free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Tekno

Peneliti Ungkap Konten Kesehatan Mental di TikTok Hoaks, Kok Bisa?

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Logo TikTok. (Foto: laman TikTok)

JATIMTIMES - TikTok menjadi tempat banyak orang mencari informasi seputar kesehatan mental. Namun, sebuah investigasi terbaru mengungkap bahwa lebih dari separuh video populer bertema kesehatan mental di platform tersebut justru memuat informasi yang salah.

Dikutip dari The Guardian, Senin (2/6/2025), investigasi terhadap 100 video teratas dengan tagar #mentalhealthtips menemukan bahwa 52 di antaranya menyebarkan informasi keliru. 

Baca Juga : Dispangtan Kota Malang Sebar 65 Petugas, Pastikan Kesehatan Hewan Kurban Jelang Idul Adha

Video-video ini dinilai mempromosikan saran yang tidak berdasar, suplemen yang belum terbukti secara ilmiah, dan klaim penyembuhan instan yang menyesatkan.

Beberapa saran aneh yang ditemukan antara lain menyarankan makan jeruk saat mandi untuk mengurangi kecemasan, meminum suplemen seperti saffron dan magnesium glycinate, hingga metode penyembuhan trauma dalam waktu satu jam. 

Ada juga konten yang menganggap pengalaman emosional normal sebagai gejala gangguan kepribadian atau bentuk kekerasan.

Dr. David Okai, konsultan neuropsikiater dan peneliti di King’s College London, mengungkap banyak video mencampuradukkan istilah seperti wellbeing, anxiety, dan mental disorder. Hal ini, menurutnya, bisa menimbulkan kesalahpahaman soal apa sebenarnya yang termasuk gangguan mental.

“Beberapa video juga memberikan nasihat berdasarkan pengalaman pribadi yang sangat terbatas dan belum tentu berlaku bagi semua orang,” ujarnya.

Okai menambahkan, konten-konten tersebut kerap menyederhanakan terapi. “Padahal terapi memang terbukti efektif, tapi bukan sulap, bukan solusi instan, dan jelas bukan metode satu untuk semua,” katanya.

Amber Johnston, psikolog yang terakreditasi British Psychological Society, juga mengkritisi video-video yang membahas trauma. Menurutnya, kebanyakan hanya mengambil satu bagian kecil dari fakta dan menyamaratakan pengalaman PTSD.

“Setiap video menganggap semua orang mengalami PTSD dengan gejala yang sama dan bisa dijelaskan dalam 30 detik. Padahal kenyataannya, gejala trauma itu sangat individual dan hanya bisa dipahami melalui bantuan profesional yang terlatih,” ucapnya.

Ia menegaskan, penyebaran klaim seperti "tips rahasia menyembuhkan trauma" justru bisa membuat penonton merasa gagal ketika saran tersebut tidak berhasil.

Mantan Menteri Kesehatan Inggris sekaligus psikiater NHS, dan Poulter, juga mengkritisi konten yang menurutnya terlalu cepat menyimpulkan pengalaman emosional sehari-hari sebagai gangguan mental serius.

“Hal ini bisa memberikan informasi yang salah kepada orang yang mudah terpengaruh dan meremehkan pengalaman hidup mereka yang benar-benar hidup dengan gangguan serius,” katanya.

Temuan ini membuat sejumlah anggota parlemen Inggris mendesak pemerintah memperketat regulasi. Chi Onwurah, anggota parlemen dari Partai Buruh yang memimpin komite teknologi, mengatakan pihaknya sedang menyelidiki penyebaran misinformasi di media sosial.

Baca Juga : Pertama di Malang Raya! Poli Psikologi Hadir di Klinik Pratama Berkat Kolaborasi PMI dan ISJ

“Sistem rekomendasi konten seperti yang digunakan TikTok justru memperkuat penyebaran misinformasi berbahaya seperti nasihat kesehatan mental yang menyesatkan ini,” ujarnya.

Senada dengan itu, anggota parlemen Liberal Demokrat Victoria Collins menyebut temuan ini “sangat mengkhawatirkan” dan mendesak pemerintah segera bertindak. Ketua komite kesehatan dan perawatan sosial, Paulette Hamilton, menyebut konten semacam itu tidak bisa menggantikan peran profesional kesehatan mental.

“Tips di media sosial tidak seharusnya menjadi pengganti bantuan dari tenaga profesional yang berkualifikasi,” tegasnya.

Menanggapi temuan tersebut, juru bicara TikTok menyebut bahwa platform telah mengambil langkah untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah. Salah satunya dengan menghapus konten yang menyarankan orang untuk tidak mencari bantuan medis atau yang mempromosikan pengobatan berbahaya.

“TikTok adalah tempat bagi jutaan orang mengekspresikan diri, berbagi perjalanan kesehatan mental mereka, dan membentuk komunitas yang suportif,” jelas perwakilan TikTok.

Ia menambahkan, 98 persen konten berbahaya telah dihapus sebelum dilaporkan oleh pengguna. TikTok juga bekerja sama dengan WHO dan NHS untuk menampilkan informasi yang terpercaya.

Pemerintah Inggris melalui juru bicara resminya mengatakan saat ini tengah mengambil langkah untuk mengurangi dampak konten misinformasi berbahaya melalui Online Safety Act. Undang-undang ini mengharuskan platform untuk menindak konten ilegal atau yang membahayakan anak-anak.

Profesor Bernadka Dubicka dari Royal College of Psychiatrists mengatakan bahwa meski media sosial bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesadaran, informasi tentang gangguan mental tetap harus berasal dari sumber yang kredibel.

“Diagnosis gangguan mental hanya bisa ditegakkan lewat penilaian menyeluruh oleh tenaga profesional,” kata Dubicka.