JATIMTIMES - Caruban, sebuah wilayah yang kini berada di Kabupaten Madiun, memiliki sejarah panjang yang berakar kuat dalam dinamika politik Jawa sejak runtuhnya Majapahit dan kemunculan Demak sebagai kekuatan baru di Nusantara.
Nama Caruban sendiri berasal dari kata "carub," yang berarti percampuran. Wilayah ini memang menjadi tempat bertemunya berbagai unsur budaya dan sosial, baik dari kalangan bangsawan, priyayi, maupun rakyat biasa.
Baca Juga : Menggempur Hegemoni Pesisir: Perang Panembahan Hanyakrawati Melawan Kerajaan Surabaya
Pada masa transisi antara Majapahit dan Demak, Caruban berkembang menjadi bagian dari struktur pemerintahan yang dibentuk oleh Kesultanan Demak Bintara. Di tengah dinamika politik yang berlangsung, salah satu tokoh penting yang muncul dalam sejarah Caruban adalah Raden Cakrakusuma I, yang lebih dikenal dengan gelar Tumenggung Alap-Alap. Ia merupakan keturunan dari salah satu tokoh sentral dalam peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak, yakni Raden Kusen, adipati Terung.
Raden Kusen dan Warisan Majapahit
Untuk memahami posisi Tumenggung Alap-Alap dalam sejarah Caruban, penting untuk menelusuri jejak silsilahnya hingga ke masa akhir Majapahit. Salah satu tokoh kunci dalam rantai genealogis ini adalah Raden Kusen, Adipati Terung, yang merupakan putra Arya Damar, Adipati Palembang. Dalam sejumlah sumber Jawa, Arya Damar disebut sebagai putra Prabu Brawijaya V, yang bernama asli Dyah Kertawijaya—raja Majapahit yang dikenal sebagai leluhur sejumlah bangsawan Muslim di Nusantara. Raden Kusen juga merupakan saudara seibu dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
Pasca wafatnya Dyah Suhita pada tahun 1447 M, Dyah Kertawijaya naik takhta sebagai penguasa Majapahit dengan gelar Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana. Dalam Babad Tanah Jawi, ia dikenal sebagai Raden Alit, yang kemudian masyhur dengan gelar Brawijaya V. Banyak sumber sejarah menyatakan bahwa Brawijaya V yang sesungguhnya adalah Dyah Kertawijaya, bukan Bhre Kertabhumi. Pendapat ini diperkuat oleh sejumlah naskah silsilah kerajaan seperti Babad Ponorogo, Babad Gresik, Babad Pengging, dan Serat Kandha, yang mencatat Dyah Kertawijaya sebagai raja sah Majapahit sekaligus figur yang terbuka terhadap penyebaran Islam.
Dyah Kertawijaya diketahui memiliki beberapa istri yang berasal dari Campa dan Tiongkok, yang memeluk agama Islam. Dari pernikahan ini, lahir anak-anak yang kelak berperan besar dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dan sekitarnya. Beberapa di antaranya adalah Arya Damar (Adipati Palembang), Raden Arak-Kali Bathara Katwang (Adipati Ponorogo), Arya Lembu Peteng (Adipati Pamadegan), Arya Menak Koncar (Adipati Lumajang), Raden Patah (Adipati Demak), Raden Bondan Kejawen atau Kyai Ageng Tarub II, serta Raden Dhandhun Wangsaprana yang dikenal sebagai Syekh Belabelu.
Kebijakan politik Dyah Kertawijaya dalam mengangkat pejabat dari kalangan Muslim mencerminkan adanya pergeseran penting dalam struktur kekuasaan Majapahit. Sejumlah tokoh Muslim menempati posisi strategis: Arya Teja menjabat sebagai Adipati Tuban, Arya Lembu Sura menjadi penguasa Surabaya, dan Sayyid Es atau Syaikh Suta Maharaja diangkat sebagai Adipati Kendal. Bahkan, Ali Rahmatullah—yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel—dipercaya sebagai imam besar di Surabaya.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa masa pemerintahan Dyah Kertawijaya menjadi titik balik penting dalam proses Islamisasi di tanah Jawa, sekaligus membuka jalan bagi munculnya elite-elite Muslim yang kelak membentuk fondasi kerajaan-kerajaan Islam pasca-Majapahit. Dalam konteks inilah, posisi Tumenggung Alap-Alap sebagai bagian dari jejaring bangsawan Muslim di Caruban menjadi relevan untuk ditelusuri lebih lanjut.
