JATIMTIMES - Para anggota Komisi A DPRD Jawa Timur (Jatim) mengunjungi Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi II DPR RI, Selasa (8/7/2025). Kunjungan tersebut berkaitan dengan kosongnya jabatan sekitar 125 kepala desa (kades) di Jatim.
Ratusan desa di Jatim tidak memiliki pemimpin definitif sebagian besar akibat penundaan pilkades serentak. Karena itu, Komisi A DPRD Jatim yang salah satunya membidangi pemerintahan, ingin meminta kejelasan soal pelaksanaan pilkades.
Baca Juga : Link Pengumuman SPMB Kabupaten Bogor 2025, Ini Cara Ceknya
Anggota Komisi A DPRD Jatim Saifudin Zuhri menjelaskan, selain karena habis masa jabatan, kekosongan kades ada pula yang disebabkan alasan lain. Di antaranya karena meninggal dunia hingga berhenti tengah jalan karena tersandung persoalan hukum.
Ia menambahkan, jika nanti posisi pemimpin desa tidak segera diisi oleh kades definitif, dikhawatirkan banyak program pemerintah yang tidak bisa berjalan dengan baik. Sebab, kadeslah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di desa.
"Hal ini sangat penting dimana nantinya banyak program pemerintah yang akan menyasar di desa. Tentunya akan melibatkan perangkat desa setempat," jelas Saifudin Zuhri saat dikonfirmasi Rabu (9/7/2025).
Dari penjelasan Kemendagri yang diterima Komisi A, pilkades belum bisa dilaksanakan lantaran UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masih butuh Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur secara teknis. PP itu saat ini masih dalam proses harmonisasi antarkementerian.
"Undang-Undang Desa yang baru memang sudah disahkan dan memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi 8 tahun. Namun, pelaksanaan teknisnya masih menunggu Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan yang mengatur detail pelaksanaan pilkades pasca perubahan UU tersebut," beber politisi PDIP ini.
"Jadi perlu adanya diskresi sebuah regulasi agar tidak ada kekosongan pimpinan di desa. Afar program pemerintah yang bersentuhan dengan desa bisa berjalan dengan baik, terutamanya pemerintahan desa harus tetap berjalan dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat," lanjutnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Saifudin Zuhri juga pernah menyoroti perihal kekosongan kades di Jatim. Ia menilai bahwa kekosongan kepala desa dalam jumlah besar sangat berpotensi mengganggu jalannya pelayanan publik dan menghambat pelaksanaan program-program pembangunan, terutama yang bersumber dari pemerintah pusat.
“Peran kepala desa sangat sentral. Mereka bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga ujung tombak pembangunan desa. Banyak proyek dari pusat yang sasarannya langsung ke desa, termasuk Dana Desa. Jika tidak ada kepala desa definitif, tentu proses penyerapan dan pelaksanaannya akan terganggu,” kata Saifudin Zuhri beberapa waktu lalu.
Ia menekankan pentingnya keberadaan kades dalam menjaga stabilitas sosial dan politik di tingkat lokal. Kekosongan jabatan, menurutnya, berpotensi menimbulkan gesekan antar kelompok masyarakat, terutama jika proses pengisian jabatan tidak berjalan transparan.
Baca Juga : Dari Pengentasan Stunting hingga Kesehatan Mental, Inovasi Kesehatan Jadi Unggulan Inovboyo 2025 Surabaya
“Kami mendorong agar pengisian kepala desa dilakukan secepat mungkin. Jangan sampai pelayanan kepada masyarakat terganggu hanya karena belum ada pejabat yang memiliki otoritas penuh. Kepala desa bukan hanya simbol, tapi mereka punya fungsi strategis dalam tata kelola desa,” jelas legislator asal Dapil Malang Raya itu.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim Budiono menyebut, sebanyak 125 desa di Jatim saat ini tidak punya kades definitif. Dari jumlah tersebut, desa tanpa kades terbanyak terdapat di Kabupaten Bojonegoro.
"Di Jawa Timur, saat ini ada sekitar 125 desa yang mengalami kekosongan jabatan kepala desa. Di Bojonegoro saja ada 20 desa,” ujar Budiono.
Kondisi ini menurutnya dapat berdampak signifikan terhadap jalannya roda pemerintahan desa. Karena itu, Budiono menegaskan, kekosongan jabatan kades tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena menyangkut kepentingan publik di tingkat paling dasar pemerintahan.
Ia mengaku telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten yang banyak terjadi kekosongan jabatan kades. Tujuannya, tak lain agar ada langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk percepatan pengisian jabatan ini.
"Kekosongan jabatan ini bukan hanya soal administratif, tapi juga soal pelayanan publik dan kesinambungan pembangunan desa. Oleh karena itu, perlu sinkronisasi regulasi agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda antar daerah,” paparnya.
Budiono menilai, sinkronisasi peraturan antara pusat dan daerah menjadi krusial untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan kebingungan di tingkat bawah. “Intinya, jangan sampai kekosongan kepala desa ini menjadi celah bagi ketidakpastian hukum dan politik di desa. Kami ingin semuanya berjalan sesuai aturan, tapi juga tidak menghambat pelayanan dan pembangunan,” tegasnya.