JATIMTIMES - Di tengah perubahan dinasti dan gejolak kekuasaan pasca-kemunduran Kesultanan Pajang, muncul satu nama yang jarang disebut dalam narasi besar historiografi Jawa: Pangeran Gagak Baning. Nama ini, meski samar dalam ingatan kolektif sejarah, merupakan simpul penting dalam transisi kekuasaan dari Pajang ke Mataram.
Pemerintahannya yang singkat selama tiga tahun di antara dua tokoh besar—Pangeran Benawa dan kemunculan Senapati Mataram— adalah mosaik kecil namun signifikan dalam sejarah kekuasaan Jawa abad ke-16 akhir.
Baca Juga : Lepas Kontingen Kota Kediri Pada Porseni MI, MTs, dan MA Jatim 2025, Ini Pesan Mbak Vinanda
Artikel ini mencoba merekonstruksi narasi kekuasaan Gagak Baning melalui pendekatan historiografi kritis, menelaah sumber-sumber primer dan sekunder, serta membaca makna peristiwa dalam konteks sosial-politik dan spiritualitas Jawa.
Pangeran Benawa: Akhir Pajang yang Goyah
Pajang sebagai penerus Kesultanan Demak telah melewati masa kejayaannya di bawah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Setelah kematiannya, tahta jatuh ke tangan putranya, Pangeran Benawa, pada 1587. Namun masa kekuasaan Benawa berlangsung sangat singkat. Menurut versi Babad Tanah Jawi yang dikutip Meinsma, Benawa hanya memerintah selama satu tahun sebelum wafat. Ada pula versi yang menyebutkan ia mengundurkan diri secara sukarela untuk menjalani laku tapa sebagai pertapa di Parakan.
Senapati Mataram, yang saat itu merupakan kekuatan baru yang tengah tumbuh di selatan, menjadi aktor penting dalam penobatan Benawa. Keduanya memiliki hubungan yang bersifat politis sekaligus personal. Namun, ketika Benawa meninggal atau mengundurkan diri, kekosongan kekuasaan tidak bisa dihindari.
Munculnya Gagak Baning: Legitimasi yang Dititipkan
Mengisi kekosongan tersebut, Senapati mengangkat adiknya, Raden Bagus Tompe, sebagai penguasa baru di Pajang dengan gelar Tumenggung Gagak Baning. Dalam Sadjarah Dalem, ia disebut sebagai anak ke-12 dari Ki Ageng Pamanahan. Gelar "Pangeran Gagak Baning" atau "Gagak Pranala" menjadi identitas politiknya.
Tindakan ini memiliki dua sisi: di satu sisi, ia merupakan bentuk penguatan kekuasaan Mataram atas Pajang, dan di sisi lain, juga merupakan cara menjaga stabilitas agar Pajang tetap memiliki figur pemimpin yang berasal dari dalam lingkaran elite keluarga. Gagak Baning bukanlah raja dalam pengertian tradisional seperti Pangeran Benawa, melainkan lebih sebagai adipati atau penguasa wilayah yang berada di bawah pengaruh Mataram.
Kota yang Digeser: Pembangunan Ulang Simbolik
Pemerintahan Gagak Baning, meski singkat, ditandai oleh sebuah proyek monumental: pergeseran dan pembangunan kembali keraton Pajang. Menurut Babad Tanah Jawi (Meinsma, 102), keraton lama ditinggalkan dan kota diperluas ke arah timur hingga makam seorang mukmin Arab masuk ke dalam tembok kota baru. Sementara menurut Serat Kandha (596), pergeseran justru ke arah barat, dan bangunan baru dibuat "dengan selera yang lain".
Perbedaan ini menunjukkan adanya ketegangan antara tradisi lisan, tafsir naskah, dan data geografis. Namun yang terang, pada masa kekuasaan Gagak Baning telah terjadi rekonstruksi besar-besaran pada kompleks Keraton Pajang. Penafsiran geografis kontemporer menunjukkan bahwa pergeseran ke arah barat lebih dapat diterima, mengingat batas timur kota Pajang langsung bersentuhan dengan Sungai Laweyan dan kawasan makam Ki Ageng Henis. Sementara itu, di arah barat kota lama, berdiri Makam Aji—yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi sebagai tempat persemayaman Sultan Hadiwijaya. Maka, kemungkinan besar Pangeran Gagak Baning membangun pusat pemerintahan baru dengan mengintegrasikan makam leluhurnya sebagai sumbu spiritual kerajaan, sebagaimana tradisi Jawa yang memuliakan leluhur sebagai pancer kekuasaan.
