JATIMTIMES - Majapahit, sebuah kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara, memiliki sejarah yang kaya dengan pemimpin-pemimpin luar biasa. Salah satunya adalah Maharani Sri Suhita, penguasa keenam yang memerintah dari tahun 1409 hingga 1447 Masehi. Dikenal dengan julukan "Ratu Kencana Wungu," Maharani Sri Suhita meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Majapahit melalui upayanya memulihkan ekonomi kerajaan pasca Perang Paregreg.
Prabu Sri Suhita: Pemimpin Wanita yang Berkuasa
Prabu Sri Suhita, atau dalam catatan China dikenal sebagai Su King Ta, adalah seorang penguasa perempuan yang tangguh. Naik takhta pada usia sekitar 20 tahun, ia menggantikan ayahnya, Maharaja Wikramawardhana. Ketika Sri Suhita memerintah, Majapahit berada dalam masa pemulihan setelah Perang Paregreg, sebuah perang saudara yang melibatkan keluarga kerajaan sendiri dan meninggalkan luka mendalam dalam struktur sosial dan ekonomi kerajaan.
Baca Juga : Negosiasi di Balik Giyanti: Saat Pangeran Sambernyawa Hampir Menjadi Susuhunan Surakarta
Prabu Sri Suhita, raja perempuan kedua dalam sejarah Kerajaan Majapahit setelah Tribhuwana Wijayatunggadewi, merupakan lambang keberanian dan ketangguhan. Di tengah pusaran konflik dan tantangan berat yang mengancam stabilitas kerajaan, Sri Suhita tampil sebagai pemimpin yang kuat dan visioner. Di bawah pemerintahannya, Sri Suhita tidak hanya berjuang untuk mempertahankan kejayaan Majapahit, tetapi juga menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan sejati tidak ditentukan oleh gender.
Sri Suhita memerintah dengan penuh kebijaksanaan dan keberanian, mengarahkan kerajaan melalui masa-masa sulit dengan keputusan yang bijak dan tindakan yang tegas. Ia menghadapi ancaman internal dan eksternal dengan pandangan jauh ke depan, selalu siap menghadapi badai dengan keteguhan hati. Kepemimpinannya menjadi bukti nyata bahwa seorang perempuan mampu memimpin dengan keunggulan dan ketegasan yang sebanding, atau bahkan melampaui, para raja sebelumnya.
Dalam setiap langkahnya, Sri Suhita menegaskan bahwa kekuatan seorang pemimpin terletak pada visi yang mendalam dan keberanian untuk menghadapi tantangan tanpa gentar. Ia berhasil memelihara warisan Majapahit, memperkuat posisinya dalam sejarah sebagai penguasa yang tak hanya mempertahankan, tetapi juga memperkokoh kejayaan kerajaan. Kepemimpinannya menginspirasi, mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang keteguhan hati dan kemampuan untuk melihat melampaui rintangan, membawa bangsa menuju masa depan yang lebih cerah
Silsilah dan Asal Usul
Kitab Pararaton menyebutkan silsilah Sri Suhita dengan cara yang tidak sepenuhnya jelas. Ibu kandung Sri Suhita tidak disebutkan secara tegas dalam kitab tersebut, tetapi diyakini bahwa ia adalah putri dari Bhre Daha kedua. Bhre Daha adalah gelar yang diberikan kepada tokoh perempuan berpengaruh di Majapahit. Bhre Daha pertama adalah Rajadewi, putri bungsu Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani. Dari pernikahan ini lahir Bhre Daha kedua, yang menjadi selir Maharaja Wikramawardhana setelah kekalahan Bhre Wirabhumi dalam Perang Paregreg.
Sri Suhita kemudian menggantikan ibunya sebagai Bhre Daha ketiga setelah sang ibu meninggal dunia menjelang bencana kelaparan tahun 1426. Ketika ayahnya, Wikramawardhana, wafat, Sri Suhita naik takhta sebagai penguasa Majapahit pada tahun 1429.
Aji Ratnapangkaja, suami Sri Suhita, juga memiliki silsilah yang rumit dan kaya dengan darah bangsawan. Ia bergelar Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja dan berasal dari keluarga yang erat kaitannya dengan para penguasa Majapahit. Ibunya adalah Surawardhani, yang dikenal juga sebagai Bhre Kahuripan, adik dari Wikramawardhana. Ayahnya, Raden Sumirat, memegang gelar Bhre Pandansalas dengan julukan Ranamanggala.
Catatan Nagarakretagama menyebutkan bahwa Surawardhani belum menikah pada tahun 1365 dan masih memegang gelar Bhre Pawanuhan. Gelar Bhre Kahuripan baru diwarisi oleh Surawardhani setelah kematian neneknya, Tribhuwana Tunggadewi, yang sebelumnya memegang posisi tersebut. Setelah kematian Surawardhani, gelar ini kemudian diberikan kepada Ratnapangkaja.
