free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Raden Jaka Tingkir: Dari Yatim Pengging Menjadi Kaisar Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi: Raden Jaka Tingkir, Sang Kaisar Jawa. Dari jejak kaki seorang santri, ia menapaki tahta sebagai Sultan Hadiwijaya, membuka babak baru dalam sejarah tanah Jawa. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam lembaran sejarah Nusantara, nama Raden Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya menempati posisi istimewa sebagai figur transformatif yang menjembatani era kejayaan Demak dengan kemunculan Mataram Islam.  Perjalanan hidupnya, dari seorang anak yatim di Pengging hingga menjadi pendiri Kesultanan Pajang, merupakan narasi epik yang sarat dengan intrik politik, spiritualitas, dan legitimasi kekuasaan.  Babad Tanah Jawi menggambarkan momen sakral ketika wahyu keprabon turun kepadanya: 

"Cinarita Jumungah marêngi | lingsir wêngi saking lèr kang cahya | nalika wahyu dhawuhe | muncar kadya andaru | manjing marang Dyan Jaka Tingkir | waridah ing karajan | wus angalih pulung | pulungira Sultan Dêmak | nganti sangat mring putrangkat Jaka Tingkir | eca panendranira." (Sekar Asmaradana pupuh 40, Babad Tanah Jawi) 

Baca Juga : Jangan Dianggap Remeh, ini Keutamaan Berwudhu Sebelum Tidur

Ayat ini menandai legitimasi spiritual atas kekuasaan yang kelak diemban oleh Jaka Tingkir, menegaskan bahwa kepemimpinannya bukan semata hasil intrik politik, melainkan juga kehendak ilahi. 

Menurut pupuh ke-40 Sekar Asmaradana dalam Babad Tanah Jawi, tampak Wahyu Ratu—yang oleh para pujangga digambarkan sebagai cahaya langit menyerupai andaru—turun menyongsong Raden Jaka Tingkir, menyelinap masuk dalam tubuhnya, menjadikannya pengemban takdir besar: penegak trah baru kekuasaan Jawa. Peristiwa mistis ini menandai transfigurasi Mas Karebet—nama kecil Raden Jaka Tingkir—dari anak yatim yang malang menjadi Sultan Hadiwijaya, penguasa pertama Keraton Pajang dan pelopor dinasti baru pasca-keruntuhan Demak.

Mas Karebet lahir pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal, di ujung masa keemasan Majapahit yang mulai runtuh akibat kemunculan kekuatan baru: Kesultanan Demak. Ia adalah putra dari Raden Kebo Kenanga—yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging—penguasa wilayah Pengging dan keturunan langsung Sri Makurung Prabu Handayaningrat. Dari garis ibunya, Retno Pembayun, Mas Karebet juga merupakan cucu Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.

Meskipun berasal dari darah bangsawan, hidup Mas Karebet jauh dari kemewahan. Ketika usianya baru menginjak dua tahun, sang ayah tewas dalam peristiwa tragis. Ia gugur tertusuk keris oleh Sunan Kudus saat ekspedisi militer Demak menghancurkan Pengging, yang dituduh memberontak. Duka belum usai, tak lama kemudian ibunya, Rara Alit, wafat karena kesedihan yang mendalam.

Ki Ageng Pengging adalah seorang penguasa yang enggan mengejar kekuasaan. Ia memilih menjauh dari dunia politik dan menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang santri sekaligus petani. Ia dikenal sebagai murid Syekh Siti Jenar—tokoh sufi kontroversial yang ajarannya pernah dianggap menyimpang oleh sebagian kalangan Walisongo. Namun, sejumlah temuan terbaru menunjukkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar sejatinya tidak menyimpang dan masih berpijak pada syariat Islam. Selain itu, Ki Ageng Pengging juga menjalin persahabatan erat dengan Sunan Kalijaga, seorang wali yang dikenal dengan metode dakwahnya yang lembut dan akomodatif terhadap budaya lokal.

Yatim piatu sejak balita, Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir dan tumbuh sebagai anak petapa, pengelana spiritual yang mencari jati diri dalam sunyi. Ia berguru pada para tokoh agung masa itu: Ki Ageng Selo yang dikenal mampu menangkap petir, Sunan Kalijaga sang wali bijak, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Adirasa, hingga Ki Buyut Banyubiru. Dari merekalah ia mewarisi ilmu kasampurnan, kebijaksanaan politik, dan wawasan spiritualitas mendalam yang kelak menjadikannya raja.