Pemerintahan Tiga Tahun: Stabilitas di Tengah Ketidakpastian
Selama tiga tahun pemerintahannya (1588–1591), Gagak Baning disebut sebagai pemimpin yang dihormati. Babad menyebutkan bahwa seluruh penduduk Pajang patuh padanya. Ini menunjukkan bahwa meski hanya sebagai adipati, ia memiliki legitimasi dan kemampuan administratif yang cukup kuat.
Namun, masa kekuasaan ini juga menandai fase transisi kekuasaan dari Pajang ke Mataram. Keputusan Senapati untuk menempatkan adiknya menunjukkan bahwa kontrol atas Pajang telah berpindah ke tangan Mataram. Gagak Baning mungkin tidak punya kebebasan politik penuh, tetapi kehadirannya penting untuk menjembatani periode sebelum dominasi Mataram sepenuhnya ditetapkan.
Pengganti Gagak Baning: Pangeran Benawa II atau Sida Wini?
Sesudah Gagak Baning wafat pada 1591, sumber-sumber menyebutkan nama yang berbeda-beda sebagai penggantinya. Babad Tanah Jawi menyebut Pangeran Pajang sebagai putra Gagak Baning. Serat Kandha menyebutkan bahwa penguasa berikutnya adalah putra Pangeran Benawa yang masih berusia 13 tahun, dan dinamai ulang sebagai Pangeran Benawa. Sementara J. Hageman mencatat nama Radin Sida Wini.
Dari sini muncul hipotesis bahwa Radin Sida Wini adalah nama masa muda dari putra Benawa yang kemudian menggunakan nama ayahnya sebagai nama resmi kekuasaan. Ini adalah praktik lazim dalam tradisi politik Jawa untuk menunjukkan kontinuitas dinasti.
Dengan demikian, setelah masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya dan Arya Pangiri, tiga nama penguasa Pajang berikutnya yang dapat disusun secara kronologis adalah Pangeran Benawa, yang memerintah sekitar tahun 1587 hingga 1588; disusul oleh Pangeran Gagak Baning, yang berkuasa dari 1588 sampai 1591; dan terakhir Radin Sida Wini—juga dikenal sebagai Pangeran Benawa II—yang memerintah dari tahun 1591 hingga runtuhnya Pajang pada tahun 1617.
Pajang Sebagai Takhta Bayangan: Kekuasaan Simbolik
Setelah 1591, posisi Pajang lebih banyak bersifat simbolik. Di bawah kekuasaan Mataram yang terus berkembang, eksistensi Pajang dipertahankan sebagai bagian dari legitimasi tradisional. Keraton Pajang yang baru, bentuknya disebut berbentuk persegi, menunjukkan pengaruh pola kosmologis Hindu-Buddha yang kemudian diserap dalam tata ruang Islam Jawa. Hal ini juga menjadi model bagi pembangunan Keraton Plered di masa Amangkurat I (1647–1677).
Namun di balik simbolisme itu, Pajang telah kehilangan independensinya. Tokoh-tokoh seperti Gagak Baning dan putra Benawa lebih merupakan pemangku amanat kekuasaan Mataram daripada raja merdeka. Mereka adalah representasi dari dinasti yang sedang memudar, bertahan lewat simbol, bukan kekuatan militer.
Spiritualitas dan Dendam Sejarah
Pembangunan keraton baru oleh Gagak Baning tidak disertai dengan pemindahan makam secara fisik, melainkan dilakukan melalui perluasan kawasan ibu kota ke arah barat, sehingga makam-makam penting seperti makam Sultan Hadiwijaya dan seorang mukmin Arab dimasukkan ke dalam batas kota yang baru. Langkah ini menunjukkan bahwa spiritualitas tetap menjadi fondasi penting dalam struktur kekuasaan, di mana keberadaan makam leluhur dan tokoh suci digunakan untuk memperkuat legitimasi politik dan simbolisme sakral keraton Pajang.
Namun, dibalik itu semua, tersimpan narasi dendam sejarah antara dinasti Pajang dan Mataram. Senapati adalah anak dari Ki Ageng Pemanahan yang pernah memberontak terhadap Hadiwijaya. Ketika Senapati mendirikan Mataram, penaklukan terhadap Pajang tidak dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan manipulasi kekuasaan dan kontrol simbolik.
