JATIMTIMES - Setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Hindia-Belanda, sebuah babak baru sejarah terbuka. Banyak tokoh perlawanan yang gugur, ditangkap, atau menyerah.
Salah satu tokoh paling menonjol dari kubu Diponegoro adalah Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, panglima muda yang terkenal karena kecerdasan taktis dan semangat juangnya. Namun, kisah hidupnya tak berhenti ketika perang usai. Justru, ia memasuki fase yang lebih kompleks secara moral dan politis: menjadi bagian dari tentara pemerintah kolonial sebagai letnan kolonel.
Baca Juga : Tampil Glamor Tanpa Mahal: Granit Eleganza dan Casanza Gebyar Diskon di Graha Bangunan
Dalam sejarah Perang Jawa (1825–1830) yang dikenang sebagai salah satu pemberontakan terbesar dalam sejarah kolonialisme Hindia Belanda, nama Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo tak pernah lekang dari narasi utama. Sebagai panglima karismatik dan strategis dalam barisan Pangeran Diponegoro, Sentot tampil bukan sekadar sebagai juru taktik militer, melainkan juga ikon perlawanan Jawa terhadap kolonialisme Eropa. Namun, sedikit yang mengungkap dengan tajam babak kehidupannya selepas perang -saat ia memilih "jalan damai", menerima posisi dalam struktur militer kolonial, dan memulai fase baru dalam sejarah yang penuh dilema, intrik politik, dan strategi diam-diam seorang nasionalis revolusioner yang terpaksa tunduk pada kekuatan zaman.
Penyerahan dan Masuknya Sentot ke Yogyakarta
Pada 24 Oktober 1829, di tengah situasi militer yang telah berubah drastis, Sentot beserta pengiringnya memasuki Yogyakarta, bekas pusat keraton yang kini berada dalam kendali ketat Belanda. Peristiwa ini bukan sekadar serah diri, melainkan hasil kompromi yang panjang dan rumit antara kepentingan politik, militer, dan personal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Johannes van den Bosch, dan Letnan Jenderal De Kock memandang Sentot sebagai figur potensial yang tak bisa diremehkan. Surat De Kock kepada De Klerck dalam jilid ke-5 buku De Java-oorlog van 1825–1830 menyebutkan:
“De voorwaarden door Prawirodirdjo aan zijn onderwerping verbonden, waren niet overdreven…”—syarat-syarat Sentot dalam menyerahkan diri tidaklah berlebihan, dan jika tidak diterima, besar kemungkinan ia akan kembali ke pegunungan untuk kembali melakukan perang gerilya yang melelahkan bagi pasukan kolonial.
Namun, konsesi itu bukan tanpa strategi. Sentot memahami situasi tanah air, kehancuran ekonomi, dan penderitaan rakyat. Ia menilai bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan adalah dengan mencari kompromi, walaupun itu berarti bekerja di bawah bendera lawan.
Maka demi menghindari pengorbanan lebih lanjut dan menjaga stabilitas pasca-perang, Belanda menyambut pengunduran diri Sentot dengan kemegahan. Ini bukan sekadar gestur simbolik, melainkan strategi psikologis untuk menciptakan ilusi kemenangan total atas kekuatan militer pribumi yang selama lima tahun menakutkan.
Kedatangan Sentot dirancang sebagai sebuah pertunjukan politik: "De intrede in Djocjakarta" dilakukan secara mewah dan penuh simbolisme. Penyerahan ini dilaksanakan dengan tata upacara yang terhormat. Hal ini bukan tanpa maksud. Bagi pemerintah Hindia-Belanda, sambutan semacam ini adalah bagian dari strategi komunikasi politik.
Pemerintah kolonial, melalui Jenderal De Kock, menampilkan rekonsiliasi sebagai kemenangan moral, sedangkan Sentot memanfaatkannya sebagai kompromi strategis.
