JATIMTIMES - Masa muda Amangkurat II, yang pada waktu kelahirannya dikenal sebagai Raden Mas Rahmat, adalah fase sejarah yang kaya dengan intrik dinasti, pencarian identitas politik, dan upaya penguatan posisi kekuasaan di tengah ketidakpastian pasca-kejayaan Sultan Agung.
Narasi ini bukan sekadar kisah seorang putra mahkota yang tumbuh menjadi raja, tetapi lebih dari itu: sebuah potret kompleksitas kekuasaan Jawa abad ke-17 dalam perspektif historiografi yang tajam. Ditopang oleh sumber primer seperti Daghregister, Sadjarah Dalem, dan catatan pejabat VOC seperti Rijckloff van Goens dan Jacob Couper, serta catatan lokal seperti Babad Sangkala dan Serat Kandha, narasi ini menempatkan pengalaman personal Raden Mas Rahmat sebagai refleksi dari dinamika kekuasaan Mataram dan interaksinya dengan dunia Islam dan kolonialisme Eropa.
Baca Juga : Tim Gabungan TNI Polri dan Satuan Karantina Banyuwangi Amankan Puluhan Babi Tanpa Dokumen
Lahir dari Darah Dua Dinasti: Pangeran Rahmat dan Jejak Surabaya
Raden Mas Rahmat lahir dari pernikahan antara Sunan Amangkurat I dan seorang perempuan berdarah bangsawan Surabaya, putri dari Pangeran Pekik. Ibundanya, Kanjeng Ratu Pangayun—kemudian dikenal sebagai Ratu Kulon, dan setelah wafat disebut Ratu Ageng—adalah simbol penyatuan dua kekuatan: dinasti Mataram dan sisa elite Surabaya yang sebelumnya menjadi musuh bebuyutan Sultan Agung. Namun, nasib mempercepat keterpisahan: Ratu Ageng wafat 40 hari setelah melahirkan, dan karena makam kerajaan di Imogiri belum rampung, ia dimakamkan di Girilaya. Peristiwa ini tak hanya menyisakan duka, tetapi juga mempertegas hilangnya satu kekuatan perempuan dalam orbit kekuasaan Mataram.
Penyematan nama "Rahmat" kepada sang putra agaknya bukan tanpa maksud. Nama itu hampir pasti merujuk kepada figur spiritual agung: Sunan Ampel, atau Raden Rahmat, seorang wali yang dihormati dan menjadi pusat otoritas moral dalam tradisi Islam Jawa. Dalam lingkungan keluarga bangsawan Surabaya, nama tersebut mengandung resonansi sejarah dan religius yang dalam. Ia bukan sekadar nama, melainkan lambang harapan—bahwa sang anak kelak akan mewarisi berkah, kewibawaan moral, dan legitimasi spiritual dalam menjalankan kekuasaan. Terlebih, dinasti Kerajaan Surabaya mengklaim diri sebagai keturunan langsung Sunan Ampel, sehingga pemilihan nama itu memperkuat ikatan genealogi suci yang diandalkan sebagai landasan kekuasaan.
Dari Raden Mas Kuning ke Pangeran Anom: Transformasi Politik dan Pendidikan
Sejak dini, Raden Mas Rahmat menunjukkan perjalanan identitas yang fluktuatif. Ia dikenal sebagai Raden Mas Kuning, kemudian berganti-ganti nama sesuai perkembangan kedudukannya: “Pangeran Mas” (dalam catatan Rijckloff van Goens), “Prince des Rijcx” (Pangeran Negeri), dan kemudian “Pangeran Anom” (1659), yang menandai pengakuannya sebagai putra mahkota. Istilah “Anom” dalam kosmologi politik Jawa merujuk pada pewaris muda yang secara resmi disiapkan naik tahta.
Setelah usia 40 hari, ia diasuh secara terpisah dari lingkungan keraton, mengikuti kebiasaan Jawa bahwa calon raja harus menjalani pendidikan tersendiri, sering diasuh oleh pihak keluarga ibu. Dalam kasus Rahmat, pendidikannya kemungkinan besar ditangani oleh para bangsawan Surabaya yang setia kepada Pangeran Pekik. Artinya, ia tidak hanya dibentuk dalam lingkungan istana Mataram, tetapi juga dalam tradisi aristokratik pesisir utara, yang lebih terbuka terhadap Islam santri dan perdagangan maritim.
Diplomasi Perkawinan yang Gagal: Cirebon dan Banten dalam Orbit Mataram
Tahun 1652, ketika Rahmat telah mencapai usia pernikahan, dilakukan upaya untuk menjodohkannya dengan putri sultan Banten. Strategi ini adalah bagian dari agenda besar Sunan Amangkurat I untuk mengonsolidasikan kekuasaan melalui diplomasi perkawinan antarnegara Muslim. Namun, rencana itu kandas. Mataram menginginkan adanya jaminan loyalitas dengan meminta salah satu kerabat sultan Banten tinggal di Mataram sebagai sandera politik, seperti yang telah diterapkan pada keluarga Kerajaan Cirebon. Namun Banten menolak keras skema ini, yang menyinggung otonomi mereka. Maka, proyek pernikahan pun gagal.
