Ngrowo dan Pakuncen: Dua Kabupaten Penyangga Kekuasaan Amangkurat II di Jawa Timur
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
01 - May - 2025, 04:30
JATIMTIMES - Periode pemerintahan Sunan Amangkurat II (1677–1703) dalam sejarah Jawa merupakan masa penuh transisi dan turbulensi politik, ketika kerajaan Mataram tengah bangkit dari kehancuran yang ditinggalkan Perang Trunajaya (1674–1680).
Di tengah keterpurukan istana dan dominasi baru Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), terbentuklah lanskap politik baru yang menegaskan kembali otoritas pusat atas daerah-daerah kadipaten di wilayah Mancanegara Timur. Salah satu wilayah penting dalam konfigurasi kekuasaan ini adalah Tulungagung dan sekitarnya.
Baca Juga : Dikukuhkan Sebagai Daerah Wisata Jatim, Jember Masuk Tuan Rumah Table Top East JAT-4 2025
Dengan menelusuri dokumen administratif Mataram, laporan VOC, hingga catatan Francois Valentijn, tulisan ini menyajikan potret historis Kabupaten Ngrowo dan Pakuncen dalam jaringan kekuasaan Amangkurat II. Narasi ini menempatkan Tulungagung sebagai simpul penting ekonomi-politik Jawa Timur abad ke-17, dengan pemimpin lokal yang memegang kunci atas stabilitas daerah dalam bayang-bayang imperium yang nyaris runtuh.
Perang, Pengkhianatan, dan Lahirnya Kartasura
Wafatnya Amangkurat I dalam pelarian di Tegal Arum pada 1677 menandai krisis legitimasi di tubuh Mataram. Amangkurat II, sang putra mahkota, menduduki takhta dalam kondisi nyaris tanpa ibu kota dan pasukan. Dalam situasi kacau ini, bantuan militer VOC menjadi penentu. Namun, harga dari dukungan itu adalah kompromi kedaulatan dan tekanan fiskal yang berat terhadap wilayah-wilayah Mataram.
Trunajaya, bangsawan Madura yang memimpin pemberontakan, berhasil menundukkan banyak kadipaten di wilayah Mancanegara Timur, termasuk Kediri, Madiun, hingga Surabaya. Namun pada akhir 1679, kekuatan gabungan Mataram-VOC akhirnya menundukkan Trunajaya. Ia ditangkap dan dibawa ke istana Mataram lalu dibunuh sendiri oleh Amangkurat II dengan sebilah keris di perutnya — peristiwa yang menjadi simbol pemulihan kekuasaan pusat secara brutal dan demonstratif.
Pasca stabilisasi kekuasaan, Amangkurat II memindahkan pusat kerajaan dari Plered ke Kartasura. Di kota baru ini, ia memulai langkah konsolidasi kekuasaan administratif. Termasuk di dalamnya adalah pemetaan ulang kekuasaan lokal serta pencatatan ulang adipati-adipati yang loyal maupun yang pernah memberontak...