JATIMTIMES - Dalam babak-babak genting pasca Perjanjian Giyanti 1755, Pangeran Sambernyawa—nama populer dari Raden Mas Said—menjadi figur sentral dalam perlawanan militer terhadap koalisi Susuhunan Surakarta, Sultan Yogyakarta, dan VOC. Saat saudara seperjuangannya, Pangeran Mangkubumi, mengambil jalur kompromi dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Sambernyawa memilih tetap di jalur perlawanan.
Namun, masa itu menjadi titik balik yang menentukan arah dan nasib perjuangannya. Dalam kekacauan itu, ia menemukan mitra militer-politik yang kelak menjadi kunci berdirinya Kadipaten Mangkunegaran: Raden Mas Guntur.
Baca Juga : Warga Wagir Diduga Tewas Tersambar Petir
Raden Mas Guntur bukan tokoh biasa. Ia merupakan keturunan langsung dari Susuhunan Amangkurat III yang dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) oleh VOC tahun 1708. Juga masih memiliki kaitan darah dengan pemuda misterius bernama Raden Mas Garendi, yang pernah memimpin pemberontakan dalam geger Pacinan.
Raden Mas Guntur adalah putra dari Raden Mas Wiratmeja, yang merupakan anak dari Pangeran Teposono. Teposono, pada gilirannya, adalah putra dari Amangkurat III, raja keenam Kasultanan Mataram yang memerintah dari 1703 hingga 1705. Keturunan ini menunjukkan bahwa Raden Mas Guntur adalah bagian dari garis keluarga kerajaan yang memiliki hubungan erat dengan Amangkurat III, seorang tokoh yang kontroversial dalam sejarah Mataram.
Raden Mas Wiratmeja, sebagai anak dari Teposono, hidup dalam bayang-bayang politik yang penuh dengan ketidakpastian. Ia terjebak dalam intrik-intrik yang terjadi di dalam keraton Kartasura, yang pada akhirnya membawanya kepada kematian tragis. Wiratmeja dilaporkan terbunuh di dalam istana Kartasura, setelah terlibat dalam persekongkolan yang mengancam kestabilan pemerintahan Pakubuwono II. Pembunuhan ini menandai berakhirnya perjalanan hidupnya, tetapi juga menjadi titik awal bagi perjuangan keturunannya, khususnya Raden Mas Guntur.
Dengan basis pendukung yang kuat di wilayah pegunungan Kendeng, Guntur memimpin kelompok pemberontak tersendiri ketika bertemu Sambernyawa. Persahabatan dan aliansi militer mereka bukan sekadar taktis, tetapi berakar pada persamaan visi: perlawanan terhadap dominasi asing dan istana boneka VOC.
Pertemuan mereka terjadi di perbukitan Kendeng pada pertengahan tahun 1755. Babad mencatat bahwa di sana, mereka mulai mengkonsolidasikan kekuatan. Bersama-sama mereka menyusun strategi militer berupa serangan cepat, penjarahan kota, dan pelarian gerilya, taktik yang dikenal sebagai "nyambut sambil lari." Sambernyawa, yang saat itu sudah dalam tekanan besar setelah perpisahan dari Mangkubumi, menjadikan Guntur bukan hanya sekutu militer, tetapi juga menantu. Ia menikahkan putrinya, Raden Ajeng Sombro, dengan Guntur—pengikat keluarga yang memperkuat koalisi mereka.
Aliansi militer Sambernyawa-Guntur berbuah sejumlah operasi spektakuler. Setelah menyerang Madiun dan beberapa daerah di sekitar Surakarta, mereka bergerak ke timur laut, membakar desa-desa di wilayah Demak. Operasi ini tidak hanya memukul logistik musuh, tetapi juga mengisi kembali perbekalan mereka sendiri. Di Semarang, pasukan VOC di bawah Kapten Marquett mencoba menghadang mereka. Namun, justru menjadi bencana bagi Kompeni. Sambernyawa dan Guntur membunuh sekitar 30 hingga 40 serdadu Kompeni, termasuk Marquett yang tewas tenggelam di sungai ketika mencoba melarikan diri. Unit-unit kavaleri VOC yang tersisa tercerai-berai.
