JATIMTIMES - Pada tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi, Sri Prabu Kertawijaya mangkat. Kepergiannya menandai awal dari rangkaian konflik yang akan mengguncang Majapahit hingga ke akar-akarnya.
Menurut Pararaton, jenazah Kertawijaya didarmakan di Kertawijayapura, yang diyakini berada di samping makam putri Campa, Darawati, istrinya. Namun, tafsir lokal menyebutnya sebagai makam Prabu Damarwulan dan permaisurinya, Ratu Kencono Wungu.
Baca Juga : Update Truk Bermuatan Kayu Log Tersambar Kereta Api di Gresik, Asisten Masinis Tewas
Sejak wafatnya Kertawijaya, Majapahit segera terseret dalam perang suksesi yang berkepanjangan. Kekuatan politik dalam kerajaan mulai terpecah, memunculkan intrik, kudeta, dan pergolakan di dalam istana. Kerapuhan ini menjadi faktor utama yang mempercepat kemunduran Majapahit.
Kekacauan Pasca-Kematian Sri Prabu Kertawijaya
Pengganti Kertawijaya adalah Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan yang naik takhta dengan gelar Sri Rajasawarddhana pada tahun 1373 Saka (1451 M). Menariknya, ia bukan putra kandung Kertawijaya, melainkan hanya menantu. Penobatan yang dilakukan di Keling-Kahuripan—bukan di ibu kota Wilwatikta—menunjukkan adanya instabilitas di pusat kekuasaan.
Namun, pemerintahannya hanya bertahan kurang dari dua tahun. Dalam tekanan konflik internal dengan para putra kandung Kertawijaya, Sri Rajasawarddhana mengalami gangguan jiwa. Dalam keadaan bingung, ia melompat dari perahu ke tengah lautan dan tewas. Jenazahnya dicandikan di Sepang, dan ia kemudian dikenal sebagai Bhre Pamotan Sang Sinagara.
Sejak wafatnya Rajasawarddhana, selama tiga tahun (1453–1456), Majapahit mengalami kevakuman kekuasaan (telung taun tan hana prabhu). Kekosongan ini semakin memperlemah struktur kerajaan yang sudah mulai retak.
Bhre Wengker: Mempertahankan Sisa Kekuasaan
Pada tahun 1378 Saka (1456 M), Bhre Wengker, putra Kertawijaya, naik takhta dengan gelar Hyang Purwawisesa. Ia mencoba mengembalikan stabilitas dengan melanjutkan kebijakan ayahandanya, termasuk memberikan kedudukan kepada kerabat yang beragama Islam.
Di bawah pemerintahannya, Raden Patah, saudara lain ibu, diangkat sebagai Pecat Tandha di Bintara (Demak) di bawah Adipati Lembu Sora. Raden Kusen, putra Arya Damar, dijadikan Pecat Tandha di Terung. Bhatara Katong, yang telah memeluk Islam, menjadi raja di Wengker (Ponorogo). Sementara itu, Raden Paku, keturunan Bhre Wirabhumi, menjadi penguasa di Giri dengan gelar Prabu Satmata.
Hyang Purwawisesa memerintah selama sepuluh tahun sebelum akhirnya mangkat pada 1388 Saka (1466 M). Ia didarmakan di Puri.
Pemberontakan dan Kembalinya Perang Suksesi
Sepeninggal Hyang Purwawisesa, putranya Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa naik takhta dengan gelar Sri Prabu Singhawikramawarddhana. Namun, pemerintahannya hanya berlangsung dua tahun (1466–1468 M).
Pada tahun 1468, pemberontakan besar terjadi, dipimpin oleh Bhre Kertabhumi, putra Bhre Pamotan Sang Sinagara. Menurut Pararaton, akibat pemberontakan ini, Singhawikramawarddhana terpaksa meninggalkan keraton dan bertahan di Daha. Ia berkuasa di sana hingga wafatnya pada 1474 M.
Setelah kematian Singhawikramawarddhana, Bhre Kertabhumi mengangkat dirinya sebagai maharaja Majapahit. Namun, pengangkatannya mendapat tentangan keras dari keturunan Kertawijaya dan para adipati pesisir Muslim yang telah mendapat tempat dalam kekuasaan sebelumnya.
Saat itu, Majapahit terpecah menjadi dua kekuasaan, yaitu Bhre Kertabhumi yang memerintah di Wilwatikta (Majapahit) dan Dyah Ranawijaya, putra Singhawikramawarddhana, yang berkuasa di Daha dengan gelar Abhiseka Girindrawardhana.