Pengangkatan Gagak Baning dan anak-anak dari garis Benawa adalah bentuk kompromi politik sekaligus cara memperhalus transisi kekuasaan. Ini menandakan bahwa dendam tidak dibalas dengan perang, melainkan dengan asimilasi.
Pangeran Gagak Baning, dengan semua keterbatasan data dan kebingungan naskah, adalah representasi dari fase sejarah yang ditenggelamkan oleh narasi besar pendirian Mataram. Namun justru karena itu, sosok ini menjadi penting untuk dipahami. Ia adalah wajah dari "takhta bayangan", kekuasaan yang nyata dalam keterbatasannya, dan simbol transisi dalam sejarah panjang Jawa.
Baca Juga : Syekh Datuk Kahfi: Guru Para Wali di Puncak Gunung Amparan Jati
Jejaknya mungkin tidak semegah Senapati atau Sultan Agung, tetapi ia menyimpan nilai historiografis yang berharga: bahwa sejarah bukan hanya milik pemenang, tetapi juga milik mereka yang bertahan di antara perubahan.
Dari pengangkatan yang bersifat kompromistis, pembangunan ulang kota, hingga wafatnya yang sunyi, Gagak Baning mewakili sebuah fase penting dalam sejarah politik Jawa. Ia adalah bukti bahwa kekuasaan kadang tidak diwariskan, tapi dititipkan; bahwa legitimasi kadang tidak dibangun dari kemenangan, tapi dari keberlanjutan. Ia berdiri dalam sejarah bukan sebagai raja agung, melainkan sebagai pengurus masa transisi, pelindung sisa-sisa kejayaan Pajang.
Mungkin, inilah arti sesungguhnya dari "Takhta Bayangan"—bukan hanya kekuasaan yang dilimpahkan, tapi juga tanggung jawab menjaga nyala peradaban yang hampir padam.
Takhta Leluhur: Silsilah Gagak Baning dan Warisan Spiritual Mataram
Dalam khazanah sejarah Jawa abad ke-16, Ki Ageng Pamanahan merupakan tokoh sentral yang jalinannya melintasi spiritualitas, kekuasaan, dan kenabian lokal. Ia bukan hanya ayah dari Panembahan Senapati, pendiri Dinasti Mataram Islam, melainkan juga leluhur dari tokoh-tokoh kunci seperti Tumenggung Gagak Baning—penguasa Pajang setelah runtuhnya kekuasaan Sultan Benawa. Riwayatnya yang kompleks dan genealogi turunannya memancarkan narasi mendalam tentang keturunan raja, spiritualitas Islam-Jawa, serta pergeseran pusat kekuasaan dari Pajang ke Mataram.
Silsilah Ki Ageng Pamanahan menelusur ke garis darah Prabu Brawijaya V dari Majapahit, melalui Raden Bondan Kejawan. Dari sinilah alur keturunan bersambung ke tokoh-tokoh Islam awal di Tanah Jawa. Raden Bondan Kejawan menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub II yang merupakan cucu dari Syekh Maulana Maghribi, garis keturunan dari Syekh Jumadil Qubro. Lahir dari ikatan ini generasi sufi-keraton seperti Ki Ageng Getas Pendowo dan Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo kemudian menikah dengan keturunan Nyai Ageng Ngerang, menurunkan Ki Ageng Henis—pemuka spiritual Kerajaan Pajang sekaligus ayah dari Ki Ageng Pamanahan.
Ki Ageng Pamanahan, yang dalam masa mudanya dikenal sebagai Raden Bagus Kacung, dididik dalam lingkungan spiritual ketat oleh para leluhur dan gurunya: Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo, dan Ki Ageng Ngerang. Sunan Kalijaga memandangnya sebagai pewaris “Wahyu Ratu Tanah Jawa”, wahyu kekuasaan yang akan menurunkan garis raja-raja Mataram di masa depan. Dalam narasi spiritual ini, Ki Ageng Pamanahan diberi perintah bertapa di Kembang Semampir, Gunungkidul, hingga akhirnya memperoleh pertanda ilahiah dan wahyu gagak emprit—simbol penerimaan takhta.
Kedekatan Ki Ageng Pamanahan dengan Sultan Hadiwijaya dari Pajang menempatkannya dalam orbit kekuasaan. Ia diangkat sebagai Mantri Tamtama dan diberi perdikan Alas Mentaok pada tahun 1556, sebagai hadiah atas jasanya menumpas Arya Penangsang. Sejak saat itu, pusat spiritual dan kekuasaan perlahan bergeser ke Mataram. Putranya, Danang Sutawijaya (kelak Panembahan Senapati), menjadi penghubung antara garis spiritual dan kekuasaan politik. Namun tokoh lain yang kerap luput dari narasi besar ini adalah Raden Tompe, adik Senapati, yang kelak dikenal sebagai Tumenggung Gagak Baning.