Kawasan pesisir, terutama Tanjung dan Kudus, memberikan dukungan besar terhadap pergerakan mereka. Orang-orang Tionghoa setempat, yang mungkin masih menyimpan dendam atas geger Pacinan 1740, menyambut pasukan Sambernyawa dan Guntur, menyediakan bekal dan perlindungan. Pada 4 Oktober 1755, Kudus dijarah, disusul dengan Demak, Rembang, dan Pati. Pergerakan ini menandai kemampuan logistik dan kecepatan gerak mereka dalam menghindari tekanan militer gabungan Yogyakarta, Surakarta, dan VOC.
Namun, tidak semua pertempuran membawa kemenangan. Ketika pasukan Sambernyawa kembali ke pedalaman, mereka menghadapi kejaran intensif. Di Blora, mereka bertempur sengit melawan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten J.H. van de Poll, salah satu komandan paling berpengalaman Kompeni. Dalam pertempuran infanteri jarak dekat, baik Sambernyawa maupun pasukan VOC turun dari kuda dan bertempur dengan berjalan kaki. Strategi ini menjadi bumerang bagi VOC. Van de Poll terbunuh bersama sebagian besar pasukannya. Namun, kerugian di pihak Sambernyawa juga tidak kecil. Mereka harus kembali melarikan diri ke arah Simo, di utara Boyolali.
Tekanan militer yang semakin hebat memaksa Sambernyawa dan Guntur memecah pasukannya menjadi unit-unit kecil, bergerak secara terpisah untuk menghindari pengepungan total. Pergerakan mereka tercatat sangat cepat dan tidak menentu—kadang dalam satu malam bisa melintasi beberapa kabupaten. Hal ini dicatat oleh Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia sebagai “memberikan pekerjaan besar bagi pasukan kita dan membuat mereka letih.”
Dalam laporan VOC, Hartingh—residen Kompeni di Semarang—menyebut bahwa Sambernyawa pernah mencoba menjalin korespondensi dengan Batavia, Pakubuwana III, dan bahkan Sultan Hamengkubuwana I. Namun isi surat-surat itu tak pernah ditemukan dalam versi asli, hanya dalam ringkasan VOC. Dalam salah satu laporan, disebut bahwa Sambernyawa mengajukan syarat penyerahan yang mencakup hak atas sepertiga wilayah kerajaan. Kompeni menolak tawaran ini, dan menyatakan bahwa mereka hanya akan mengakui Sambernyawa jika ia tunduk pada salah satu raja Jawa.
Namun, pada saat bersamaan, tekanan psikologis dan kelelahan mulai dirasakan oleh para pengikutnya. Dalam catatan Babad Giyanti, disebutkan bahwa wanita-wanita yang mengikuti pasukan Sambernyawa mulai tertinggal dan menjerit ketika tertangkap pasukan Madura. Musim hujan menambah penderitaan pasukan yang bergerak di tengah hutan Kendeng dan Gunung Kidul. Dalam kondisi inilah, Sambernyawa menguatkan semangat pasukannya dengan seruan jihad: perang suci (aprang sabil) melawan kafir Belanda.
Kampanye militer Sambernyawa dan Guntur mencapai titik genting pada akhir 1756 hingga awal 1757. Meskipun secara militer belum benar-benar dikalahkan, mereka menyadari bahwa kekuatan lawan terlalu besar untuk dilawan secara konvensional. Maka, jalur kompromi mulai dirintis. Pada 17 Maret 1757, lahirlah sebuah konsesi politik yang akan menjadi babak baru dalam sejarah Jawa: berdirinya Kadipaten Mangkunegaran. Sambernyawa diangkat sebagai adipati, penguasa semi-otonom yang diakui oleh Kompeni dan dua kerajaan Jawa.
Raden Mas Guntur, sebagai mitra dan menantu, turut serta dalam pembentukan lembaga baru itu. Ia menjadi tangan kanan Sambernyawa dalam membangun birokrasi dan sistem militer Mangkunegaran. Dalam konteks historiografi, perannya nyaris tak disebutkan dalam naskah-naskah arus utama, namun bukti-bukti korespondensi dan catatan Babad menunjukkan bahwa tanpanya, Sambernyawa mungkin tak akan pernah sampai pada titik kompromi itu.
