Hamengkubuwana V dan Para Bayangannya: Rezim Pengampu dalam Sejarah Yogyakarta (1830–1834)
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
17 - Jun - 2025, 08:59
JATIMTIMES - Setelah bara Perang Jawa (1825–1830) padam, Yogyakarta tidak serta-merta menemukan kestabilannya. Sebaliknya, kota kraton itu justru memasuki fase baru yang lebih kompleks: masa pemerintahan "bayangan" di balik takhta seorang sultan kecil. Hamengkubuwana V, yang ketika itu belum genap berusia dua tahun saat diangkat sebagai Sultan, tidak berada dalam posisi mengendalikan kerajaan. Yang mengemuka bukanlah pribadi sang raja, melainkan sistem kekuasaan pengampu yang melingkupinya. Dalam konteks ini, Yogyakarta menjadi laboratorium politik kolonial, tempat kekuasaan tradisional Jawa direkonstruksi, dijinakkan, dan dimodifikasi dalam bingkai pengawasan kolonial Belanda.
Sebuah manuskrip langka dalam bahasa Jawa, berasal dari koleksi Taco Roorda dan kini tersimpan di Universitas Leiden, memberikan gambaran terperinci mengenai dinamika internal Kraton Yogyakarta dari 1832 hingga 1834. Manuskrip tersebut memuat tiga puluh satu notula Dewan Kerajaan, lembaga pemerintahan yang dalam praktiknya berfungsi sebagai pengendali utama administrasi dan kebijakan istana selama sang sultan masih di bawah umur.
Baca Juga : Mengenal Sosok Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran yang Ditarget Israel
Dewan ini terdiri dari para pengampu Sultan: Panembahan Mangkurat, Pangeran Mlangkubumi, dan Pangeran Adiwinata, didampingi oleh Patih Danureja IV, Residen Belanda, serta Asisten Residen. Mereka bukan sekadar penasihat, melainkan pemegang kekuasaan de facto, mengatur jalannya pemerintahan dengan legitimasi yang dibingkai dalam sistem hukum dan administratif kolonial. Sejak 13 November 1830, sepuluh hari setelah perjanjian damai dengan Yogyakarta ditandatangani, peran para pengampu dikuatkan melalui dekret resmi. Mereka diwajibkan menyelenggarakan sidang setidaknya seminggu sekali, dengan protokol kegiatan yang harus dicatat secara tertib.
Notula-notula ini memperlihatkan pertarungan kepentingan, tarik-menarik pengaruh, dan cara bagaimana kolonialisme mengintervensi kekuasaan lokal. Dari catatan yang tersisa, terlihat bahwa di tahun 1832 hanya tiga bulan pertama yang terdokumentasi, tahun 1833 menyimpan empat belas pertemuan, dan tahun 1834 tercatat sepuluh sidang...