JATIMTIMES — Suasana Ruang Perjamuan Gajah Mada di Mapolres Blitar pada Selasa pagi, 22 April 2025, tak seperti biasanya. Di balik kesan formal dan tertibnya tatanan kursi, diskusi yang berlangsung di dalamnya menyimpan energi kritis mahasiswa yang tak segan menyuarakan aspirasi.
Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Blitar datang membawa keresahan, bukan sekadar silaturahmi.
Baca Juga : Toko Legendaris di Kota Malang Ludes Terbakar
Selama satu setengah jam audiensi, mereka duduk berhadapan langsung dengan Kapolres Blitar AKBP Arif Fazlurrahman, menyodorkan dua isu utama yang dianggap perlu mendapat perhatian serius aparat penegak hukum: tambang pasir dan pabrik gula.
Ketua PC PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf, menyampaikan bahwa kehadiran mereka bukan untuk menghakimi, melainkan menyuarakan fakta yang ditemukan dalam diskusi rutin mereka yang disebut Forum Reboan. “Kami tidak asal bicara. Ini hasil kajian yang lahir dari dialog dan pengamatan di lapangan,” ujar Thoha usai audiensi.
Soal tambang pasir, PMII menolak pendekatan represif. Bagi mereka, penertiban harus dijalankan dengan mempertimbangkan tiga aspek: ekonomi, sosial, dan lingkungan. “Kami mendorong pertambangan ini ditertibkan, bukan ditutup,” kata Thoha, menekankan bahwa penambangan ilegal bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal perut dan keselamatan warga.
Ia mencontohkan kondisi para pekerja tambang yang seringkali mengabaikan standar keselamatan kerja demi menyambung hidup. Di sisi lain, ekosistem lingkungan yang rusak pelan-pelan menggerogoti kualitas hidup masyarakat sekitar. “Polisi tidak bisa hanya datang ketika ada konflik. Harus ada pendekatan preventif dan dialogis,” katanya.
Isu kedua yang diangkat adalah aktivitas Pabrik Gula Rejoso Manis Indo di Binangun, Kabupaten Blitar. Menurut PMII, keberadaan industri tersebut sudah menimbulkan keresahan masyarakat. Selain mencemari udara dan air, kebisingan pabrik serta lalu lintas truk-truk pengangkut tebu dianggap mengancam keselamatan warga.
“Truk yang membawa muatan besar sering ugal-ugalan. Kadang tidak memperhatikan kelayakan jalan dan keselamatan pengguna lain,” ujar Thoha.
PMII berharap kepolisian tak hanya fokus pada pelanggaran lalu lintas individu, tetapi juga menertibkan pelaku industri yang abai terhadap hukum. Mereka meminta Kapolres untuk memastikan bahwa investasi tidak menjadi tameng pelanggaran hukum.
Baca Juga : Diduga Mengantuk, Pemotor Tewas Tabrak Truk Kontainer di Pakisaji
Menanggapi aspirasi tersebut, AKBP Arif Fazlurrahman menyatakan komitmennya untuk mengkaji secara menyeluruh apa yang telah disampaikan. Ia menghargai pendekatan PMII yang membawa data dan gagasan, bukan sekadar kritik kosong. “Kami terbuka dengan kritik dan masukan yang konstruktif. Kepolisian tidak akan tinggal diam jika ada pelanggaran,” ujarnya dalam pertemuan tersebut.
Menurut Arif, pendekatan penegakan hukum akan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan. Ia menegaskan, Polres Blitar telah melakukan langkah-langkah pengawasan dan akan memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan kelompok mahasiswa seperti PMII.
Audiensi tersebut menjadi potret kecil dari wajah demokrasi lokal yang terus bertumbuh. Di tengah banyaknya keluhan publik terhadap lemahnya pengawasan, keberanian mahasiswa menyampaikan aspirasi langsung ke aparat menjadi angin segar.
Dalam situasi politik dan hukum yang seringkali kaku, PMII Blitar menunjukkan bahwa kritik bisa dilakukan tanpa konfrontasi. Mereka datang dengan data, berbicara dengan etika, dan tetap bersikap tegas.
Di Blitar, suara mahasiswa tidak sekadar gema dalam ruang hampa. Ia mengetuk pintu kekuasaan, menuntut kewarasan hukum dan keberpihakan terhadap rakyat. Jika semua pihak mau duduk dan mendengar, seperti yang terjadi hari itu, mungkin hukum tak hanya menjadi alat, tetapi cermin nurani masyarakat.