JATIMTIMES - Di tengah kegelapan sumur tua yang sepi, seorang remaja bernama Yusuf merenungkan takdirnya. Dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri karena kecemburuan, ia tak menyangka bahwa ujian berat ini justru menjadi gerbang menuju kemuliaan sebagai pemimpin Mesir.
Kisahnya, yang diabadikan secara lengkap dalam Al-Quran Surat Yusuf, tak sekadar drama keluarga, melainkan mahakarya tentang kesabaran, pengampunan, dan skenario Ilahi yang sempurna.
Baca Juga : Mensos RI Lakukan Koordinasi Pembentukan Sekolah Rakyat di Banyuwangi
Nabi Yusuf AS, putra kesayangan Nabi Ya’qub AS, tumbuh dalam keluarga besar dengan sebelas saudara lelaki. Namun, kecintaan sang ayah yang lebih besar kepadanya memantik api kecemburuan.
Dalam Surat Yusuf ayat 8, Allah SWT mengabadikan keluh kesah mereka: “Yusuf dan saudara kandungnya lebih dicintai ayah kita daripada kita. Padahal, kita adalah golongan yang kuat. Sungguh, ayah kita dalam kesesatan nyata!”.
Kalimat ini menjadi awal konspirasi jahat. Mereka merancang skenario untuk menyingkirkan Yusuf agar perhatian Nabi Ya’qub beralih sepenuhnya kepada mereka. Sebuah rencana yang awalnya bahkan mengarah pada pembunuhan, seperti tertuang dalam Surat Yusuf ayat 9: “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke daerah terpencil!”.
Nalar kejahatan akhirnya dihaluskan oleh secara kebijakan. Salah satu saudara mengusulkan alternatif “lebih manusiawi”: membuang Yusuf ke dasar sumur tua, dengan harapan ia ditemukan kafilah yang lewat (QS. Yusuf: 10).
Untuk mewujudkannya, mereka membujuk Nabi Ya’qub dengan dalih mengajak Yusuf bermain (QS. Yusuf: 12). Meski awalnya ragu, sang ayah akhirnya mengizinkan.
Di sumur itu, Yusuf mengalami detik-detik pilu. Tapi di saat yang sama, Allah SWT menurunkan wahyu: “Kelak, engkau akan menceritakan perbuatan mereka, sedangkan mereka tak menyadarinya” (QS. Yusuf: 15). Janji ini menjadi peneguh hati Yusuf bahwa derita saat ini hanyalah episode pendek dari kisah besar kehidupannya.
Usai melaksanakan rencana, para saudara kembali dengan akting yang memilukan. Mereka menangis histeris sambil menunjukkan baju Yusuf yang berlumuran darah palsu, mengklaimnya telah diterkam serigala (QS. Yusuf: 16-17). Namun, Nabi Ya’qub dengan firasat tajam dan keimanan yang tak tergoyahkan menyadari kebohongan itu. “Sebenarnya, kalianlah yang merancang ini. Maka, sabar adalah jawabanku. Hanya Allah tempatku meminta pertolongan,” tegasnya dalam QS. Yusuf: 18.
Baca Juga : Rasa Takut dan Gelisah Bayangi Korban Dugaan Pelecehan Seksual Oknum Dokter
Takdir mulai bergulir ketika sekelompok musafir tiba di sumur tersebut. Saat menurunkan timba, mereka terkejut menemukan seorang remaja tampan terdampar di dasar (QS. Yusuf: 19). Yusuf pun dibawa ke Mesir dan dijual sebagai budak. Di sinilah perjalanan baru dimulai: dari budak menjadi tahanan, lalu bangkit sebagai bendahara kerajaan yang disegani.
Kisah pembuangan Yusuf ke sumur mengajarkan bahwa ujian terberat sering menjadi batu loncatan menuju takdir mulia. Allah SWT merancang setiap detail kehidupan hamba-Nya dengan presisi.
Pengkhianatan saudara, air mata Nabi Ya’qub, dan kesepian Yusuf di sumur semua terhubung dalam mozaik Ilahi yang akhirnya memosisikan Yusuf sebagai pemimpin bijaksana.
Tak hanya itu. Narasi ini menegaskan bahwa kesabaran dan tawakal bukanlah bentuk pasrah, melainkan senjata ampuh untuk mengubah kepahitan menjadi kemenangan. Sebagaimana Yusuf berkata di akhir kisahnya: “Tidak ada cercaan atas kalian. Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yusuf: 92).