Kisah pertempuran dan persekutuan Sambernyawa-Guntur adalah cermin dari kompleksitas politik Jawa abad ke-18. Di satu sisi adalah idealisme perlawanan terhadap penjajahan; di sisi lain adalah kebutuhan akan realisme politik. Dalam riwayat mereka, kita menemukan pertemuan antara darah bangsawan, kekuatan militer, dan strategi bertahan hidup yang menjadi kunci lahirnya tatanan baru di tengah keruntuhan Mataram.
Cinta di Antara Peluru: Pernikahan Raden Mas Guntur dan Raden Ajeng Sombro dalam Dinamika Politik Mangkunegaran
Dalam kurun waktu antara 1755 hingga 1757, Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tengah berjuang memantapkan eksistensinya di tengah Jawa yang porak-poranda oleh Perang Suksesi Mataram. Setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti (1755), Sambernyawa menolak hasil pembagian Mataram dan terus berperang melawan VOC serta dua kerajaan baru: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Dalam masa pergolakan itulah, Raden Mas Guntur, seorang bangsawan muda yang gagah berani dan masih memiliki garis keturunan dengan Susuhunan Amangkurat III, bergabung dalam barisan perjuangan Sambernyawa. Sebagai tanda persekutuan politik dan kepercayaan yang mendalam, Raden Mas Guntur dinikahkan dengan putri sulung Pangeran Sambernyawa, yakni Raden Ajeng Sombro, pada awal tahun 1756—meskipun saat itu pernikahan dilakukan secara darurat.
Namun, kisah cinta ini tidak dimulai dengan mulus. Sebelumnya, Sombro telah “dijanjikan” atau “dikawinkan secara gantung” dengan seorang bangsawan lain, Raden Sumanagara, menantu Mangkunegara yang kala itu berada dalam lingkaran terdekatnya. Tetapi pada April 1756, tepat ketika Sambernyawa sedang dalam situasi sulit pasca kekalahan di dataran rendah Mataram dan terpaksa mundur ke Daha, Sumanagara justru berkhianat. Ia meninggalkan pasukan tanpa pamit pada malam hari, hanya didampingi dua rekannya, dan bergabung dengan ayahandanya, Raden Adipati Jayaningrat, Gubernur Mataram di pihak Pangeran Mangkubumi.
Tindakan ini menandai berakhirnya kawin gantung antara Sombro dan Sumanagara. Babad Mangkunegaran menggambarkan Sumanagara sebagai sosok pengecut, “dhasar watang wong Sampang, lonyot lacut-lacut,” (sebatang kayu rapuh dari Sampang, lari terbirit-birit), sebuah cemoohan yang menunjukkan rasa muak Mangkunegara terhadapnya.
Baca Juga : Perda Baru Parkir di Kota Malang, Jukir atau Pengelola Parkir Wajib Ganti Rugi jika Kendaraan Hilang
Peristiwa pengkhianatan ini membuka jalan bagi Raden Mas Guntur, yang setia menemani Sambernyawa dalam pelarian dan pertempuran, untuk memperistri Raden Ajeng Sombro secara sah dan utuh. Mereka menikah dalam pelarian—jauh dari hiruk-pikuk keraton, tanpa pesta, tanpa tamu, hanya ikatan cinta dan aliansi politik sebagai saksi.
Dalam suasana itulah kisah cinta dan perjuangan mereka bertumbuh. Selama berbulan-bulan, keduanya hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ikut mengonsolidasikan kekuatan Sambernyawa di daerah Daha dan sekitarnya. Mereka menyaksikan pertarungan berdarah, upaya merekrut rakyat menjadi prajurit, hingga pertunjukan hiburan semacam adu kerbau dan harimau demi menjaga semangat pasukan.
Akhirnya, pada Maret 1757, Pangeran Sambernyawa mendapat pengakuan resmi dari pihak Kompeni dan Kasunanan. Dalam Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757), ia diangkat sebagai Adipati Miji dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, sekaligus diizinkan memerintah wilayah-wilayah seperti Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedaung, dan sebagian Kedu.
