Saat Hadiah Lebih Berbahaya dari Perang: Politik Tanah Jaka Tingkir Setelah Arya Penangsang
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
03 - Jun - 2025, 09:44
JATIMTIMES - Kisah kemenangan atas Arya Penangsang dan konsekuensi politiknya berupa penyerahan dua wilayah penting—Pati dan Mataram—kepada tokoh-tokoh dari Sela telah menjadi salah satu momen paling signifikan dalam sejarah peralihan kekuasaan Jawa abad ke-16. Peristiwa ini tidak hanya menandai kemenangan militer semata, tetapi juga mencerminkan relasi kuasa, patronase, dan simbolisme politik di lingkungan elite Jawa Islam pada masa itu.
Historiografi Jawa melalui sumber-sumber utama seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha menyajikan narasi ini dengan berbagai corak simbolik dan mitologis, namun di balik kisah yang kaya warna, terpendam dinamika kekuasaan yang jauh lebih kompleks.
Baca Juga : Kasus DAM Kali Bentak: Kakak Eks Bupati Blitar Resmi Jadi Tersangka
Artikel ini akan menguraikan secara detail, kritis, dan padat mengenai “hadiah” politik tersebut, dengan pendekatan blak blakan tanpa sensor: tajam, dokumentatif, dan berbasis sumber.
Kemenangan atas Arya Penangsang: Pangkal dari Sebuah Perubahan Geopolitik
Perang antara Pajang dan Jipang Panolan tidak sekadar pertempuran dua penguasa lokal, melainkan pertarungan atas legitimasi warisan Majapahit yang belum selesai. Arya Penangsang, cucu Raden Kikin, mengklaim hak atas tahta Demak yang kala itu telah berpindah ke tangan Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Dalam benturan kepentingan inilah, muncul tokoh-tokoh dari Sela: Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi, dan Danang Sutawijaya.
Menurut Babad Tanah Djawi (Meinsma, hlm. 61–65), kemenangan Pajang atas Jipang tidak diumumkan sebagai hasil karya Sutawijaya, meski secara diam-diam dialah pembunuh Penangsang. Keputusan politik ini bukan tanpa alasan. Usia muda Sutawijaya, yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senapati, dianggap belum pantas menerima kemuliaan politik. Oleh karena itu, nama Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi yang diumumkan ke hadapan publik sebagai pemenang perang.
Sebagai penghargaan atas kemenangan tersebut, Sultan Hadiwijaya menawarkan dua wilayah: Pati dan Mataram. Penawaran ini diiringi tanya kepada Ki Ageng Pamanahan: mana yang akan dipilihnya?
Sikap Pamanahan yang memilih Mataram, hutan belantara tak berpenduduk, alih-alih Pati yang telah ramai dan strategis, tampak sebagai bentuk kerendahhatian. Ia berkata, “Karena saya yang tertua, sepatutnyalah saya yang paling rendah...