Ratnapangkaja tidak hanya memiliki hubungan darah yang dekat dengan para penguasa Majapahit, tetapi juga memiliki ikatan perkawinan yang rumit. Ia memiliki tiga saudara perempuan: Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Masing-masing dari mereka menikah dalam lingkaran kekuasaan yang erat, memperlihatkan jalinan rumit di antara dinasti Majapahit.
Masa Pemerintahan Maharani Sri Suhita
Maharani Sri Suhita naik takhta menggantikan ayahnya, Maharaja Wikramawardana, setelah masa-masa kelam yang ditinggalkan oleh Perang Paregreg. Perang saudara yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya tersebut membawa dampak yang besar bagi Majapahit, terutama dalam aspek ekonomi. Ketika Maharani Sri Suhita mulai memerintah, kondisi ekonomi kerajaan sedang berada di titik nadir.
Maharani Sri Suhita dikenal dengan julukan "Ratu Kencana Wungu," yang merujuk pada kebiasaannya menaiki kereta berwarna ungu saat berpergian. Ungu adalah warna yang jarang dan mahal pada masa itu, yang sering kali melambangkan kebangsawanan dan kekuasaan. Julukan ini tidak hanya menekankan statusnya sebagai penguasa, tetapi juga menambahkan aura misterius dan elegan pada kepemimpinannya.
Selama Perang Paregreg, yang merupakan perang saudara antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi, Ratnapangkaja menghadapi dilema besar. Kitab Pararaton mencatat bahwa ia bingung harus berpihak kepada siapa. Jika pada saat itu ia sudah menikahi Sri Suhita, maka kemungkinan besar ia akan mendukung Wikramawardhana, ayah mertuanya. Namun, ketidakjelasan Pararaton mengenai masa ini menunjukkan betapa rumitnya politik dan aliansi di Majapahit.
Setelah mengambil alih kekuasaan, Maharani Sri Suhita segera menyadari bahwa stabilitas ekonomi adalah kunci untuk memulihkan kejayaan Majapahit. Dengan penuh tekad, ia mengarahkan upaya dan sumber daya untuk memperbaiki kondisi ekonomi kerajaan yang terpukul oleh konflik internal.
Langkah pertama yang diambilnya adalah membenahi sistem perpajakan dan perdagangan. Maharani Sri Suhita mengoptimalkan pajak dan merangsang perdagangan dengan negara-negara tetangga. Melalui kebijakan ini, kerajaan mulai menerima aliran pendapatan yang stabil dan mampu mendanai berbagai proyek pembangunan.
Setelah perang, Sri Suhita berupaya keras untuk memulihkan stabilitas Majapahit. Salah satu langkah penting dalam pemerintahannya adalah menghukum mati Raden Gajah, yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Bhre Wirabhumi selama Perang Paregreg. Keputusan ini menandakan tekadnya untuk menegakkan keadilan dan membalaskan dendam keluarga.
Pada masa pemerintahan Sri Suhita, Majapahit berusaha untuk bangkit dari kehancuran ekonomi dan sosial akibat perang. Dengan kebijakan-kebijakannya yang fokus pada pemulihan dan stabilitas, ia berhasil mengembalikan sebagian kejayaan kerajaan.
Baca Juga : Hujan di Tulungagung Robohkan Pohon Kecrutan di Depan Stadion Rejoagung
Selain itu, Maharani Sri Suhita juga mendorong pembangunan infrastruktur dan revitalisasi sektor pertanian. Ia memerintahkan pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan berbagai wilayah dalam kerajaan, memudahkan pergerakan barang dan orang. Dengan adanya infrastruktur yang baik, perdagangan dalam negeri menjadi lebih lancar dan efisien.
Di sektor pertanian, Maharani Sri Suhita mengimplementasikan kebijakan yang membantu para petani untuk meningkatkan hasil panen mereka. Ia mendistribusikan benih unggul dan menyediakan irigasi yang lebih baik. Kebijakan-kebijakan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga memastikan pasokan pangan yang stabil untuk kerajaan.
Keberhasilan dalam bidang ekonomi membawa stabilitas politik dan sosial. Maharani Sri Suhita memastikan bahwa semua lapisan masyarakat merasakan manfaat dari kebijakannya. Ia juga menegakkan hukum dengan tegas, menjaga ketertiban dan keadilan di seluruh wilayah kekuasaannya. Kepemimpinannya yang adil dan bijaksana membuat rakyat Majapahit merasa aman dan tenteram.
