free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Brain Rot’ Mengintai Anak Muda: Konten Instan Picu Krisis Konsentrasi dan Ketidakstabilan Emosi

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi anak terkena Brain Rot (ist)

JATIMTIMES – Anak-anak era kini bisa betah berjam-jam menatap layar, berpindah dari satu video pendek ke video lainnya, tanpa jeda, tanpa arah. Tapi di balik rutinitas yang tampak sepele itu, muncul kekhawatiran baru, yakni Brain Rot.

Istilah ini tak merujuk pada kerusakan otak secara fisik. Namun, menurut Devinta Puspita Ratri, S.Pd., M.Pd., Pakar Linguistik dan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (UB), Brain Rot adalah kondisi mental yang tergerus oleh konten instan yang terlalu sering dikonsumsi.

Baca Juga : Ratusan Siswa SMAN 1 Plemahan Kediri Antusias Ikuti PCX160 Gen-Z School Movement

Hal ini dapat membuat anak menjadi tidak fokus saat belajar, salah kaprah dalam memahami informasi dan kecanduan konten receh atau viral. Selain itu, imbas lainnya adalah juga dapat membuat emsoi anak tak stabil, dimana gampang marah ketika tak ada akses ke gawai.

1

“Konten-konten singkat itu bikin otak bekerja serba cepat. Akhirnya anak-anak kehilangan kesabaran, sulit fokus, dan makin jarang membaca,” jelas Devinta.

Fenomena ini bukan sekadar masalah perhatian jangka pendek. Dalam jangka panjang, Devinta melihat penurunan kemampuan berpikir logis, melemahnya konsentrasi, bahkan motivasi belajar yang kian menipis. “Budaya instan yang lahir dari kebiasaan menonton konten viral itu membentuk pola pikir yang dangkal,” tambahnya.

Yang membuatnya lebih miris, anak-anak dan remaja kini lebih sering mengidolakan konten viral ketimbang yang edukatif. Popularitas menjadi tolok ukur, bukan kualitas. Tak sedikit pula yang hanya ingin ikut-ikutan tren tanpa tahu makna atau konteksnya.

“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan pemahaman dasar yang rendah. Sampai ada yang menyebut Garut itu negara di Eropa. Ini bukan lucu, ini mengkhawatirkan,” ujarnya dengan nada serius.

Teknologi seperti AI juga disebut turut menyumbang masalah. Meski di satu sisi bermanfaat, namun jika digunakan tanpa pemahaman, bisa mengikis kemampuan berpikir mandiri. “Banyak yang cuma copy-paste jawaban dari AI tanpa ngerti isi dan logikanya. Padahal berpikir kritis itu harus terus dilatih,” kata Devinta.

Ia menyarankan pendekatan digital hygiene, kemampuan memilah konten, mengatur waktu layar, dan menjaga keseimbangan konsumsi digital sebagai langkah awal. Bukan hanya soal membatasi waktu bermain gadget, tapi juga mengarahkan jenis konten yang dikonsumsi.

Baca Juga : Apresiasi Perluasan Beasiswa Sekolah Swasta, Puguh DPRD Jatim: Cegah Lonjakan Anak Putus Sekolah

Namun, tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan hanya pada anak. Peran orang tua dan sekolah sangat krusial. Orang tua perlu hadir secara aktif, mendampingi anak saat menggunakan perangkat, serta menyediakan alternatif kegiatan seperti membaca atau aktivitas fisik.

Di sisi lain, sekolah perlu lebih dari sekadar menyampaikan materi pelajaran. “Anak-anak harus diajari berpikir logis dan kritis, bukan cuma menghafal,” tegas Devinta.

Ia juga menyinggung perlunya peran lebih aktif dari pemerintah, khususnya Kominfo, dalam menyaring konten yang tidak mendidik. Meski aturan ada, konten sensasional dan receh masih mudah berseliweran. “Kalau konten-konten murahan masih terus muncul di beranda anak-anak, kita semua akan kesulitan melawan arus ini.”

Terakhir, pihaknya mengajak untuk mengambil peran, sekecil apa pun. Menurutnya, Brain Rot bukan sekadar fenomena digital, tapi cermin dari bagaimana kita mengabaikan ekosistem belajar yang sehat. “Kalau dibiarkan, dampaknya jauh ke depan. Dan ini bukan tugas satu pihak saja semua harus terlibat,” pungkasnya.