Setelah pengakuan itu, pernikahan Raden Mas Guntur dan Raden Ajeng Sombro kembali dirayakan secara resmi dalam sebuah "upacara pembaruan pernikahan" pada April 1757, di Surakarta. Kini, mereka tidak lagi harus menikah diam-diam di hutan belantara, melainkan dengan disaksikan tokoh-tokoh besar seperti Susuhunan Pakubuwana III, Residen VOC J.H. Abrahams, dan Hartingh dari Semarang. Pasangan ini menerima berbagai hadiah berharga, simbol kehormatan dan pengesahan posisi Guntur sebagai kerabat utama dalam struktur kekuasaan baru Mangkunegaran.
Pernikahan itu menandai resminya aliansi keluarga dan politik antara Sambernyawa dan Guntur. Tidak hanya memperkuat legitimasi kekuasaan Mangkunagara I, tetapi juga menciptakan fondasi stabil bagi dinasti yang baru dibentuk tersebut. Guntur, sebagai menantu dan sekutu militer, mendapat peran penting dalam struktur awal Kadipaten Mangkunegaran.
Dari segi historiografi, pernikahan ini mencerminkan tradisi aliansi strategis lewat perkawinan bangsawan Jawa, yang umum terjadi di masa kerajaan. Namun dalam kasus ini, kita juga melihat perpaduan antara cinta, loyalitas, dan strategi bertahan hidup di masa perang. Sombro bukan sekadar pengantin politik, tapi perempuan yang turut menderita, berjuang, dan akhirnya berbagi kemuliaan bersama suaminya dalam istana baru Mangkunegaran.
Dalam beberapa tahun berikutnya, pasangan ini hidup bahagia di bawah naungan istana yang kini dibangun sebagai pusat kekuasaan Mangkunegara I. Mereka menyaksikan lahirnya tatanan baru, mendidik anak-anak mereka dalam nilai-nilai perlawanan dan kehormatan, serta menjadi simbol keteguhan hati—bahwa di tengah desingan peluru, cinta dan cita-cita masih bisa tumbuh dan mengakar kuat.
Riwayat Amangkurat III: Versi Kediri vs Versi Belanda
Seperti telah dibahas di awal, Raden Mas Guntur adalah cicit dari Sunan Amangkurat III, sosok kontroversial yang pernah bertakhta sebagai Raja Mataram antara tahun 1703 hingga 1705. Hubungan genealogis ini tidak hanya menempatkan Guntur dalam garis darah bangsawan Mataram, tetapi juga membuka ruang bagi pemahaman lebih mendalam terhadap warisan politik dan konflik yang menyertainya. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk membahas sekilas tentang Amangkurat III dalam artikel ini—bukan sekadar sebagai figur leluhur, tetapi juga sebagai tokoh penting dalam sejarah peralihan kekuasaan di Kartasura dan simbol penolakan terhadap dominasi kolonial VOC. Selanjutnya, kita akan bahas detik-detik akhir hidupnya, serta dua situs yang menjadi jejak arkeologinya: Setono Gedong di Kediri dan kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri.
Amangkurat III, yang juga dikenal dengan nama Sunan Mas, adalah raja keenam dari Kasultanan Mataram yang memerintah dari 1703 hingga 1705. Lahir dengan nama Raden Mas Sutikna, ia adalah putra tunggal dari Amangkurat II, yang dikenal sebagai sosok yang keras dalam memerintah. Dalam sejarah, Amangkurat III dikenal sebagai raja yang penuh intrik dan perdebatan, yang akhirnya diasingkan setelah sebuah kudeta yang dipimpin oleh pamannya, Pangeran Puger, yang kemudian naik tahta sebagai Pakubuwono I. Namun, kisah hidup Amangkurat III tidaklah sederhana dan memiliki dua versi yang berbeda: versi Kediri yang menyebutkan bahwa ia menghabiskan akhir hidupnya di sana, dan versi Belanda yang mencatatnya meninggal di Sri Lanka.
