JATIMTIMES - Sejarah sering ditafsirkan berdasarkan kepentingan politik dan ideologi yang berkembang dalam suatu zaman. Salah satu narasi yang berkembang luas dalam historiografi Jawa adalah bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, dianggap sebagai sosok yang menggulingkan Majapahit melalui serangan militer. Namun, berdasarkan kajian kronologis dan sumber-sumber sejarah yang tersedia, klaim ini tampaknya tidak memiliki dasar yang kuat.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa kejatuhan Majapahit pada 1478 Masehi bukanlah akibat serangan dari Demak, melainkan hasil dari konflik internal di dalam tubuh Majapahit sendiri. Bhre Kertabhumi, penguasa terakhir Majapahit yang berkedudukan di Trowulan, justru digulingkan oleh Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana, penguasa Kediri yang kemudian memproklamasikan diri sebagai penerus Majapahit di pedalaman.
Baca Juga : Pemkab Bondowoso Gelar Halal Bihalal, Bupati Ajak ASN Perkuat Ukhuwah dan Profesionalitas
Raden Patah, yang menguasai Demak Bintara, justru muncul sebagai salah satu penerus kebudayaan Jawa yang kemudian membangun pusat kekuatan baru di pesisir utara Jawa.
Raden Patah: Putra Dyah Kertawijaya, Pewaris Majapahit?
Raden Patah adalah sosok sentral dalam Islamisasi Jawa dan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Namun, asal-usulnya masih menjadi perdebatan. Historiografi Jawa menyebutnya sebagai putra Prabu Brawijaya, tetapi siapa sebenarnya raja Majapahit yang dimaksud?
Sumber sejarah seperti Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu lebih mendukung bahwa ayah Raden Patah adalah Dyah Kertawijaya (Brawijaya V, 1447–1451), bukan Bhre Kertabhumi (Brawijaya IX, 1468–1478) seperti yang banyak disebut dalam babad. Dyah Kertawijaya adalah raja ketujuh Majapahit dari garis keturunan langsung Raden Wijaya dan wafat akibat perebutan kekuasaan, yang mempercepat disintegrasi kerajaan.
Dyah Kertawijaya adalah putra Wikramawardhana, raja Majapahit yang bertakhta dari 1389 hingga 1429. Ia merupakan saudara Suhita, maharani Majapahit yang berkuasa dari 1429 hingga 1447. Saat Suhita wafat tanpa keturunan, Dyah Kertawijaya naik takhta menggantikannya, menjadikannya raja ketujuh Majapahit dari garis keturunan Raden Wijaya.
Dalam silsilah Wangsa Rajasa, Dyah Kertawijaya memiliki gelar Bhre Tumapel sebelum menjadi raja. Gelar ini menunjukkan bahwa sebelum naik takhta, ia kemungkinan besar memerintah salah satu daerah vasal Majapahit. Ia menikah dengan wanita dari China dan Champa yang kemudian menurunkan keturunan beragama Islam.
Identitas ibu Raden Patah juga beragam dalam berbagai naskah. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai putri China yang diasingkan ke Palembang dan dinikahi Arya Damar. Sementara Carita Purwaka Caruban Nagari mengaitkannya dengan Syaikh Bantong, seorang ulama asal Gresik.
Sebagai pewaris Majapahit yang memilih beragama Islam, Raden Patah mendapat dukungan Wali Songo dan menjadikan Demak sebagai pusat Islamisasi. Ia juga terlibat dalam konflik dengan Majapahit, yang akhirnya runtuh pada 1478. Warisannya terus berlanjut melalui dinasti-dinasti Islam di Jawa, dari Pajang hingga Mataram Islam.
Historiografi tradisional cenderung mengaburkan peran Dyah Kertawijaya dan lebih menonjolkan Kertabhumi sebagai ayah Raden Patah. Namun, kajian kritis menunjukkan bahwa justru Dyah Kertawijaya-lah leluhur sah yang mewarisi Majapahit dan menjadi cikal bakal dinasti Islam di Jawa.
Dyah Kertawijaya adalah penguasa sah Majapahit yang memainkan peran penting dalam perkembangan Islam di lingkungan istana, sekaligus menjadi leluhur utama dinasti-dinasti Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di bawah kepemimpinannya, sejumlah kerabat yang telah memeluk Islam diberi kedudukan strategis. Raden Rahmat, misalnya, diangkat sebagai imam besar di Surabaya.