Sentot sebagai Letnan Kolonel: Awal Babak Baru
Bersamaan dengan penyambutan itu, dimulailah babak baru dalam kehidupan Sentot. Ia diangkat sebagai letnan kolonel di bawah Letnan Jenderal De Kock, langsung menjadi bagian dari struktur komando militer Hindia-Belanda. Meski usianya baru 21 tahun, ia telah meniti tangga tertinggi dalam hirarki militer kolonial untuk pribumi. Pemerintah kolonial bahkan menempatkan Luitenant De Leau sebagai mentornya.
Namun, dari sisi lain, pengangkatan ini adalah bagian dari strategi deradikalisasi. Dengan memberikan posisi resmi dan kehormatan, Belanda berharap menjinakkan semangat revolusioner Sentot. Ini tercermin dalam catatan De Kock sendiri bahwa "Sentot adalah panglima luar biasa" dan jika tidak diberi jalan, ia bisa menjadi ancaman serius.
Sebagai letnan kolonel di Hindia Belanda, Sentot diberi wewenang untuk memimpin pasukannya sendiri, yang terdiri atas tiga pangeran, empat tumenggung utama, 37 tumenggung lainnya, 352 prajurit infanteri, panji-panji, serta para pemimpin kecil, dan sekitar 300 prajurit tambahan. Jumlah pasukan ini kemudian bertambah menjadi lebih dari 600 orang.
Sentot didampingi oleh seorang pembimbing militer bernama Letnan de Leau.
Dari sinilah narasi kompleks dimulai. Dalam usia yang masih sangat muda, baru menginjak 21 tahun, ia memimpin kekuatan militer besar. Letnan de Leau ditunjuk secara resmi sebagai pengawas pendampingnya.
Status ini menempatkan Sentot pada posisi ambigu: secara formal ia bagian dari aparatus kolonial, namun secara emosional dan historis, ia masih bagian dari revolusi. Ia tinggal di Yogyakarta, namun peran aktifnya dalam medan militer mulai dikurangi.
Ketika Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830, fase perlawanan besar rakyat Jawa resmi berakhir. Namun perjuangan Sentot belum padam; ia sekadar menunduk, belum menyerah secara batin.
Sentot Prawirodirdjo mengawali kiprahnya sebagai letnan kolonel Hindia Belanda dengan penempatan resmi di jantung kekuasaan kolonial di Yogyakarta. Namun, dinamika politik pasca-perang mengubah konstelasi. Usai penangkapan Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830, posisi strategis Sentot tak lagi berada di pusat kekuasaan lama. Ia dipindahkan ke Salatiga—sebuah pergeseran yang menandai fase baru dalam pengawasan dan pembatasan gerak seorang bekas panglima Perang Jawa yang kini berada di bawah bayang-bayang kolonial.
Pada Mei 1831, surat dari Kolonel Cochius menginformasikan bahwa Sentot akan dipindahkan dari Salatiga ke Batavia. Dalam surat tertanggal 27 Mei 1831, Cochius menjelaskan alasan pemindahan ini terkait dengan upaya konsolidasi militer dan pemutusan hubungan dengan unsur-unsur bekas pemberontakan:
“...het op voet van vrede brengen van het leger... om wanneer hier of daar iets mogt voorvallen, dan over die magt te kunnen disponeeren.”
Dalam laporan tersebut, Cochius menyatakan bahwa Sentot memahami pentingnya menjaga kedamaian dan kestabilan politik, dan bersedia tinggal di Batavia bersama istri dan anak-anaknya.Sentot sendiri menerima rencana ini, namun mengajukan permohonan logis: kenaikan gaji untuk dirinya dan para tokoh utama barisannya karena biaya hidup di Batavia tinggi. Permintaan ini dikabulkan.
Kebijakan kolonial hendak menjauhkan Sentot dari Jawa Tengah—basis lama kekuatannya—dan mendekatkannya ke pusat kekuasaan. Namun kebijakan ini bukan tanpa risiko. Di Batavia, delapan orang dari barisan Sentot yang terlibat pelanggaran militer dijatuhi hukuman. Sentot mengajukan permohonan agar mereka tidak dikirim ke Fort Oranje, tetapi ditugaskan padanya untuk pekerjaan ringan. Gubernur jenderal menyetujui. Ini mencerminkan posisi tawar yang masih tinggi dari mantan senopati Diponegoro tersebut.
