JATIMTIMES - Dugaan praktik eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus di lingkungan Oriental Circus Indonesia (OCI) yang terafiliasi dengan Taman Safari Indonesia (TSI) mencuat ke publik. Enam mantan pemain sirkus yang merasa menjadi korban, kini menuntut pertanggungjawaban dengan total gugatan mencapai Rp 3,1 miliar.
Tuntutan ini bukan hanya dilayangkan lewat jalur hukum, tapi juga sudah sampai ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Taman Safari Indonesia pun akhirnya buka suara dan memberikan penjelasan panjang lebar.
Vice President Legal & Corporate Secretary TSI, Barata Mardikoesno, mengungkapkan bahwa somasi pertama diterima pihaknya pada 10 Oktober 2024. Somasi tersebut dikirim oleh sebuah kantor hukum yang mewakili enam mantan pemain sirkus, termasuk tiga nama yang disebut yakni Ida, Butet, dan Vivi. “Mereka menuntut masing-masing Rp 300 juta, khusus untuk Ida mereka meminta Rp 1 miliar. Jadi total nilainya mencapai kurang lebih Rp 3,1 miliar,” kata Barata.
Setelah somasi pertama itu, surat serupa kembali dikirim secara kolektif pada 31 Oktober 2024. Puncaknya, tuntutan tersebut juga masuk ke Komnas HAM pada 12 Desember 2024, lengkap dengan tembusan ke Taman Safari. “Mereka meminta waktu lima hari untuk kami memenuhi permintaan tersebut,” imbuh Barata.
Meski tuntutan telah masuk ranah HAM, Taman Safari menegaskan bahwa pihaknya tak memiliki hubungan langsung dengan para penggugat. Barata menyatakan bahwa OCI dan TSI adalah dua badan hukum yang berbeda. “OCI dan TSI adalah dua entitas berbeda dengan latar belakang dan badan hukum masing-masing,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Oriental Circus Indonesia berdiri pada 1967 dan beroperasi hingga 1997, sementara Taman Safari baru berdiri pada 1981. Karena itu, TSI merasa tak memiliki tanggung jawab hukum atas peristiwa yang dialami para mantan pemain sirkus tersebut.
Hal senada disampaikan oleh Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika. Ia menyebut bahwa kasus ini bersifat personal. “Kami tidak memiliki keterkaitan hubungan bisnis maupun hukum dengan ex pemain sirkus tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, nama Tony Sumampau kembali disebut dalam kasus ini. Sebagai pendiri OCI dan Komisaris TSI, Tony membantah keras segala bentuk dugaan penyiksaan dan perbudakan.
Menurutnya, sistem pelatihan di sirkus memang keras, namun masih dalam batas wajar layaknya pelatihan olahraga profesional seperti senam atau bela diri.
“Kalau sampai dipukul pakai besi, itu nggak mungkin. Kalau mereka luka, justru nggak bisa tampil atraksi,” ujar Tony.
Tony menilai tudingan penyiksaan tersebut terlalu berlebihan dan lebih bernuansa sensasi. “Kalau benar-benar seperti itu, ya tidak masuk akal,” katanya.
Pemerintah tidak tinggal diam menanggapi laporan para mantan pemain sirkus ini. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, mengatakan pihaknya akan memanggil TSI untuk klarifikasi. “Kami ingin mendapatkan informasi yang komprehensif dari semua pihak yang terlibat,” kata Mugiyanto.
Ia menyebutkan, pemanggilan itu dilakukan untuk memastikan tidak terjadi kembali pelanggaran HAM serupa. “Dan itu harus cepat, mudah-mudahan dalam minggu-minggu ke depan kita sudah bisa lakukan,” tambahnya.
Kemenkumham juga akan berkoordinasi dengan Komnas HAM serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk menindaklanjuti laporan para korban.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dua mantan pemain sirkus, Fifi dan Butet, mengungkap dugaan eksploitasi yang mereka alami sejak kecil di lingkungan Oriental Circus Indonesia (OCI) yang disebut terafiliasi dengan Taman Safari melalui akun YouTube Forum Keadilan TV.
Mereka mengaku tidak tahu siapa orang tua kandung mereka, tak pernah mendapat pendidikan formal, dan hidup sepenuhnya dalam lingkungan sirkus.
Didampingi kuasa hukum Muhammad Sholeh alias Cak Sholeh, mereka mengungkap pengalaman menyedihkan seperti kerja paksa, penyiksaan, dan tidak digaji selama puluhan tahun. Fifi mengaku pernah kabur dari kompleks Taman Safari, tapi tertangkap kembali dan disiksa, termasuk disetrum dan dirantai.
Cak Sholeh menyebut tiga nama besar di balik dugaan eksploitasi itu adalah Hadi, Jansen, dan Frans Manansang, yang disebut-sebut sebagai pemilik Taman Safari. Ia menyatakan kasus ini sudah dilaporkan ke Komnas HAM sejak 1997, namun tidak ada tindak lanjut.
Fifi akhirnya bisa keluar dari sirkus setelah menikah dengan guru silat yang bekerja di sana. Ia mengaku harus ganti nama dan memulai hidup baru karena tidak memiliki identitas resmi.
Sholeh menegaskan perjuangan mereka bertujuan menuntut keadilan atas pelanggaran kemanusiaan masa lalu, bahkan meminta Taman Safari ditutup karena disebut dibangun dari penderitaan para korban.