Sebagai Adipati Terung, Raden Kusen semula menjadi bagian dari pemerintahan Majapahit, tetapi setelah runtuhnya kerajaan tersebut, ia berpihak pada Demak. Kedekatannya dengan Raden Patah memberinya posisi strategis di pemerintahan baru. Dari garis keturunannya inilah lahir Raden Pecat Tandha I, yang kemudian menurunkan Raden Pecat Tandha II, ayah dari Tumenggung Alap-Alap.
Raden Kusen adalah tokoh kunci dalam fase akhir Majapahit. Lahir sebagai putra Arya Damar, penguasa Palembang, ia adalah saudara seibu dari Raden Patah, Sultan pertama Demak.
Keduanya adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. Namun, takdir menempatkan mereka pada jalur yang berbeda: Raden Patah memimpin perlawanan terhadap Majapahit, sementara Raden Kusen tetap setia kepada kekuasaan lama.
Sebagai Adipati Terung, Raden Kusen dipercaya mengelola wilayah strategis Majapahit. Ia juga menjadi salah satu panglima utama dalam pertahanan terakhir kerajaan. Ketika Raden Patah melancarkan serangan ke Majapahit, pasukan Raden Kusen berhadapan langsung dengan pasukan santri yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus.
Perang antara Majapahit dan Demak menjadi klimaks dari pertarungan antara penguasa lama dan kekuatan Islam baru.
Dalam pertempuran pertama, Sunan Ngudung memimpin pasukan Demak dengan keunggulan moral dan jumlah yang besar. Namun, dalam duel satu lawan satu, Raden Kusen berhasil menewaskan Sunan Ngudung dengan tombaknya.
Kematian Sunan Ngudung membuat pasukan santri Demak terpukul mundur. Namun, Raden Ja’far Shadiq, putra Sunan Ngudung yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus, bersumpah membalas kematian ayahnya. Ia memimpin serangan balasan yang lebih besar dan menghancurkan pertahanan Majapahit.
Dalam perang ini, Majapahit akhirnya tumbang. Raden Kusen, menyadari bahwa kekuasaan Majapahit telah berakhir, memilih menyerah kepada saudaranya, Raden Patah. Sebagai tanda penghormatan atas kesetiaan dan hubungan keluarga, Raden Patah mengembalikan Kadipaten Terung kepada Raden Kusen.
Dua putra Raden Kusen, Adipati Sengguruh dan Arya Balitar, mewarisi posisi penting di wilayah masing-masing. Adipati Sengguruh memerintah di Sengguruh, sebuah wilayah strategis yang menjadi pusat kekuasaan baru setelah jatuhnya Majapahit, sementara Arya Balitar memimpin Kadipaten Balitar dan berperan dalam proses Islamisasi di daerahnya.
Namun, keduanya menghadapi konflik internal yang berujung tragis. Adipati Sengguruh dan Arya Balitar dibunuh oleh Adipati Nilosuwarno dari Srengat, menandai akhir dari garis keturunan langsung Raden Kusen dalam struktur kekuasaan. Peristiwa ini juga mencerminkan betapa kerasnya persaingan politik pasca runtuhnya Majapahit, ketika berbagai faksi saling berebut pengaruh.
Tumenggung Alap-Alap: Peletak Dasar Pemerintahan Caruban
Baca Juga : Kalender Jawa Weton Selasa Legi 8 Juli 2025: Karakter, Rezeki, hingga Jodoh
Sebagai putra sulung Raden Pecat Tandha II, Raden Cakrakusuma I (Tumenggung Alap-Alap) tumbuh dalam lingkungan elite Kesultanan Demak. Ia adalah seorang pejabat tinggi yang memiliki hubungan erat dengan sentana (keluarga inti) keraton Demak Bintara. Mengingat posisinya, tidak mengherankan jika ia mendapatkan mandat untuk memimpin Caruban, yang pada waktu itu menjadi wilayah penting dalam struktur pemerintahan Demak.
