free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Politik

Akademisi UB Tanggapi 7 Jurnalis Senior yang Wawancarai Prabowo Subianto: Ada Implikasi Positif dan Negatif

Penulis : Tubagus Achmad - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Pakar komunikasi politik sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB Verdy Firmantoro. (Foto: Dok. Pribadi for JatimTIMES)

JATIMTIMES - Beberapa waktu lalu tepatnya pada Minggu (6/4/2025) Presiden RI Prabowo Subianto melakukan sesi wawancara secara eksklusif dengan tujuh jurnalis senior selama kurang lebih empat jam di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat untuk membahas berbagai isu strategis. 

Tujuh jurnalis senior itu di antaranya Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi tvOne Lalu Mara Satriawangsa, Pemimpin Redaksi SCTV-Indosiar Retno Pinasti, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis, Founder Narasi Najwa Shihab dan Pemimpin Redaksi detikcom Alfito Deannova Gintings. 

Baca Juga : Beralih Pakai Sistem DTSEN, Pencairan Bansos di Kota Batu Terhambat

Terkait dengan sesi wawancara eksklusif ini membuat pakar komunikasi politik Verdy Firmantoro yang juga Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) angkat bicara. Akademisi yang akrab disapa Verdy itu mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh Prabowo dengan mengundang tujuh jurnalis senior dari lintas perusahaan media memiliki implikasi positif maupun negatif. 

Verdy menyebut, implikasi positif yang pertama, ketika seluruh khalayak melihat tujuh jurnalis senior melakukan sesi wawancara eksklusif dengan Prabowo, maka pemerintah dalam hal ini Presiden RI Prabowo Subianto dapat melakukan kontrol narasi. 

"Implikasi positifnya pemerintah dapat mengontrol narasi untuk mengurangi misinterpretasi khususnya pada isu-isu sensitif, menjawab kritik publik yang selama ini berkembang, dan sebagai medium klarifikasi untuk menghindari asumsi yang liar," ungkap Verdy kepada JatimTIMES, Rabu (9/4/2025). 

Akademisi yang menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Indonesia ini menuturkan, bahwa implikasi positif lainnya yakni momentum wawancara eksklusif bersama tujuh jurnalis ini menjadi simbol keterbukaan dan mengurangi persepsi anti kritik pemerintah untuk menciptakan kepercayaan publik yang lebih besar. 

Menurut Verdy, meskipun memiliki implikasi positif pada konteks tertentu, bentuk komunikasi yang dilakukan oleh Presiden RI Prabowo Subianto dengan mengundang tujuh jurnalis ke kediamannya untuk melakukan sesi wawancara eksklusif juga memiliki celah ketika dalam pernyataan atau jawaban dari Prabowo kontra produktif atau disalahpahami oleh masyarakat luas. 

"Kemudian persepsi keberpihakan terhadap media yang diundang itu bisa saja memberikan impact yang kurang positif. Artinya ada anggapan media-media tertentu yang dipilih. Misalnya media yang lebih kritis mengapa tidak dipilih, mungkin persepsi itu bisa saja muncul," kata Verdy.

Selain itu, Verdy menyebut juga terdapa implikasi atau celah yang lain ketika Prabowo sebagai simbol kepala negara memberikan pernyataan-pernyataan yang lebih mengarah kepada pembelaan diri. Hal itu menurut Verdy memungkinkan publik atau masyarakat luas Indonesia memberikan respons negatif terhadap komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah. 

"Selain itu, potensi inkonsistensi atau jawaban yang terlalu normatif dan tidak sesuai dengan harapan publik juga bisa memberikan pemahaman kepada publik kurang persiapan data," tutur Verdy. 

Baca Juga : Selamat! Shin Tae-yong Ditunjuk Jadi Wakil Presiden Sepakbola Korea

Pihaknya mengatakan, bahwa dalam konteks komunikasi pemerintah, apa yang telah dilakukan oleh Presiden RI Prabowo Subianto merupakan catatan bagi seluruh pejabat publik di tingkat kementerian, lembaga maupun badan agar dapat memerhatikan pernyataan-pernyataan yang disampaikan kepada publik. 

"Menurut saya, yang paling utama dalam konteks ini para pejabat publik perlu memastikan kesiapan data, narasi, paham persoalan, dan ketika merespons pertanyaan kritis yang berkembang juga harus siap, tidak boleh emosional. Ini yang harus dipahami pejabat publik. Ketika itu disalahpahami publik maka akan dianggap blunder juga," tegas Verdy. 

Selain itu, perlu adanya pelibatan media-media lain yang lebih kritis. Sehingga, dengan adanya sesi wawancara eksklusif dengan ditambah perlibatan perusahaan media yang lain maka akan menambah kesan inklusif dan pemerintah tidak membeda-bedakan antar media di Indonesia. 

Verdy juga mengingatkan bahwa pemerintah juga tidak perlu panik dan reaktif dalam menjawab isu-isu krusial yang berkembang di masyarakat, tetapi seharusnya pemerintah lebih pro aktif dalam merespons isu-isu krusial yang sedang berkembang di masyarakat. 

"Selain itu yang utama, jangan menunggu isu itu liar di masyarakat baru bersuara. Tetapi respons cepat dan terukur itu perlu dilakukan. Akhirnya pada konteks ini seolah-olah Presiden Prabowo menata komunikasi atau istilahnya bersih-bersih dari blunder-blunder yang dilakukan oleh beberapa pihak, baik dari tim komunikasi atau pembantu presiden yang lainnya. Jadi jangan sampai Presiden itu terbuang energinya untuk mengklarifikasi hal-hal yang barangkali yang cukup tidak meresahkan," pungkas Verdy.