Pangeran Gagak Baning merupakan putra kedua belas dari Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah, istri utama yang juga melahirkan Panembahan Senapati. Dengan demikian, Gagak Baning dan Senapati adalah saudara kandung seibu-seayah dari garis trah utama Ki Ageng Pamanahan. Kedekatan biologis ini bukan sekadar informasi silsilah, melainkan fondasi penting dalam praktik politik kekuasaan dinasti Mataram awal, yang sangat menjunjung tinggi konsep “darah satu rahim” sebagai jaminan loyalitas dalam perluasan wilayah.
Dari pernikahannya dengan Nyai Sabinah, istri utama yang juga dikenal sebagai Nyai Ageng Pemanahan, Ki Ageng Pemanahan dianugerahi setidaknya dua belas anak. Sebagian besar dari mereka kelak menduduki posisi strategis dalam struktur aristokrasi awal Mataram, baik sebagai tokoh istana maupun pejabat tinggi daerah. Di antara mereka terdapat Raden Roro Sobro, yang juga dikenal sebagai Raden Ayu Adipati Manduranagara; Raden Danang Bagus Srubut, putra utama yang kemudian naik tahta sebagai Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam; serta Nyai Ageng Tumenggung Mayang, yang menjadi istri Tumenggung Mayang dan ibu dari Raden Pabelan. Nama-nama penting lainnya adalah Raden Roro Maryam atau RAy Djoyoprono; Raden Panulat, yang kelak dikenal sebagai Adipati Teposono; dan Raden Pamadhe. Selain itu, ada pula Raden Jambu, yang diangkat sebagai Adipati Mangkubumi; Raden Santri, yang menjabat sebagai Adipati Singasari; Raden Tompe, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Gagak Baning; serta Pangeran Adipati Pringgolayan. Dua anak lainnya adalah Raden Sambak, yang wafat saat masih bayi, dan seorang putri bernama Nyai Ageng Sewakul, yang dimakamkan di kompleks pemakaman Astana Ki Ageng Henis di Laweyan.
Dalam daftar ini, terlihat bahwa anak-anak dari Nyai Sabinah tidak hanya menduduki jabatan penting di dalam inti istana (seperti Panembahan Senapati), tetapi juga menyebar ke posisi adipati dan pangreh praja di wilayah penyangga Mataram. Gagak Baning, sebagai saudara kandung dari pendiri kerajaan, berada dalam posisi istimewa di antara mereka.
Ketika Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya dan raja terakhir Kerajaan Pajang, wafat atau memilih mengundurkan diri dari takhta—kemungkinan besar karena tekanan kekuasaan baru dari Mataram—Panembahan Senapati mengambil alih kontrol atas Pajang. Dalam konteks ini, penunjukan Gagak Baning sebagai Adipati Pajang bukan hanya keputusan administratif, melainkan langkah strategis untuk menempatkan tokoh yang sepenuhnya dipercaya, berasal dari darah dan rahim yang sama, sebagai pengendali wilayah bekas pusat kerajaan yang baru saja dilampaui secara politik.
Penunjukan ini juga memperlihatkan pola politik patronase dalam tubuh Mataram: daerah strategis ditempati oleh kerabat dekat, khususnya dari istri utama. Hal ini menyingkirkan potensi ancaman dari saudara tiri yang berasal dari istri lain, sekaligus menegaskan dominasi trah utama dalam arah dinasti.