Menurut cerita yang berkembang di Kediri, Amangkurat III tidak mati di pengasingan atau di Sri Lanka seperti yang tercatat dalam narasi resmi dari kerajaan Mataram dan Belanda. Setelah dilengserkan dari takhta dan kembali dari pengasingan, Amangkurat III memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Kediri, jauh dari hiruk-pikuk kerajaan yang penuh dengan intrik politik.
Dalam versi ini, Amangkurat III tidak hanya dikenal sebagai mantan raja, melainkan juga sebagai seorang wali yang dihormati di Kediri. Di kota tersebut, ia lebih banyak terlibat dalam kehidupan keagamaan dan dakwah Islam. Kediri menjadi tempat di mana ia mendekatkan diri kepada Tuhan, menjauh dari dunia politik, dan berusaha mengatasi dosa-dosanya.
Situs Setono Gedong di Kediri menjadi saksi bisu akan keberadaan Amangkurat III, di mana makamnya dipercaya memiliki kekuatan mistis. Pusaka-pusaka asli Kasultanan Mataram yang dibawa dari istana Kartasura juga disimpan dengan penuh penghormatan dalam bentuk kubur di samping pusaranya.Di tempat inilah, berbagai cerita lokal berkembang, salah satunya yang menyebutkan bahwa burung yang terbang di atas makam Amangkurat III akan jatuh ke tanah, sebagai tanda bahwa sang raja masih memiliki kekuatan spiritual yang besar.
Masyarakat Kediri mengenang Amangkurat III sebagai seorang raja yang menolak dominasi Belanda. Dalam pandangan mereka, Amangkurat III bukanlah sekadar seorang raja yang kalah, melainkan seorang pemimpin yang berdedikasi kepada rakyat dan tanah airnya, bahkan meski harus kehilangan tahta. Dalam konteks ini, Amangkurat III dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan kolonial Belanda dan stabilitas kerajaan Mataram yang kini dipimpin oleh Pakubuwono I. Hingga kini, keturunan Amangkurat III masih mendiami wilayah Kediri dan sekitarnya, menjaga warisan leluhur mereka, termasuk penyebaran ajaran Islam.
Bertolak belakang dengan versi Kediri, narasi yang disampaikan oleh pihak Belanda, khususnya dalam catatan sejarah mereka, menyebutkan bahwa Amangkurat III meninggal di pengasingan, tepatnya di Sri Lanka pada tahun 1734. Setelah kematiannya, jenazah Amangkurat III beserta beberapa anggota keluarganya yang masih hidup, termasuk putranya, Pangeran Tepasana dan Pangeran Wiramenggala, dikembalikan ke Jawa tiga tahun setelahnya. Mereka dimakamkan di kompleks makam Imogiri, yang terletak di wilayah kerajaan Mataram.
Dalam laporan Belanda, disebutkan bahwa Pangeran Tepasana dan Pangeran Wiramenggala dieksekusi di istana setelah terlibat dalam persekongkolan dalam keraton sebelum serangan Pakubuwono II pada tahun 1741. Tepasana meninggalkan seorang putra bernama Raden Mas Garendi, yang pada usia 12 tahun diadopsi oleh pemberontak Tionghoa dan menjadi pemimpin tituler mereka dengan gelar Sunan Kuning. Sementara kakaknya, Raden Mas Wiratmeja, dibunuh di istana, meninggalkan seorang putra, yakni Raden Mas Guntur, yang juga memiliki hubungan darah dengan Amangkurat III.
Kisah yang dicatat oleh Belanda memberikan gambaran yang lebih sistematis dan terorganisir mengenai kematian Amangkurat III dan keluarganya. Menurut versi ini, Amangkurat III, setelah lengser dari tahta, benar-benar diasingkan ke Sri Lanka, dan tubuhnya dipulangkan beberapa tahun kemudian bersama dengan sebagian keluarganya yang telah dieksekusi oleh Pakubuwono II. Versi ini lebih mengarah pada narasi politik dan kekuasaan, di mana pengasingan Amangkurat III adalah bagian dari usaha untuk menghapuskan pengaruhnya dalam sejarah kerajaan Mataram, sementara keturunannya berjuang dalam persekongkolan melawan VOC.