Mereka yang arif telah lebih dahulu tahu, bahwa anak dari Pengging ini akan menjadi raja. Bahkan ayahnya sebelum wafat, sebagaimana ditulis dalam banyak babad, telah mendapatkan wangsit bahwa garis keturunannya akan melahirkan raja besar. Dan sejarah membuktikan, bahwa dari rahim Ratu Mas Cempaka—putri Sultan Trenggana dan cucu Sunan Kalijaga—lahirlah keturunan yang kelak menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa.

Mas Karebet atau Jaka Tingkir mulai menapaki tangga kekuasaan dari bawah. Ia masuk ke istana Demak sebagai prajurit tamtama dan kemudian dipercaya sebagai Lurah Wira Tamtama. Dedikasi dan keberaniannya membuatnya dilantik menjadi pengawal pribadi Sultan Trenggana, dan kelak diangkat sebagai adipati dengan gelar Adipati Pajang. Meskipun sempat diusir karena fitnah, nasib kembali berpihak padanya. Enam bulan setelah peristiwa itu, ia justru dijodohkan dengan Ratu Mas Cempaka. Sebuah pernikahan politik dan spiritual yang mengukuhkan posisinya.

Sultan Trenggana wafat dalam ekspedisi ke Panarukan tahun 1546. Kekosongan kepemimpinan menimbulkan konflik suksesi di tubuh Demak. Di tengah situasi genting itu, Sunan Giri Prapen dan Sunan Kalijaga mengangkat Joko Tingkir sebagai Sultan Pajang tahun 1458 (kalender Jawa), dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Maka, berpindahlah pusat kekuasaan dari pesisir ke pedalaman, dari Demak ke Pajang, menandai pergantian dinasti politik yang signifikan.

Keraton Pajang pun berdiri tegak di tanah pedalaman, sekitar 30 legua dari pantai, sebagaimana dicatat oleh Diego de Couto dalam Da Asia. Menurutnya, raja Pajang saat itu tidak hanya memerintah satu negeri, tetapi menjadi "Emperador destes"—kaisar bagi kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Francis Drake yang singgah di Blambangan pada tahun 1580 juga mencatat bahwa seluruh tanah Jawa tunduk pada satu raja agung, meskipun ia tidak menyebut Pajang secara eksplisit. Tapi dari kronologi, hanya Sultan Hadiwijaya lah yang paling pantas menyandang status itu.

Meskipun demikian, struktur kekuasaan di era Pajang bersifat federatif. Ratu Jepara, misalnya, bertindak independen dalam penyerbuan ke Malaka tahun 1574, dan wilayah Demak tetap menunjukkan otonomi politik tertentu hingga pertengahan abad ke-16. Namun fakta ini tidak menafikan posisi superior Pajang di antara kerajaan pesisir kala itu.

Dalam kurun pemerintahannya selama 32 tahun, Sultan Hadiwijaya membangun infrastruktur pemerintahan yang terorganisasi, membina hubungan diplomatik dengan kerajaan luar Jawa, dan melakukan konsolidasi kekuasaan atas wilayah-wilayah penting seperti Tuban, Surabaya, dan Jepara. Ketujuh anaknya pun dinikahkan secara strategis: Ratu Mas Kumelut di Tuban, Ratu Mas Adipati di Surabaya, dan Ratu Mas Jepara dengan Arya Pangiri dari trah Panembahan Prawata. Sementara anak lelakinya, Pangeran Benawa dan Sindusena, disiapkan untuk melanjutkan estafet kekuasaan.

Namun tak semua berjalan mulus. Di akhir masa pemerintahannya, Sultan Hadiwijaya menghadapi gejolak politik dan pemberontakan elite yang merongrong kekuasaan Pajang. Setelah wafatnya pada tahun 1590-an, ia dimakamkan di Pasareyan Butuh, Sragen, bersama putranya Adipati Benawa. Kepemimpinan pun berpindah ke tangan Benawa, namun hanya berlangsung singkat—tiga tahun saja.

Baca Juga : Maharani Sri Suhita: Ratu Kencana Wungu yang Memulihkan Ekonomi Majapahit

Dinasti Pajang perlahan meredup. Namun warisannya tetap hidup. Dari keturunan Sultan Hadiwijaya, melalui pernikahan politik Ratu Mas Hadi—putri Benawa—dengan Panembahan Hanyakrawati dari Mataram, lahirlah generasi emas: Sultan Agung Hanyakrakusuma, pemersatu tanah Jawa yang berjaya pada abad ke-17.