Kedudukan Bhre Kertabhumi tidak bertahan lama. Pada tahun 1400 Saka (1478 M), Dyah Ranawijaya Girindrawardhana mengerahkan pasukan besar untuk menyerang Majapahit.
Menurut Pararaton, dalam peristiwa serangan itu, Bhre Kertabhumi terbunuh di dalam keraton (kapernah paman, bhre prabu sang mokta ring kadhaton). Serat Kandha menegaskan bahwa kehancuran ibu kota Majapahit ini terjadi pada tahun 1400 Saka, sesuai dengan candrasengkala sirna-ilang-kertaning-bhumi.
Setelah menggulingkan Kertabhumi, Dyah Ranawijaya berhasil menyatukan sisa wilayah Majapahit yang tersisa. Dalam prasasti, ia menyebut dirinya sebagai Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala-Kediri Prabu Nata, mencerminkan klaimnya atas keseluruhan warisan Majapahit.
Namun, kejayaan itu bersifat semu. Majapahit sudah rapuh dari dalam. Sejak ibu kota dipindahkan ke Daha-Kadiri, kerajaan ini semakin terkucil dan kehilangan kontrol atas jalur perdagangan. Pelaut Portugis pada awal abad ke-16 masih mendengar nama Majapahit, tetapi hanya sebagai kerajaan kecil di pedalaman.
Bhre Kertabhumi Bukan Brawijaya V: Meluruskan Sejarah
Dalam berbagai narasi babad dan tradisi tutur, nama “Brawijaya” kerap dijadikan sebagai poros imajinatif yang menautkan transisi antara kekuasaan Hindu-Buddha Majapahit dan kebangkitan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Namun, di balik kemasyhurannya, istilah ini lebih merupakan gelar anumerta simbolik ketimbang fakta administratif yang terverifikasi secara kronologis. Penempatan tokoh-tokoh seperti Bhre Kertabhumi sebagai Brawijaya V dan ayah dari Raden Patah merupakan refleksi dari konstruksi memori kolektif, bukan representasi akurat dari sejarah dinasti Majapahit.
Penulis berpendapat bahwa istilah “Brawijaya” dalam konstruksi historiografi modern adalah gelar anumerta yang digunakan secara simbolik untuk merujuk kepada para penguasa laki-laki Majapahit, khususnya pada periode akhir. Istilah ini tidak dijumpai dalam prasasti resmi Majapahit, namun berkembang dalam tradisi babad, serat, dan kronik lokal yang cenderung menyusun silsilah penguasa berdasarkan simbolisme, bukan bukti dokumenter.
Baca Juga : Truk Bermuatan Kayu Log Tersambar Kereta Api di Gresik
Dalam kerangka klasifikasi ini, Dyah Kertawijaya lebih tepat disebut sebagai Brawijaya V, apabila urut-urutan tradisional dimulai dari Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) sebagai Brawijaya I, Jayanegara sebagai Brawijaya II, Hayam Wuruk sebagai Brawijaya III, dan Wikramawardhana sebagai Brawijaya IV. Dyah Kertawijaya, yang memerintah pada pertengahan abad ke-15 dan didharmakan di Kertawijayapura, merupakan sosok penting yang mempertahankan kesinambungan dinasti Majapahit di tengah mulai retaknya fondasi politik, sosial, dan ideologis kerajaan.
Bila klasifikasi ini diterima, maka Bhre Kertabhumi, yang memerintah antara tahun 1468 hingga 1478, tidak dapat lagi dianggap sebagai Brawijaya V, sebagaimana lazim diyakini dalam tradisi populer. Hal ini disebabkan karena setelah wafatnya Dyah Kertawijaya, tahta Majapahit tidak langsung dipegang oleh Bhre Kertabhumi, melainkan terlebih dahulu diisi oleh serangkaian penguasa yang secara kronologis dapat diklasifikasikan sebagai Brawijaya VI hingga VIII.
Pengganti pertama Dyah Kertawijaya adalah menantunya, Dyah Wijayakumara (Bhre Pamotan), yang dinobatkan dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Penobatannya berlangsung di Keling-Kahuripan (Daha-Kediri), bukan di pusat kekuasaan Trowulan, yang menandakan lemahnya dukungan politis dan legitimasi dinastik. Pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir tragis. Selanjutnya, kekuasaan dilanjutkan oleh Hyang Purwawisesa, yang dikenal karena kebijakan integratif terhadap kerabat-kerabatnya yang telah memeluk Islam. Selama lebih dari satu dekade, ia memberi tempat kepada tokoh-tokoh Muslim seperti Raden Patah, Raden Kusen, dan Bhattara Katong untuk memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan Majapahit, sebuah langkah strategis yang mencerminkan dinamika sosial-keagamaan masa itu.