Putra dan kerabatnya yang lain pun mendapatkan posisi penting: Raden Patah diangkat sebagai Pecat Tandha di Bintara, Raden Kusen ditempatkan di Terung, Bhattara Katong memimpin Wengker, dan Raden Paku membangun basis keagamaan di Giri. Dari garis keturunannya inilah, kemudian lahir tokoh-tokoh penting dalam proses Islamisasi Jawa, seperti Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pamanahan, Panembahan Senapati, hingga Sultan Agung.
Dengan demikian, Dyah Kertawijaya bukan hanya penguasa terakhir Majapahit yang sah, tetapi juga figur transisi kunci dari era Hindu-Buddha menuju era Islam di tanah Jawa.
Namun, historiografi tradisional justru kerap mengabaikan peran Dyah Kertawijaya dan lebih menonjolkan Bhre Kertabhumi sebagai raja terakhir Majapahit. Dalam berbagai babad dan sumber kolonial, Kertabhumi sering dianggap sebagai pemimpin yang sah. Padahal ia merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1468 M dengan menggulingkan Singhawikramawarddhana (putra Dyah Kertawijaya). Fakta ini menunjukkan bahwa Kertabhumi bukanlah penerus langsung dalam garis dinasti Majapahit yang sah, melainkan seorang perebut takhta yang justru mempercepat keruntuhan kerajaan.
Bhre Kertabhumi Bukan Brawijaya V: Meluruskan Sejarah
Penulis berpendapat bahwa "Brawijaya" merupakan gelar anumerta dalam konstruksi historiografi modern yang digunakan untuk merujuk kepada para penguasa laki-laki Majapahit, khususnya pada periode akhir kejayaannya. Sebutan ini tidak ditemukan dalam prasasti-prasasti resmi Majapahit, tetapi berkembang melalui tradisi babad dan kronik Jawa yang menyusun silsilah raja-raja Majapahit berdasarkan gelar simbolik tersebut. Penggunaan gelar “Brawijaya” dalam wacana sejarah populer lebih merefleksikan proses ingatan kolektif yang bersifat naratif, bukan sistem administratif Majapahit itu sendiri.
Dalam kerangka klasifikasi ini, Dyah Kertawijaya lebih tepat disebut sebagai Brawijaya V, apabila urut-urutan tradisional dimulai dari Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) sebagai Brawijaya I, Jayanegara sebagai Brawijaya II, Hayam Wuruk sebagai Brawijaya III, dan Wikramawardhana sebagai Brawijaya IV. Dyah Kertawijaya, yang memerintah pada pertengahan abad ke-15 dan didharmakan di Kertawijayapura, merupakan sosok penting yang mempertahankan kesinambungan dinasti Majapahit di tengah mulai retaknya fondasi politik, sosial, dan ideologis kerajaan.
Bila klasifikasi ini diterima, maka Bhre Kertabhumi, yang memerintah antara tahun 1468 hingga 1478, tidak dapat lagi dianggap sebagai Brawijaya V, sebagaimana lazim diyakini dalam tradisi populer. Hal ini disebabkan karena setelah wafatnya Dyah Kertawijaya, tahta Majapahit tidak langsung dipegang oleh Bhre Kertabhumi, melainkan terlebih dahulu diisi oleh serangkaian penguasa yang secara kronologis dapat diklasifikasikan sebagai Brawijaya VI hingga VIII.
Pengganti pertama Dyah Kertawijaya adalah menantunya, Dyah Wijayakumara (Bhre Pamotan), yang dinobatkan dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Penobatannya berlangsung di Keling-Kahuripan (Daha-Kediri), bukan di pusat kekuasaan Trowulan, yang menandakan lemahnya dukungan politis dan legitimasi dinastik. Pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir tragis. Selanjutnya, kekuasaan dilanjutkan oleh Hyang Purwawisesa, yang dikenal karena kebijakan integratif terhadap kerabat-kerabatnya yang telah memeluk Islam. Selama lebih dari satu dekade, ia memberi tempat kepada tokoh-tokoh Muslim seperti Raden Patah, Raden Kusen, dan Bhattara Katong untuk memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan Majapahit, sebuah langkah strategis yang mencerminkan dinamika sosial-keagamaan masa itu.
Sepeninggal Hyang Purwawisesa, kekuasaan diwarisi oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang bergelar Singhawikramawarddhana. Namun, pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir setelah kudeta oleh Bhre Kertabhumi pada tahun 1468, yang menandai awal kemerosotan politik Majapahit secara drastis.
