free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Akuntansi Jadi Profesi Idaman Gen Z, Dulu Dicibir Membosankan Kini Jadi Jalan ke Gaji 6 Digit

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi akuntan. (Foto: Shutterstock)

JATIMTIMES - Dulu dianggap profesi paling membosankan, kini akuntansi justru jadi jalur karier incaran generasi Z. Dengan potensi gaji awal hingga enam digit langsung setelah lulus kuliah, pekerjaan yang ditinggalkan oleh baby boomer dan milenial ini berubah menjadi pilihan yang realistis dan menjanjikan. 

Laporan dari Your Tango dan Fortune menyebutkan bahwa Gen Z sangat terdorong oleh keuntungan finansial saat menentukan arah karier. Di tengah tekanan ekonomi dan tingginya biaya hidup, mereka tak lagi punya waktu untuk “meniti karier pelan-pelan” seperti generasi sebelumnya. 

Sebaliknya, mereka mencari pekerjaan yang langsung memberi kestabilan finansial, bahkan jika harus menjalani profesi yang dicap membosankan. 

“Generasi baby boomer dan milenial meninggalkan akuntansi sebagai sebuah profesi, dan Generasi Z siap mengisi kekosongan tersebut,” tulis Fortune

Menurut data yang dikutip Fortune, lebih dari 340.000 akuntan telah berhenti dalam lima tahun terakhir. Banyak dari mereka adalah baby boomer yang pensiun atau milenial yang pindah ke profesi lebih fleksibel. Kekosongan inilah yang kemudian dibaca oleh Gen Z sebagai peluang emas. 

Padahal, akuntansi tidak pernah dianggap “keren”. Dalam studi tahun 2022, akuntan bahkan menempati posisi kedua dalam daftar pekerjaan paling membosankan, hanya dikalahkan oleh analis data. 

Namun kini, Gen Z justru tertarik. Bukan karena gengsi, tapi karena alasan yang sangat rasional. Dimana ada gaji tinggi, stabilitas kerja, dan prospek jangka panjang. 

Dalam survei yang dilakukan Monster (2016), sebanyak 70% Gen Z mengakui bahwa gaji adalah faktor utama dalam memilih karier, diikuti oleh asuransi kesehatan. 

Mengapa uang jadi faktor utama? Jawabannya sederhana. Gen Z melihat langsung bagaimana orang tua mereka (generasi X) harus bekerja keras dalam kondisi ekonomi sulit. Situasi ini memunculkan generasi yang lebih pragmatis dan ingin mandiri secara finansial sejak awal. 

Corey Seemiller, pendidik dan peneliti Gen Z, menjelaskan kepada BBC bahwa perbedaan kondisi generasi sangat memengaruhi pola pikir Gen Z. 

“Pada usia Gen Z, orang yang lebih tua bekerja 40 jam seminggu dan bisa membeli rumah. Gen Z kerja 50 jam seminggu ditambah 20 jam kerja sambilan, tapi masih pas-pasan untuk bayar sewa,” ujarnya. 

Seemiller juga menyebut Gen Z lebih vokal soal hak dan keadilan di tempat kerja, dan berani menuntut gaji layak, fleksibilitas, serta lingkungan kerja yang sehat. 

Data dari platform karier Handshake yang mensurvei 1.800 lulusan perguruan tinggi menunjukkan bahwa lulusan Gen Z melamar pekerjaan apapun yang sesuai dengan gaji impian, terlepas dari jurusan kuliah mereka. 

“Saya menginginkan pekerjaan dengan gaji awal yang besar dan pertumbuhan tahunan karena tingkat inflasi dan biaya hidup yang terus meningkat,” kata salah satu responden, dikutip Your Tango

Menariknya, Gen Z bahkan enggan melamar pekerjaan jika lowongan tidak mencantumkan nominal gaji secara jelas. Hal ini membuat perusahaan mengubah strategi rekrutmen. Handshake mencatat, pada 2020 hanya 29% lowongan menyertakan gaji, namun naik jadi 38% pada 2022. 

Dengan semua tekanan dan ekspektasi finansial itu, profesi akuntansi, meski bukan yang paling seru, menawarkan keamanan dan kestabilan yang sangat dibutuhkan Gen Z. Apalagi dengan kurangnya tenaga profesional akibat pensiunnya generasi sebelumnya, peluang untuk naik jabatan juga terbuka lebar. 

Jadi, jangan heran jika ke depan akan melihat lebih banyak anak muda dengan setelan rapi di balik meja kerja, menghitung neraca dan laporan laba rugi, bukan karena cinta akutansi, tapi karena angka di slip gaji mereka sangat meyakinkan.