Sepeninggal Hyang Purwawisesa, kekuasaan diwarisi oleh putranya, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, yang bergelar Singhawikramawarddhana. Namun, pemerintahannya berlangsung singkat dan berakhir setelah kudeta oleh Bhre Kertabhumi pada tahun 1468, yang menandai awal kemerosotan politik Majapahit secara drastis.
Dengan memperhatikan rangkaian suksesi tersebut, Bhre Kertabhumi secara kronologis menempati posisi sebagai penguasa kesembilan dalam tradisi simbolik Brawijaya. Oleh karena itu, secara historiografis, lebih tepat apabila Bhre Kertabhumi diklasifikasikan sebagai Brawijaya IX, bukan Brawijaya V.
Dengan memperhitungkan seluruh suksesi tersebut, maka Bhre Kertabhumi secara urutan menempati posisi kesembilan dari jalur simbolik "Brawijaya". Oleh karena itu, secara historiografis, ia lebih tepat disebut sebagai Brawijaya IX, bukan Brawijaya V seperti diasumsikan dalam narasi populer.
Salah satu kesalahan paling masif dalam penulisan sejarah populer adalah penempatan Raden Patah sebagai putra Bhre Kertabhumi. Kronologi dan struktur politik membantah narasi ini. Raden Patah telah memegang peran penting di Bintara (Demak) sebelum Bhre Kertabhumi naik takhta. Ia diangkat sebagai pecat tandha, pengawas wilayah, oleh Bhre Wengker—putra Kertawijaya sekaligus saudara tirinya—yang memerintah Majapahit dengan gelar Hyang Purwawisesa.
Hal ini diperkuat oleh data struktural dan administratif: penempatan Raden Patah dalam jaringan kekuasaan Majapahit sejak dekade 1450-an hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang memiliki otoritas legal dan hubungan darah dengannya. Sebaliknya, Bhre Kertabhumi baru berkuasa setelah melakukan kudeta, dan tidak tercatat memiliki legitimasi dinastik terhadap para pejabat Muslim yang sudah eksis sebelumnya.
Akibat Perang Suksesi: Fragmentasi dan Kelahiran Kekuasaan Baru
Setelah perang suksesi yang berkepanjangan, wilayah-wilayah yang sebelumnya setia kepada Majapahit mulai memisahkan diri. Jika pada masa Kertawijaya (1447–1451) masih ada sekitar 24 negara vasal, maka pada masa akhir Majapahit, kekuasaan ini terpecah-pecah menjadi banyak kadipaten kecil yang sering berperang satu sama lain.
Wilayah-wilayah yang muncul setelah runtuhnya Majapahit meliputi Demak, Pengging, Giri, Sengguruh, Tepasana, dan Surabaya, yang berkembang sebagai pusat kekuatan baru di pesisir utara. Selain itu, terdapat kadipaten-kadipaten kecil seperti Jepara, Semarang, Kendal, Pati, Tuban, Sumenep, Pasuruan, dan Gresik, yang mulai memainkan peran penting dalam perniagaan dan perdagangan.
Ketika pusat kekuasaan Majapahit semakin terkikis, para adipati Muslim di pesisir semakin menguat. Demak, yang didirikan oleh Raden Patah, menjadi kekuatan dominan dan akhirnya mengklaim diri sebagai penerus Majapahit.
Akhir Sebuah Imperium
Perang suksesi dan kemunduran Majapahit menunjukkan bahwa sebuah kekaisaran besar dapat runtuh bukan karena kekuatan eksternal, melainkan oleh perpecahan internal yang tak terkendali.
Kisah ini bukan hanya tentang sebuah kerajaan yang jatuh, tetapi juga tentang transformasi kekuasaan di Nusantara. Dari reruntuhan Majapahit, lahirlah era baru di mana kekuatan Islam mulai mendominasi politik dan perdagangan, membentuk peta kekuasaan yang kelak melahirkan Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram.
Majapahit telah sirna, tetapi warisannya tetap hidup dalam ingatan sejarah Nusantara. Sirna Ilang Kertaning Bumi bukan hanya sekadar candrasengkala, melainkan peringatan abadi bahwa tanpa kesatuan, kejayaan sebesar apa pun akan menemui akhirnya.