Dengan memperhatikan rangkaian suksesi tersebut, Bhre Kertabhumi secara kronologis menempati posisi sebagai penguasa kesembilan dalam tradisi simbolik Brawijaya. Oleh karena itu, secara historiografis, lebih tepat apabila Bhre Kertabhumi diklasifikasikan sebagai Brawijaya IX, bukan Brawijaya V.
Di sisi lain, kajian historiografi juga menunjukkan bahwa Raden Patah adalah putra dari Dyah Kertawijaya, bukan dari Bhre Kertabhumi sebagaimana kerap diasumsikan dalam versi babad yang bercampur unsur mitologis. Fakta ini diperkuat oleh sejumlah sumber yang secara tegas mengaitkan Raden Patah dengan garis keturunan penguasa sah Majapahit melalui Dyah Kertawijaya. Selain itu, bukti struktural juga menunjukkan bahwa Raden Patah diangkat sebagai pecat tandha—semacam pengawas wilayah—oleh seorang raja Majapahit yang masih memiliki legitimasi penuh, yaitu Bhre Wengker, putra Dyah Kertawijaya, yang kemudian naik takhta dengan gelar Hyang Purwawisesa.
Dengan demikian, narasi bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya V dan ayah dari Raden Patah lebih merupakan konstruksi pascabencana politik Majapahit, bukan refleksi akurat dari kronologi kekuasaan. Penelusuran sumber primer dan pembacaan kritis terhadap struktur kronik lokal menegaskan bahwa Dyah Kertawijaya-lah Brawijaya V yang sesungguhnya, sekaligus ayah biologis dari Raden Patah.
Kudeta Bhre Kertabhumi dan Runtuhnya Majapahit
Untuk memahami konteks kehancuran Majapahit, kita harus kembali ke dinamika internal kekuasaan pada pertengahan abad ke-15. Setelah kematian Dyah Kertawijaya (Brawijaya V) pada 1451, Majapahit memasuki fase instabilitas yang ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para keturunan wangsa Rajasa. Pada 1466, Bhre Pandan Salas Sri Adhi Suraprabhawa menjadi penguasa Majapahit. Namun, pemerintahannya berakhir setelah dikudeta oleh Bhre Kertabhumi pada 1474. Kudeta ini menandai awal dari keruntuhan Majapahit karena tidak semua elit di dalam kerajaan menerima legitimasi Bhre Kertabhumi sebagai raja.
Salah satu tokoh yang menentang kekuasaan Bhre Kertabhumi adalah Dyah Ranawijaya Girindrawardhana, putra Bhre Pandan Salas. Dengan dukungan kekuatan Kediri, ia menghimpun pasukan dan pada 1478 melancarkan serangan besar ke ibukota Majapahit, yang berujung pada hilangnya Bhre Kertabhumi dan kehancuran kutaraja. Peristiwa ini kemudian dikenang dalam candrasengkala terkenal: Sirna Ilang Kertaning Bhumi (1400 Saka / 1478 Masehi).
Setelah kehancuran Majapahit, Dyah Ranawijaya Girindrawardhana memindahkan pusat pemerintahan ke Kediri. Sementara itu, Raden Patah, yang sebelumnya merupakan adipati di Demak Bintara, memperkuat wilayahnya sebagai pusat kekuasaan baru yang berbasis Islam. Pembangunan Masjid Agung Demak yang selesai pada 1479—hanya setahun setelah jatuhnya Majapahit—menjadi simbol bahwa Demak telah berdiri sebagai entitas politik yang mandiri.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam historiografi Jawa, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Raden Patah mengirim pasukan untuk menyerang Majapahit. Justru, Raden Patah memiliki hubungan kekerabatan dengan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana. Keduanya sama-sama keturunan Prabu Kertawijaya (Brawijaya V). Ayah Dyah Ranawijaya, yaitu Bhre Pandan Salas, adalah saudara seayah dengan Raden Patah. Dengan demikian, baik dari segi genealogi maupun politik, tidak ada alasan bagi Raden Patah untuk menyerang Majapahit yang saat itu justru berada dalam genggaman kerabatnya sendiri.
Baca Juga : Mengenal TKDN: Pengertian, Manfaat, hingga Cara Hitungnya
Bahkan setelah Dyah Ranawijaya mengambil alih Majapahit, ia tidak menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Demak. Sepanjang kekuasaannya, tidak ada catatan mengenai upaya Kediri untuk merebut wilayah pesisir yang telah didominasi oleh penguasa-penguasa muslim. Hal ini menunjukkan bahwa setelah kejatuhan Majapahit, kekuatan politik di Jawa mengalami fragmentasi, tetapi tetap berada dalam kendali keturunan Kertawijaya.