Dengan demikian, meskipun usia Pajang sebagai pusat kekuasaan hanya tiga dekade lebih sedikit, perannya dalam sejarah politik Jawa sangat besar. Ia adalah jembatan dari kejayaan pesisir Demak menuju kebangkitan pedalaman Mataram. Dan di pusat narasi ini berdiri tokoh visioner yang ditempa dari derita dan laku spiritual panjang: Raden Jaka Tingkir.

Sebagai sosok sejarah, Sultan Hadiwijaya adalah figur yang menggabungkan tradisi ksatria, etika santri, dan naluri politik raja. Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, hingga laporan pelaut asing seperti Drake dan de Couto semuanya menggarisbawahi satu hal: ia bukan sekadar pemegang kekuasaan, tetapi penentu arah sejarah Jawa.

Kini, makamnya yang sunyi di Butuh, Sragen, menjadi tempat ziarah sejarah. Di situlah, riwayat seorang anak yatim dari Pengging yang menjelma menjadi Kaisar Jawa mencapai puncaknya. Sebuah narasi epik yang tak hanya layak dikenang, tapi juga direnungi dalam-dalam.

Sayembara Pembunuhan Arya Penangsang dan Lahirnya Kesultanan Pajang

Pertempuran antara Kesultanan Pajang dan Adipati Jipang, Arya Penangsang, menjadi titik balik dalam sejarah Jawa abad ke-16. Konflik ini menandai akhir Kesultanan Demak—yang terakhir dipegang oleh faksi Demak-Jipang—dan menjadi fondasi berdirinya Kesultanan Pajang di bawah Sultan Hadiwijaya, nama takhta Raden Jaka Tingkir.

Setelah Sultan Trenggana wafat pada 1546 dalam ekspedisi ke Panarukan, kursi kekuasaan Demak goyah. Arya Penangsang, cucu Raden Patah dan putra Raden Kikin (Sekar Seda Lepen), merasa berhak atas takhta Demak, namun kekuasaan direbut oleh Jaka Tingkir, menantu Trenggana, yang memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang. Situasi ini melahirkan ketegangan berdarah antara dua poros: Jipang-Demak sebagai warisan pesisir utara, dan Pajang yang mulai tumbuh di pedalaman selatan.

Menurut tradisi Jawa seperti dalam Babad Tanah Jawi, Sultan Hadiwijaya tidak langsung menghadapi Arya Penangsang. Ia justru menggelar sayembara: siapa pun yang bisa menyingkirkan Arya Penangsang akan diberi hadiah tanah. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi, dua tokoh penting dari pedalaman, menyanggupi tantangan ini. Putra Pamanahan, Sutawijaya (kelak pendiri Mataram), dipercaya untuk mengeksekusi tugas tersebut.

Dalam narasi babad, Arya Penangsang tewas tragis oleh kerisnya sendiri dalam duel melawan Sutawijaya. Namun dokumen Belanda dari arsip Koloniaal Archief No. 1218 (1677) memberikan gambaran berbeda: pertempuran terjadi dalam bentuk ekspedisi militer ke wilayah yang disebut “Soude”, yang diduga merujuk pada desa Sudah atau Sudu, dekat Jipang dan Bengawan Solo. Laporan itu menyebut tokoh penting bernama “Kiai Gede Mataram”—yang diyakini adalah Ki Ageng Pamanahan—berperan besar dalam ekspedisi ini dan kemudian dianugerahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang sebagai imbalan.

Setelah kematian Arya Penangsang sekitar tahun 1554, Jipang jatuh. Runtuhlah Demak sebagai kesultanan pesisir yang digantikan oleh kekuatan baru: Kesultanan Pajang. Namun akar kekuasaan tidak sepenuhnya berpindah. Anak Ki Ageng Pamanahan, Sutawijaya, kelak memberontak terhadap Pajang dan membentuk Kesultanan Mataram. Maka, sayembara pembunuhan Arya Penangsang bukan hanya akhir satu rezim, tetapi awal dari rangkaian dinasti baru yang mendominasi tanah Jawa hingga abad ke-18.

Rekonstruksi historiografi berbasis dokumen kolonial ini memperkaya narasi tradisional dan menunjukkan bahwa konflik Penangsang vs Pajang merupakan perang politik yang kompleks, dengan strategi militer, geografis, dan patronase politik—bukan sekadar duel heroik seperti yang sering diceritakan dalam babad.