberi kuasa atas Lamajang. Ia membangun pusat pemerintahan di Biting dan menjadi raja pertama Lamajang Tigang Njuru. Menurut berbagai sumber, termasuk Kidung Panji Wijayakrama, Arya Wiraraja adalah seorang pemeluk Islam. Penolakannya terhadap praktik Tantrayana dan kedekatannya dengan jaringan dagang Islam memperkuat dugaan bahwa Islam telah masuk dalam struktur kekuasaan Lamajang sejak awal berdirinya kerajaan.
Setelah wafatnya, tampuk pemerintahan diwariskan kepada putranya, Sri Nararya Wangbang Menak Koncar, yang dimakamkan di kompleks Rting bersama ayahandanya. Menak Koncar juga dikenal dalam tradisi lisan masyarakat Lumajang sebagai penguasa yang memperkuat identitas Islam di wilayah ini.
Tahta berikutnya dipegang oleh putranya, Arya Wangbang Pinatih I, yang dalam beberapa sumber juga dikenal dengan nama Syaikh Manganti. Pada masa inilah keterlibatan Lamajang dalam ekspedisi-ekspedisi Majapahit mulai tampak. Syaikh Manganti adalah saudara dari Nyai Ageng Pinatih, pengasuh Raden Paku (Sunan Giri). Posisi strategis keluarga Pinatih dalam jaringan Islam pesisir memperlihatkan bahwa kekuasaan Lamajang tidak terpisah dari perkembangan Islam di kawasan utara Jawa dan Nusantara.
Arya Wangbang Pinatih I kemudian digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih II, dan setelahnya tahta berpindah ke Arya Menak Sumendi. Menak Sumendi memerintah di masa transisi penting ketika pusat kekuasaan Majapahit mengalami krisis suksesi setelah wafatnya Hayam Wuruk. Saat Wikramawarddhana naik takhta dan menghadapi konflik dengan Bhre Wirabhumi, Lamajang diintegrasikan ke dalam wilayah langsung Majapahit. Gelar raja pada penguasa Lamajang digantikan menjadi “adipati”, menandai berkurangnya otonomi wilayah ini.
Namun, pengaruh Lamajang tidak berakhir. Arya Tepasana, putra atau penerus Menak Sumendi, melanjutkan dinasti Lamajang dalam bentuk baru. Ia memiliki enam anak yang memainkan peran kunci dalam jejaring Islam Jawa. Putrinya, Nyimas Ayu Tepasari, menikah dengan Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan menurunkan Sultan-sultan Cirebon. Putri bungsunya, Nyimas Ayu Waruju, menikah dengan Raden Mahmud dari Ampel dan menurunkan tokoh-tokoh penting, salah satunya Nyai Wilis. Nyai Wilis kemudian menikah dengan Raden Kusen, Adipati Terung, dan dari pernikahan ini lahir sejumlah tokoh, seperti Adipati Arya Blitar (penguasa Blitar) serta Pangeran Arya Terung yang menjadi penguasa Sengguruh dengan gelar Adipati Sengguruh.
Jaringan pernikahan ini menunjukkan bahwa meskipun secara administratif kekuasaan Lamajang telah menjadi bagian dari Majapahit, secara budaya dan religius, para penguasanya tetap menjadi aktor penting dalam penyebaran Islam dan pembentukan aristokrasi Muslim Nusantara. Tradisi Islam di Lamajang menyebar melalui garis keturunan perempuan dan relasi strategis antardaerah.
Seiring berjalannya waktu, narasi tentang para penguasa Lamajang Tenggara ini mulai tergeser oleh dominasi sejarah Jawa sentris yang lebih menyoroti Majapahit dan Mataram. Padahal, para raja dan adipati Lamajang telah memainkan peran yang tidak kecil dalam membentuk lanskap politik dan religius di Jawa Timur dan sekitarnya.
Situs Biting yang menjadi pusat kerajaan kini menjadi situs arkeologi yang belum sepenuhnya digali potensinya. Sayangnya, pembangunan modern, seperti proyek Perumnas pada 1995, telah merusak sebagian wilayah situs. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian warisan sejarah masih menjadi tantangan serius, terutama jika menyangkut situs-situs yang tidak termasuk dalam arus utama historiografi nasional.
Melalui rekonstruksi sejarah para penguasa Lamajang Tigang Njuru, kita menemukan satu mata rantai penting dalam sejarah Islam dan kekuasaan lokal di Jawa. Dari Arya Wiraraja hingga Arya Tepasana, dari perlawanan terhadap Tantrayana hingga konsolidasi Islam dalam struktur keluarga bangsawan, Lamajang adalah cerita tentang peralihan zaman, diplomasi, dan kekuatan lokal yang tak bisa diabaikan.