Salah satu argumen yang sering digunakan untuk menyatakan bahwa Raden Patah menyerang Majapahit adalah berkembangnya Islam secara pesat di Jawa pasca-1478. Namun, perkembangan ini lebih disebabkan oleh transformasi sosial yang terjadi secara alami setelah runtuhnya pemerintahan pusat Majapahit.
Setelah kutaraja Majapahit runtuh, pusat-pusat kekuasaan lokal mulai berdiri secara mandiri. Di pesisir utara Jawa, dakwah Islam berkembang pesat melalui jaringan Wali Songo, yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan akibat melemahnya otoritas Majapahit. Sejumlah wilayah seperti Tuban, Lasem, dan Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam yang semakin kuat seiring dengan melemahnya pengaruh Hindu-Buddha di pedalaman.
Sistem dakwah yang digunakan Wali Songo pun bersifat asimilatif. Tradisi-tradisi lokal tetap dilestarikan dan disinkretisasi dengan ajaran Islam, sehingga tidak terjadi konflik besar antara masyarakat Hindu-Buddha dan muslim. Oleh karena itu, argumentasi bahwa Islam berkembang melalui perang dan penaklukan oleh Demak tidak memiliki dasar historis yang kuat.
Demak Bintara dan Peran Raden Patah
Raden Patah, sebagai penguasa Demak Bintara, bukanlah musuh Majapahit. Secara genealogis, ia merupakan putera dari Prabu Kertawijaya (Brawijaya V), dan masih satu keluarga dengan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Hubungan ini menunjukkan bahwa di antara para penguasa Jawa pada masa itu, terdapat kesadaran genealogis yang membuat mereka lebih memilih membangun kekuasaan sendiri daripada saling menyerang.
Setelah kehancuran Majapahit di Trowulan, Raden Patah justru memperkuat Demak dengan membangun Masjid Agung Demak pada tahun 1479 Masehi. Pendirian masjid ini menjadi simbol kemandirian politik dan keberlanjutan peradaban Islam di pesisir utara Jawa. Demak tidak perlu menaklukkan Majapahit, karena Majapahit sendiri sudah runtuh akibat perang saudara di antara para pewarisnya.
Selain itu, ekspansi dakwah Islam di Jawa berjalan dengan damai. Tidak ada catatan dalam historiografi Jawa maupun prasasti yang menyebutkan adanya pertempuran besar antara Demak dan Majapahit. Yang terjadi justru penguatan sentra-sentra dakwah Islam di sepanjang pesisir utara Jawa, yang dikembangkan oleh jaringan Wali Songo.
Sentra Dakwah Islam dan Transformasi Sosial
Setelah kejatuhan Majapahit, pesisir utara Jawa berkembang pesat sebagai pusat dakwah Islam. Para wali, yang merupakan murid dan keluarga Sunan Ampel, mendirikan berbagai pusat dakwah di berbagai daerah. Di Surabaya, Sunan Ampel membangun pusat dakwah di Ampeldenta, yang menjadi poros utama penyebaran Islam di Jawa. Di Gresik, Sunan Giri mendirikan Giri Kedhaton, yang kemudian berkembang menjadi pusat pendidikan Islam berpengaruh. Sementara itu, di Lamongan, Sunan Drajat mendirikan pusat dakwah di Drajat, yang terkenal dengan ajaran sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Di Tuban, Sunan Bonang aktif berdakwah dan mendirikan pusat penyebaran Islam, sementara di kawasan Sendang Duwur, Raden Nur Rahmat, yang dikenal sebagai Sunan Sendang, turut mengembangkan ajaran Islam. Lasem juga menjadi pusat penting dakwah Islam di bawah kepemimpinan Nyai Ageng Maloka dan suaminya, Pangeran Wiranagara, yang turut berperan dalam memperluas jaringan Islam ke berbagai daerah pesisir.
Demak Bintara, di bawah kepemimpinan Raden Patah dan didukung oleh Wali Songo, berkembang menjadi pusat kekuasaan Islam pertama di Jawa, sekaligus menjadi simbol kejayaan Islam di Nusantara. Sementara itu, di Kalijaga dan Cirebon, Sunan Kalijaga bersama Syekh Siti Jenar dan Sunan Gunung Jati membangun pusat dakwah yang turut memperkuat penyebaran Islam hingga ke wilayah barat Pulau Jawa. Keberadaan pusat-pusat dakwah ini menandai pergeseran besar dalam sejarah Islamisasi Jawa, yang berkembang melalui jalur budaya, pendidikan, dan politik.