Langkah ini mencerminkan strategi kolonial yang cermat: mengisolasi tokoh-tokoh perlawanan dari basis dukungannya, sekaligus memelihara loyalitas mereka melalui konsesi finansial dan simbolik. Sentot tahu benar bahwa ia dimanfaatkan, namun ia juga memainkan perannya dengan penuh kesadaran.
Dendam dan Perlawanan Tersembunyi: Sumatera Barat
Namun babak paling dramatis dari kisah pasca-perang Sentot adalah ketika ia dikirim ke Sumatera Barat, dalam konteks penanganan Perang Padri yang belum juga padam. Di Minangkabau, Sentot menemukan resonansi ideologis dengan para tuanku dan penghulu Islam yang juga menentang dominasi kolonial. Laporan Letnan Kolonel Elout kepada Mayor de Quay tertanggal 23 Februari 1833 secara gamblang menyatakan:
“De Ali Bassa heeft met hen, buiten mijn weten, een overeenkomst gemaakt... dat hij hen zou helpen om ons te verdrijven.”
Baca Juga : Mabes AD Lakukan Wasev TMMD 124 di Jember, Irut-IV : Optimis Selesai Sesuai Jadwal
Ali Bassa -nama lain Sentot- diduga menjalin hubungan rahasia dengan para ulama Minangkabau. Ia berjanji akan membantu mereka mengusir Belanda jika dalam dua tahun tidak diperoleh kemerdekaan secara damai. Sentot bahkan menetap di rumah Jang di Pertoan dari Pager Oejong dan merayakan hari raya di sana.
Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika dalam laporan resmi dari Gubernur Jenderal Van den Bosch tertanggal 8 Maret 1833, disebutkan bahwa Sentot telah menyebut dirinya sebagai "Radja Jawa, Sultan Alam" dan mengambil sumpah setia dari para pemimpin lokal kepada dirinya sebagai Opperbevelvoerder. Ia juga mengubah namanya menjadi Mohamad Ali Bassa.
Laporan ini menyulut badai di Batavia. Sentot dituduh telah melebihi wewenang, merancang pemberontakan baru, dan menggalang dukungan dari bekas lawan kolonial. Ia dituntut memberikan klarifikasi atas semua tuduhan tersebut. Namun belum sempat babak baru ini berkembang menjadi gerakan bersenjata, takdir berkata lain.
Pemerintah kolonial tak ingin mengambil risiko. Reputasi Sentot sebagai mantan jenderal revolusioner terlalu berbahaya jika dibiarkan berkembang di tanah Minang yang bergolak. Setelah berbagai tuduhan terhadap dirinya, Sentot ditarik dari Sumatera dan diam-diam diasingkan ke Bengkulu.
Di sana, jauh dari pusat kekuasaan dan medan perang, hidupnya meredup dalam keterasingan. Ia wafat dalam pengasingan pada 17 April 1855, dalam usia 47 tahun. Sejarah mencatat, ia tidak kembali mengangkat senjata, namun juga tak pernah sepenuhnya tunduk. Dalam diam, ia tetap menyimpan dendam dan harapan tentang kebangkitan bangsanya.
Sentot Alibasah Prawirodirdjo: Anak Revolusi dari Maospati
Sentot lahir dengan nama Raden Bagus Sentot di Istana Maospati, Madiun, pada tahun 1808.Ia adalah putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo III, wedana bupati Madiun (1801–1810), dan Nyimas Ageng Genosari. Ayahnya adalah cucu Sultan Hamengkubuwono I dan menantu Sultan Hamengkubuwana II (melalui pernikahan dengan GBRAy Maduretno), menjadikan Sentot bagian dari elite politik-militer Yogyakarta. Leluhur Sentot, Raden Ronggo Prawirodirdjo I, adalah panglima dan tokoh penting dalam Perang Suksesi Jawa III dan pembela kekuasaan Yogyakarta.
