Marak Konten Nyleneh di Medsos, Sosiolog: Butuh Rem Moral dan Regulasi yang Ketat
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
20 - Jun - 2025, 05:02
JATIMTIMES – Maraknya konten menyimpang yang mengatasnamakan “kebebasan berekspresi” di media sosial makin menuai sorotan dan kecaman luas dari masyarakat. Dari konten yang memuat penyimpangan seksual dan gender, aksi ekstrem memuntahkan makanan, hingga perilaku menjijikkan seperti memasukkan kotoran ke mulut, semua tersebar luas dan dengan mudah dikonsumsi publik, terutama generasi muda.
Fenomena ini dinilai mengkhawatirkan karena berpotensi merusak tatanan norma sosial dan moral yang selama ini dijunjung tinggi di masyarakat Indonesia. Meski banyak netizen yang mengecam, para pembuat konten kerap berlindung di balik dalih kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).
Baca Juga : Kota Malang Terus Pimpin Klasemen Sementara Porprov IX Jatim, Surabaya Menempel Ketat
Sosiolog Luluk Dwi Kumala Sari, M.Si, angkat bicara menanggapi fenomena ini. Ia menyebut bahwa konten-konten menyimpang tersebut merupakan bentuk penetrasi budaya populer Barat yang tidak tersaring dengan baik, masuk ke ruang digital masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai Timur berbasis agama, moral, dan tradisi.
“Banyak dari mereka yang mengunggah konten seperti itu merasa benar karena berpijak pada kebebasan individu dalam berekspresi. Namun mereka seringkali lupa bahwa Indonesia punya konteks budaya sendiri. Ketika konten menyimpang itu disebarluaskan, tentu akan memicu keresahan,” ungkap wanita yang juga dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi salah satu kampus di Malang ini.
Menurut Luluk, gaya hidup liberal yang ditampilkan di media sosial sangat mempengaruhi generasi muda, apalagi jika mereka tumbuh di lingkungan yang minim nilai spiritual atau tidak mendapat dukungan moral dari keluarga dan lingkungan sosial.
“Broken home, pertemanan toxic, hingga lemahnya spiritualitas jadi celah masuknya perilaku menyimpang. Tapi sebaliknya, jika seseorang punya pegangan agama dan nilai moral yang kuat, mereka tidak akan mudah terpengaruh,” jelasnya.
Namun demikian, Luluk menyoroti pentingnya pendekatan yang tidak bersifat menghakimi. Ia menekankan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa stigmatisasi hanya akan memperburuk keadaan dan membuat pelaku makin kehilangan arah. “Pendekatan terbaik adalah asesmen, bukan hukuman. Kita harus tahu sejauh mana perilaku itu menyimpang...