Transformasi sosial yang terjadi di Jawa pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 berlangsung melalui jalur dakwah yang damai. Islam tidak berkembang melalui penaklukan militer, melainkan melalui asimilasi budaya, sinkretisasi nilai-nilai keagamaan, dan adopsi sistem pendidikan Islam yang menggantikan sistem pendidikan Hindu-Buddha di dukuh-asrama.
James Peacock dalam bukunya Purifying the Faith (1978) mencatat bahwa masyarakat Islam di Jawa terbentuk melalui proses asimilatif antara sufisme Islam dengan sinkretisme Jawa. Proses ini memungkinkan Islam berkembang tanpa harus berbenturan dengan kebudayaan setempat, melainkan justru menjadi bagian dari identitas budaya yang baru.
Meluruskan Mitos Sejarah
Narasi bahwa Raden Patah menyerang dan menghancurkan Majapahit adalah mitos sejarah yang perlu diluruskan. Berdasarkan bukti historiografi yang ada, kejatuhan Majapahit terjadi akibat konflik internal, di mana Bhre Kertabhumi digulingkan oleh Dyah Ranawijaya dari Kediri pada 1478 Masehi.
Setelah itu, Demak Bintara berkembang sebagai kekuatan baru di pesisir utara Jawa tanpa harus berhadapan dengan Kediri yang mengklaim diri sebagai penerus Majapahit. Dakwah Islam berkembang pesat melalui jaringan Wali Songo, yang mendirikan berbagai pusat dakwah di sepanjang pantai utara Jawa.
Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa transisi dari Majapahit ke Demak bukanlah akibat perang penaklukan, melainkan akibat pergeseran kekuasaan yang terjadi secara alamiah. Majapahit runtuh karena konflik internal, sementara Demak tumbuh karena kekuatan sosial, ekonomi, dan keagamaan yang berakar kuat dalam jaringan wali dan masyarakat pesisir.
Penting bagi kita untuk terus mengkaji ulang historiografi Jawa dengan pendekatan yang lebih objektif, agar narasi sejarah yang berkembang dapat mencerminkan fakta yang sebenarnya.
Narasi Keliru dalam Babad dan Hikayat
Mengapa kemudian muncul mitos bahwa Raden Patah menyerang Majapahit? Salah satu penyebabnya adalah narasi dalam babad dan hikayat yang ditulis pada masa Mataram Islam, berabad-abad setelah peristiwa itu terjadi. Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, terdapat cerita yang menyebut bahwa Raden Patah menyerang Majapahit dengan bantuan Wali Songo. Namun, sumber ini tidak dapat dijadikan rujukan utama karena lebih bersifat legenda dan bertujuan untuk memberikan legitimasi kepada Mataram Islam sebagai pewaris sah kejayaan Majapahit.
Historiografi modern menunjukkan bahwa Babad Tanah Jawi ditulis dengan sudut pandang politik penguasa Mataram pada abad ke-17. Pada masa itu, Mataram sedang berupaya memperkuat klaimnya sebagai penerus tradisi Jawa yang berasal dari Majapahit. Dengan menggambarkan Demak sebagai penakluk Majapahit, Mataram mencoba menegaskan garis legitimasi bahwa Islam di Jawa berdiri di atas kehancuran kerajaan Hindu-Buddha.
Fakta-fakta historis yang dapat diverifikasi dengan dokumen dan prasasti menunjukkan bahwa Raden Patah tidak pernah menyerang Majapahit. Kejatuhan Majapahit pada 1478 adalah akibat serangan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana dari Kediri, yang merupakan bagian dari konflik internal dinasti Majapahit itu sendiri.
Setelah Majapahit runtuh, Demak Bintara berkembang sebagai pusat kekuasaan Islam tanpa adanya intervensi dari Kediri. Penyebaran Islam di pesisir utara Jawa pun berlangsung melalui proses dakwah yang damai, bukan melalui peperangan.
Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengoreksi narasi yang telah lama berkembang dalam tradisi babad dan hikayat. Historiografi yang lebih akurat harus didasarkan pada sumber-sumber primer seperti prasasti dan catatan sezaman, bukan sekadar mitos yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sejarah harus dipahami sebagai kajian ilmiah yang berlandaskan bukti, bukan sekadar alat legitimasi politik bagi penguasa di masa lalu.