Tahun 1810, ayahnya memberontak terhadap pemerintahan kolonial Daendels dan gugur dalam pertempuran di Sekaran, Kertosono. Ia dimakamkan di Banyusumurup, tempat khusus bagi "pemberontak", sebelum dipindahkan ke Gunung Bancak oleh Sultan Hamengkubuwana IX pada 1957 sebagai bentuk rehabilitasi sejarah. Kematian ayahnya mewariskan trauma sekaligus semangat perjuangan yang membentuk karakter Sentot.
Didikan Militer dan Lingkungan Politik
Pasca-tragedi, Sentot kecil dibesarkan dalam pengawasan kraton Yogyakarta, namun bukan sebagai tawanan. Ia mendapat pendidikan militer langsung dari lingkungan istana dan para senopati kawakan. Di sinilah ia menjalin hubungan erat dengan Pangeran Diponegoro—calon pemimpin besar Perang Jawa—yang kemudian menjadi iparnya setelah menikahi Raden Ayu Maduretno, kakak Sentot.
Naik ke Panggung Sejarah
Dalam Perang Jawa (1825–1830), Sentot tampil sebagai senopati utama Diponegoro. Ia dikenal karena strategi gerilya dan kepemimpinan lapangan yang menggetarkan pihak kolonial. Identitasnya sebagai bangsawan, anak pejuang, dan murid langsung revolusi menjadikannya simbol perjuangan militer melawan kolonialisme.
Sentot bukan sekadar panglima perang. Ia adalah personifikasi dari dendam politik, darah kepahlawanan, dan warisan panjang perlawanan Jawa terhadap dominasi asing. Sejarahnya menjembatani masa krisis internal istana, perlawanan rakyat, dan transisi kekuasaan yang penuh gejolak.
Historiografi Sentot Alibasyah Prawirodirdjo pasca-Perang Jawa tidak bisa dibaca secara linear. Ia bukan sekadar pengkhianat, seperti yang sering dibisikkan dalam narasi populer, juga bukan sekadar patriot murni tanpa cela. Ia adalah seorang pragmatis revolusioner yang sadar bahwa kekalahan bukan akhir perjuangan, dan bahwa kadang strategi untuk bertahan menuntut pengorbanan martabat jangka pendek demi ruang gerak masa depan.
Sentot hidup dalam dua dunia. Di satu sisi, ia adalah seorang perwira kolonial dengan jabatan resmi dan gaji. Di sisi lain, ia tetap menyimpan idealisme perjuangan dan loyalitas kepada Islam dan sesama kaum pergerakan. Perilakunya menunjukkan kompleksitas batin dan strategi bertahan dari seorang tokoh yang berada dalam tekanan sejarah.
Ia tidak pasrah total kepada kolonialisme. Justru, ia memainkan peran ganda: sebagai perwira resmi dan agen moral yang tetap memelihara semangat revolusi. Keputusan untuk meminta agar delapan orang dari barisannya yang dihukum dapat tetap bekerja di bawah komandonya (keputusan Gubernur Jenderal, 22 Mei 1832 No. 2) adalah bukti bagaimana ia tetap menjaga solidaritas internal pasukannya.
Langkahnya menjadi letnan kolonel Belanda adalah pilihan pahit di tengah kondisi yang menghimpit. Namun di balik itu, ia tetap menjadi simbol perlawanan yang menyala dalam senyap. Ia menjalin kontak dengan kelompok perlawanan di Minangkabau, mempertahankan idealisme Islam dan semangat jihad, serta menjaga identitas kebangsaan dalam balutan jabatan kolonial. Sentot adalah representasi paradoks sejarah kolonial: antara kolaborasi dan resistensi, antara keterpaksaan dan kelicikan politik.
Penulis berpandangan, sejarah Diponegoro dan orang-orang di sekitarnya harus dibaca dengan lensa yang lebih dalam dari sekadar pengkhianatan atau kepahlawanan. Ia adalah sejarah manusia-manusia yang hidup di tengah krisis, dan membuat pilihan-pilihan tragis demi mempertahankan sisa-sisa kedaulatan. Dalam arus sejarah itu, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo berdiri sebagai simbol tragedi dan keagungan: setia pada bangsa, bahkan saat berdiri di sisi musuhnya.