Pusat pemerintahan Caruban di bawah Tumenggung Alap-Alap berada di Desa Krajan. Wilayah ini menjadi pusat administrasi yang mengelola urusan pemerintahan dan sosial di daerah tersebut. Seperti banyak pemimpin pada masanya, Tumenggung Alap-Alap tidak hanya berperan sebagai penguasa administratif tetapi juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan di wilayah Caruban, yang berbatasan dengan daerah-daerah lain yang menjadi bagian dari Kesultanan Demak.
Hubungan dengan Kesultanan Demak dan Dinamika Politik
Keberadaan Tumenggung Alap-Alap sebagai bupati Caruban memperlihatkan bagaimana hubungan antara daerah-daerah kekuasaan di Jawa pada masa itu terjalin erat dengan pusat pemerintahan di Demak. Kedekatannya dengan trah Demak, terutama sebagai sepupu tiri Sultan Trenggana, menjadikannya sosok yang memiliki posisi penting dalam sistem pemerintahan regional.
Namun, masa itu bukanlah masa yang stabil. Setelah wafatnya Sultan Trenggana pada 1546, terjadi perebutan kekuasaan di Demak yang mengakibatkan terpecahnya kesultanan. Konflik ini berimbas pada wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Demak, termasuk Caruban. Dalam kondisi ini, bupati-bupati lokal seperti Tumenggung Alap-Alap harus menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas wilayah mereka.
Penerus Kepemimpinan: Tumenggung Emprit Gancil
Sepeninggal Tumenggung Alap-Alap, jabatan bupati Caruban diteruskan oleh putranya, Raden Cakrakusuma II, yang dikenal sebagai Tumenggung Emprit Gancil. Seperti ayahnya, ia juga memiliki hubungan erat dengan trah Demak dan Pangeran Timur (Panembahan Rama). Ini menandakan bahwa garis keturunan penguasa Caruban masih tetap terkait dengan dinasti Demak meskipun kekuasaan kesultanan itu mulai melemah dan bergeser ke Mataram.
Sayangnya, sumber tertulis mengenai pemerintahan Tumenggung Emprit Gancil masih sangat terbatas. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa pada masa itu, Caruban tetap berada dalam jaringan pemerintahan Jawa yang terus mengalami transformasi, terutama dengan munculnya Kesultanan Mataram Islam sebagai kekuatan dominan pada akhir abad ke-16.
Caruban dalam Konteks Perubahan Politik di Jawa
Kepemimpinan Tumenggung Alap-Alap menandai awal dari eksistensi Caruban sebagai unit administratif yang memiliki struktur pemerintahan sendiri. Wilayah ini berkembang seiring dengan perubahan politik yang terjadi di Jawa, terutama setelah runtuhnya Demak dan munculnya kekuatan baru seperti Pajang dan Mataram.
Dalam konteks yang lebih luas, sejarah Caruban mencerminkan bagaimana wilayah-wilayah di Jawa mengalami perubahan dari satu periode ke periode lain, mengikuti dinamika politik yang berlangsung di pusat kekuasaan. Dari sebuah wilayah yang berada di bawah Demak, Caruban kemudian menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang lebih besar di bawah pengaruh Mataram.
Tumenggung Alap-Alap bukan sekadar bupati pertama Caruban, tetapi juga sosok yang meletakkan dasar bagi pemerintahan wilayah ini. Sebagai keturunan langsung dari Raden Kusen, ia membawa warisan politik yang menghubungkan Caruban dengan sejarah besar Majapahit dan Demak.
Kepemimpinannya berlangsung di tengah gejolak politik yang melanda Jawa pada masa transisi dari Majapahit ke Demak, dan kemudian dari Demak ke Mataram. Meskipun masa pemerintahannya tidak banyak terdokumentasi secara rinci, eksistensinya sebagai penguasa Caruban menegaskan peran penting wilayah ini dalam sejarah pemerintahan di Jawa.