Sri Suhita meninggal pada tahun 1447, meninggalkan kerajaan Majapahit dalam kondisi yang lebih stabil dibandingkan saat ia naik takhta. Setelah kematiannya, ia digantikan oleh Maharaja Kertawijaya. Warisannya sebagai pemimpin wanita yang kuat dan tangguh tetap dikenang dalam sejarah Majapahit. Bersama dengan Aji Ratnapangkaja, Sri Suhita telah menavigasi masa-masa sulit dan meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah Nusantara.
Kisah Maharani Sri Suhita sebagai "Ratu Kencana Wungu" adalah cerita tentang keberanian dan keteguhan dalam menghadapi tantangan. Kepemimpinannya yang fokus pada pemulihan ekonomi pasca Perang Paregreg membuktikan bahwa seorang pemimpin wanita dapat membawa perubahan yang signifikan dan positif. Warisan Maharani Sri Suhita terus hidup dalam sejarah Majapahit, menginspirasi generasi penerus tentang kekuatan kepemimpinan yang tangguh dan berwawasan ke depan.
Maharani Sri Suhita, dengan segala kebijakannya, telah mengukir namanya dalam sejarah sebagai salah satu penguasa besar Majapahit. Ratu Kencana Ungu tidak hanya dikenal karena kereta ungunya yang megah, tetapi juga karena dedikasinya dalam membangun kembali kejayaan Majapahit yang pernah hilang.
Sri Suhita dan Kertawijaya: Transisi Akhir Majapahit Menuju Jawa Islam
Prabu Sri Suhita adalah satu-satunya ratu yang tercatat memimpin Majapahit, berkuasa dari tahun 1429 hingga 1447 Masehi. Di tengah kemunduran kekuasaan Majapahit, ia tampil sebagai pemimpin tangguh yang menjaga kestabilan kerajaan. Sepeninggalnya, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya, yang naik tahta dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana. Dalam Babad Tanah Jawi, ia disebut sebagai Raden Alit, yang kemudian dikenal sebagai Brawijaya V.
Pemerintahan Brawijaya V menjadi penanda transisi penting dalam sejarah Majapahit dan Pulau Jawa secara keseluruhan. Meski dirinya tetap menganut agama Hindu, Brawijaya V menunjukkan sikap toleran dan terbuka terhadap Islam yang kian berkembang pesat. Dua dari istrinya berasal dari Campa dan Tiongkok, keduanya merupakan Muslimah, dan dari pernikahan itulah lahir anak-anak yang kelak berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Salah satu putranya yang paling terkenal adalah Raden Patah, yang mendirikan Kesultanan Demak dan menjadi raja pertamanya. Selain Raden Patah, Brawijaya V juga diduga memiliki keturunan lain yang memeluk Islam dan memegang kekuasaan regional, seperti Arya Damar di Palembang dan Bathoro Katong di Ponorogo. Mereka memainkan peranan strategis dalam memperluas pengaruh Islam, baik secara politik maupun budaya.
Dalam kebijakan pemerintahannya, Brawijaya V menunjuk tokoh-tokoh Muslim ke dalam jabatan penting di pemerintahan Majapahit. Arya Teja diangkat sebagai Adipati Tuban, sementara Arya Lembu Sura menjadi penguasa Surabaya. Keduanya dikenal sebagai Muslim taat. Bahkan, Sunan Ampel — salah satu dari Wali Songo — diangkat sebagai imam besar di Surabaya dan kemudian dipercaya menjabat sebagai bupati.
Langkah-langkah Brawijaya V ini mempercepat penetrasi Islam ke dalam struktur sosial-politik di Jawa. Melalui kebijakan inklusif, pengangkatan tokoh-tokoh Islam, dan pembangunan masjid, sang raja Hindu ini justru membuka jalan bagi munculnya peradaban Islam yang kuat di tanah Jawa.
Tahun 1478 menjadi titik akhir dari pemerintahan Brawijaya V sekaligus dianggap sebagai penanda runtuhnya Majapahit sebagai kekuatan dominan di Nusantara. Pasca wafatnya, konflik internal dan perebutan kekuasaan semakin memperlemah Majapahit, yang akhirnya digantikan oleh kekuatan-kekuatan baru berbasis Islam, seperti Kesultanan Demak.
Meski berkuasa di masa senja Majapahit, Brawijaya V tetap dikenang sebagai raja yang bijaksana dan berpikiran terbuka. Warisannya tidak hanya terletak pada toleransinya terhadap perbedaan agama, tetapi juga pada kontribusinya dalam menciptakan ruang bagi tumbuhnya Islam sebagai kekuatan budaya dan politik baru di Jawa. Kepemimpinannya menandai akhir dari era Hindu-Buddha dan awal dari babak baru sejarah Nusantara yang Islamik.