JATIMTIMES - Tim peneliti Universitas Brawijaya (UB) berhasil mengukir sejarah ilmiah dengan mengidentifikasi dua genus baru dan tujuh spesies baru mikroalga dari famili Catenulaceae di perairan Bawean, Gresik, dan Teluk Tomini, Sulawesi Tengah.
Penemuan ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia masih menyimpan harta karun biodiversitas laut yang belum sepenuhnya tergali, sekaligus membuka pintu bagi riset ekosistem mikroskopik tropis yang selama ini terabaikan.
Baca Juga : Verifikasi Selesai, 12 Gubes Balon Rektor UIN Maliki Malang Lolos Syarat Administratif
Dipimpin oleh Oktiyas Muzaky Luthfi, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UB, penelitian ini merupakan hasil sinergi internasional dengan Universitas Szczecin (Polandia) serta sejumlah institusi lokal. Menggunakan kombinasi mikroskop cahaya dan mikroskop elektron pemindai (SEM) tim menelusuri struktur morfologi diatom, mikroalga bersel tunggal, yang hidup di sedimen dan karang mati di perairan dangkal tropis.
“Teknologi SEM memungkinkan kami melihat detail ultrastruktur cangkang mikroalga hingga skala nanometer. Ini kunci utama untuk membedakan karakteristik unik tiap spesies,” jelas Luthfi.
Dua genus baru yang berhasil diidentifikasi, Paracatenula dan Wallaceago, mencuri perhatian karena bentuk dan pola cangkangnya yang unik. Paracatenula porostriata dari perairan Gili Iyang, Bawean, memiliki cangkang pipih dengan pola lubang-lubang mikroskopis melingkar dan katup yang asimetris.
Sementara Wallaceago porostriatus dari Teluk Tomini dikenali dari bentuk katup mirip belah ketupat serta garis-garis halus yang hanya terlihat di bagian bawahnya.
Nama Wallaceago sengaja dipilih sebagai penghormatan kepada Alfred Russel Wallace, naturalis legendaris yang pernah meneliti keanekaragaman hayati Indonesia pada abad ke-19. “Ini bentuk apresiasi atas kontribusi Wallace dalam membangun fondasi biogeografi di nusantara,” tegas Luthfi.
Selain genus baru, tim juga menemukan lima spesies dari genus Catenula: C. boyanensis, C. komodensis, C. decusa, C. densestriata, dan Catenulopsis baweana. Masing-masing memiliki ciri khas, seperti pola garis vertikal-horizontal yang kompleks, bentuk katup berlekuk, hingga hiasan silika (senyawa mirip kaca) yang menempel di permukaan cangkang.
“Setiap spesies seperti memiliki ‘sidik jari’ morfologisnya sendiri. Ini menunjukkan adaptasi evolusioner yang menarik di lingkungan tropis,” tambah Luthfi.
Penemuan ini tidak hanya bermakna taksonomi, tetapi juga menjadi basis data penting untuk pemantauan kesehatan laut, studi ekologi perairan tropis, hingga rekonstruksi kondisi lingkungan purba (paleoekologi). Luthfi menekankan, mikroalga berperan sebagai bioindikator alami perubahan iklim dan pencemaran laut.
Di sisi lain, ia mendorong mahasiswa untuk menjadikan biodiversitas Indonesia sebagai lahan riset tak terbatas. “Jangan terjebak pada topang mainstream. Masih banyak organisme mikro seperti ini yang belum punya nama, menunggu untuk ditemukan,” ujarnya.
Temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi, sebuah prestasi yang memperkuat posisi UB di peta riset kelautan dunia. Luthfi optimistis, kolaborasi antar-displin dan dukungan teknologi akan membuka lebih banyak penemuan serupa.
“UB punya misi menjadi hub penelitian mikroba laut tropis. Ini baru langkah awal. Masih banyak ‘harta’ di laut Indonesia yang akan kami angkat ke permukaan,” tandasnya.
Dengan temuan ini, UB tidak hanya mengukir nama di ranah akademik global, tetapi juga mengingatkan dunia, bahwa Indonesia adalah laboratorium alam yang sempurna untuk menyingkap misteri kehidupan mikroskopik.