Setahun kemudian, muncul rencana serupa dengan Cirebon. Namun, hasilnya pun nihil. Raden Mas Rahmat dikirim ke dalem adipati Cirebon untuk “nontoni”—melihat langsung calon mempelai. Putri yang ditemui memang cantik, namun sifatnya yang pemarah tidak cocok dengan sang pangeran. Dalam narasi lokal, ini menjadi alasan penolakan. Namun dari perspektif politik, alasan sesungguhnya bisa jadi adalah karena putri itu tidak mampu menjamin kekuatan politik baru bagi calon raja Mataram yang sedang mencari pijakan kekuasaan sendiri.
Perkawinan, Asmara, dan Simbol Kekuasaan (1656–1657)
Pada tahun 1656, kegagalan kembali terjadi dengan Banten. Maka, putra mahkota akhirnya dikawinkan dengan seorang perempuan dari lingkungan dalam, bukan dari dinasti kerajaan mana pun. Sumber-sumber lokal menyebut nama Rara Oyi, putri Mangunjaya, namun keabsahan ini diragukan. Yang jelas, perkawinan terjadi sekitar 1657, dan menghasilkan seorang anak laki-laki (Raden Mas) dan seorang putri, Ratu Woh.
Keberadaan anak lelaki ini menjadi perhatian utusan Belanda Verspreet tahun 1668, yang secara khusus memberi hadiah kepada sang anak. Namun, jika merujuk Valentijn, anak itu bukan Amangkurat Mas (kelahiran 1670), melainkan anak sebelumnya yang mungkin telah meninggal sebelum tahun 1678.
Antara Pangeran dan Perampok Kehormatan: Dekadensi Moral Sang Pewaris
Baca Juga : Dinsos-P3AP2KB Kota Malang Beberkan Persyaratan Adopsi Anak secara Langsung
Raden Mas Rahmat, yang setelah dinobatkan menjadi Amangkurat II, selama masa mudanya menunjukkan perilaku yang kerap disebut memalukan bahkan destruktif. Dalam catatan Jonge (Opkomst, Jil. VI), ia digambarkan gemar “keluyuran setiap malam serta memerkosa wanita dan gadis muda.” Jacob Couper menambahkan bahwa para bangsawan takut memiliki istri cantik karena akan “dipinjam” sang pangeran selama berhari-hari sebelum dikembalikan.
Perilaku semacam ini tidak sekadar menunjukkan dekadensi moral, tetapi juga mencerminkan dinamika kekuasaan internal yang tak terkendali. Ini menjadi indikator awal lemahnya pengaruh Sunan Amangkurat I terhadap putranya, serta kekosongan pengawasan etis dalam sistem feodal Mataram yang kian rapuh.
Bayangan Bencana dan Kejatuhan Moral Keraton
Dekadensi yang dibawa oleh sang putra mahkota menjadi salah satu sebab utama krisis legitimasi Mataram menjelang tahun 1670-an. Ketika Keraton Mataram di Plered hancur akibat pemberontakan Trunajaya (1677), Amangkurat II hanya mampu menyelamatkan dua permaisuri dan enam selir. Namun, selama pelarian di Jepara, reputasi buruknya tetap melekat. Ia dianggap “tenggelam dalam nafsu berahinya,” dan dikhawatirkan akan menjadi penguasa yang lebih kejam jika kelak berkuasa penuh.
Speelman, jenderal VOC yang memfasilitasi pelariannya dan mengangkatnya menjadi sekutu Belanda, dalam laporan kepada pemerintah tertinggi menyatakan keprihatinannya atas watak Amangkurat II. Ia mengungkap bahwa bahkan orang-orang Jawa enggan menegurnya secara terbuka karena tabu kultural dan ketakutan struktural.
Warisan yang Rapuh dan Bayang-Bayang Kekuasaan
Masa muda Amangkurat II adalah cermin dari dua dunia yang saling bertubrukan: antara dinasti lama yang mencoba merestorasi kejayaan pasca-Sultan Agung, dan dunia baru yang penuh intrik diplomasi internasional, invasi kolonial, serta krisis moral di lingkungan elite kekuasaan. Ia lahir dari darah dua keluarga besar, tetapi gagal menjadikan sinergi keduanya sebagai kekuatan.
Historiografi masa mudanya menunjukkan bahwa sejak awal, tanda-tanda keruntuhan moral dan kegagalan dalam konsolidasi kekuasaan telah hadir dalam dirinya. Sosok yang lahir sebagai Rahmat itu, tidak mampu membawa berkah dalam kehidupan rakyatnya, melainkan menjadi simbol dari runtuhnya etika kekuasaan Jawa lama di bawah tekanan zaman baru.