Sementara itu, dari pernikahannya dengan istri kedua, yakni Pangrembe atau Niken Rubiyah, Ki Ageng Pemanahan juga dikaruniai sejumlah besar anak yang kelak menjadi bagian dari kalangan elite lokal dalam lingkungan kekuasaan Mataram. Meskipun posisi mereka tidak sekuat anak-anak dari Nyai Sabinah dalam lingkaran inti kekuasaan, peran mereka tetap signifikan dalam menopang jaringan aristokrasi dan pemerintahan di wilayah-wilayah penyangga. Anak-anak dari Niken Rubiyah tersebut antara lain Raden Andangkoro, yang dikenal sebagai Pangeran Ronggo Mertosono; Pangeran Haryo Tanduran; dan Raden Ayu Kajoran. Selain itu, terdapat pula putri-putri lain seperti Nyai Ageng Tanduran, Nyai Ageng Panjang Jiwa, Nyai Ageng Banyak Patra, Nyai Ageng Kusumoyudo Marisi, Nyai Ageng Pucang, serta Nyai Ageng Singopodo yang menetap di Panggul. Tokoh-tokoh perempuan lainnya meliputi Nyai Ageng Mohammad Pekik, Nyai Ageng Wirobodro, Nyai Ageng Adiguno yang bermukim di Pelem, Nyai Ageng Suroyudo, Nyai Ageng Mursodo Silarong, Nyai Ageng Ronggo Kranggan, Nyai Ageng Kawangsen, dan Nyai Ageng Wirosobo. Selain mereka, tercatat pula beberapa anak lainnya yang wafat dalam usia dini dan tidak meninggalkan keturunan maupun jejak kekuasaan.
Anak-anak dari Niken Rubiyah ini memperkuat cabang-cabang lateral dalam struktur sosial-politik Mataram, meskipun tidak ada di antara mereka yang tercatat secara eksplisit sebagai penerus utama kekuasaan. Dalam struktur politik kerajaan Jawa, ini adalah bentuk pengendalian kekuasaan melalui fragmentasi garis darah: garis utama memimpin, garis sekunder menopang dari daerah.
Dengan menempatkan Gagak Baning di Pajang, Senapati sejatinya sedang menjalankan strategi perluasan teritorial berbasis kepercayaan absolut dan kontrol ideologis. Pajang, sebagai bekas pusat Dinasti Demak dan warisan Hadiwijaya, merupakan simbol penting dalam hegemoni kekuasaan Jawa. Menyerahkannya kepada adik kandung seibu-seayah adalah bentuk konsolidasi dinasti yang sangat diperhitungkan.
Dalam politik Jawa abad ke-16, darah, wahyu, dan loyalitas tidak pernah berdiri sendiri. Mereka berjalan bersama—diikat oleh silsilah, diasah oleh pengalaman spiritual, dan ditegaskan oleh keputusan strategis seperti yang dilakukan Panembahan Senapati kepada adiknya, Pangeran Gagak Baning, sang Adipati Pajang.
Dalam catatan Sadjarah Dalem dan Babad Tanah Jawi, Gagak Baning memerintah selama tiga tahun, antara 1588–1591. Di bawah kekuasaannya, dilakukan rekonstruksi besar terhadap keraton lama. Sumber-sumber menyebutkan bahwa kota diperluas, tembok digeser ke barat untuk memasukkan makam Sultan Hadiwijaya dan makam seorang mukmin Arab ke dalam wilayah pusat kekuasaan yang baru. Langkah ini menunjukkan kesinambungan simbolik antara kekuasaan dan spiritualitas leluhur.
Pembangunan keraton baru oleh Gagak Baning bukan hanya tindakan administratif, tetapi sebuah manifestasi politik spiritual. Dalam perspektif Jawa, keberadaan makam leluhur dan tokoh suci di dalam batas kraton merupakan cara menyerap kekuatan metafisik yang memperkuat legitimasi. Sebagaimana ditulis dalam Serat Kandha, pembaruan total keraton ini menandai perubahan selera estetik dan spiritual dari pusat kekuasaan Pajang. Pemindahan keraton ke barat lebih dapat diterima secara geografis daripada versi yang menyebut timur, sebab wilayah timur berbatasan langsung dengan sungai dan masjid kuno di Laweyan.
Setelah wafatnya Gagak Baning, kekuasaan di Pajang berpindah ke tangan Radin Sida Wini, putra Pangeran Benawa. Ia memerintah hingga tahun 1617, menjadikan dirinya sebagai penguasa terakhir Pajang sebelum kekuasaan sepenuhnya beralih ke tangan Dinasti Mataram di bawah keturunan Panembahan Senapati.
Dengan demikian, riwayat Gagak Baning bukan sekadar catatan periferal, melainkan kunci memahami bagaimana Mataram membangun legitimasi melalui jaringan spiritual, darah biru, dan narasi wahyu yang diturunkan dari Ki Ageng Pamanahan. Dalam warisan inilah, kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh pedang dan aliansi politik, tetapi oleh tafsir terhadap makna wahyu, makam, dan nasab—tiga unsur utama dalam konstruksi kerajaan Islam-Jawa abad ke-16.