JATIMTIMES - Dalam gelap terang sejarah Jawa abad ke-17, nama Raden Trunajaya menjulang sebagai salah satu figur yang mempersonifikasikan paradoks politik Mataram: seorang bangsawan Madura yang dibesarkan di jantung kekuasaan musuhnya, namun kelak menjadi simbol pembangkangan paling genting terhadap tahta Mataram. Kisah hidupnya, jika ditilik lebih dalam, bukan hanya sebatas pemberontakan bersenjata, melainkan narasi panjang tentang luka warisan feodal, intrik keluarga, dan perlindungan rakyat jelata terhadap seorang anak bangsawan yang dikhianati oleh darahnya sendiri.
Tulisan ini hendak menelusuri jejak Trunajaya dari masa kecilnya yang getir, hubungannya dengan kekuasaan, serta jaringan solidaritas rakyat Madura yang menjadi tumpuan perlindungan dan kekuatan politiknya. Pendekatan historiografis ini mengandalkan sumber-sumber primer: laporan-laporan Belanda, babad Jawa dan Madura, serta testimoni tokoh kontemporer abad ke-17.
Baca Juga : Sambil Kirim Doa untuk Palestina, Yayasan 17 Oktober Indonesia Kenalkan Diri ke Masyarakat
Anak dari Leluhur Terbunuh: Trunajaya dalam Bayang Darah
Tahun 1656 menjadi pembuka bagi sebuah tragedi keluarga bangsawan Madura. Ayahanda Raden Trunajaya, yang tidak disebutkan namanya secara eksplisit dalam dokumen-dokumen Belanda, dieksekusi bersama sejumlah abdinya. Dalam usianya yang masih sangat muda, sekitar tujuh tahun, Trunajaya tidak ikut terbunuh. Ini barangkali karena ketidakberdayaan anak kecil dianggap tidak membahayakan dalam kalkulasi politik internal. Namun, tidak berarti ia luput dari dampak psikologis dan sosial dari tragedi tersebut.
Peristiwa ini juga menandai dimulainya babak baru: pengasingan dan pengasuhan di bawah pamannya, Raden Undagan, yang menjabat sebagai Adipati Sampang. Sosok inilah yang kemudian lebih dikenal dalam sejarah sebagai Panembahan Cakraningrat II, tokoh berpengaruh di Madura dan disebut dalam Dagregister (20 Agustus 1664) sebagai bangsawan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram, alih-alih di tanah kekuasaannya sendiri. Posisi ganda ini—sebagai adipati Madura namun tinggal di pusat kekuasaan Jawa—memberi isyarat akan keterkaitan kompleks antara penguasa lokal dan istana pusat, dengan segala nuansa intrik dan subordinasinya.
Mataram: Dari Istana Asuh ke Rasa Terancam
Pada Mei 1677, dalam sebuah pengakuan terbuka yang tercatat dalam Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië, Trunajaya menyatakan bahwa ia "dididik dan dibesarkan oleh Sunan". Laporan Umum tertanggal 5 Juli 1677 mempertegas narasi ini dengan menggambarkan dirinya sebagai "seorang pangeran Mataram yang dibesarkan di lingkungan Sunan yang sudah tua". Ini menandakan bahwa Trunajaya bukan sekadar tokoh luar yang memberontak dari pinggiran, melainkan anak istana, orang dalam yang mengenal dengan baik ritme kekuasaan istana Plered. Dalam babad dan sumber Belanda, ia bahkan disebut pernah menyandang nama kehormatan "Nilaprawata"—sebuah gelar khas bangsawan Mataram.
Namun, posisi tersebut rupanya tidak cukup aman untuk menghindarkannya dari kecurigaan internal. Hubungan keluarga di istana yang kompleks dan penuh potensi pengkhianatan menciptakan atmosfer beracun. Pamannya, Adipati Sampang—yang sebelumnya menjadi wali pengasuhnya—menjadi figur antagonis. Ia menuduh Trunajaya memiliki hubungan rahasia dengan salah seorang kerabat perempuannya, yang dalam tradisi istana sangat tabu. Tuduhan ini, apakah benar atau dimanipulasi, berujung pada upaya pembunuhan terhadap dirinya.
Trunajaya sendiri menyuarakan keberatannya dalam surat kepada Speelman: "Saya dicurigai telah berbuat salah terhadap paman saya, yang ingin membunuh saya, padahal saya tidak bersalah." (KA No. 1218, hlm. 1696). Dalam surat lainnya kepada Jacob Couper tertanggal 18 November 1679, ia menegaskan bahwa baik Adipati Sampang maupun Raja Mataram "ingin membunuh saya tanpa suatu kesalahan." Di sinilah tragedi politik sekaligus eksistensial Trunajaya bermula—bukan hanya sebagai anak yang kehilangan ayahnya, tetapi sebagai seorang yatim politik yang diincar oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
Dilindungi Rakyat Jelata: Solidaritas Orang Sampang
Pengejaran terhadap Trunajaya di dalam tubuh istana Mataram tidak berjalan mulus. Rakyat Sampang, khususnya komunitas Madura yang tinggal di lingkungan istana Mataram di Plered, menjadi pelindungnya. Dalam surat emosional kepada Sunan Amangkurat II, Trunajaya menulis: "Saya diburu dan hendak dibunuh... tetapi orang-orang Sampanglah yang menyelamatkan jiwa saya." (Djawa XX, hlm. 30). Solidaritas ini tidak hanya menyelamatkannya secara fisik, tetapi juga membentuk identitas politiknya—seorang pemuda yang diasingkan, namun dicintai oleh rakyat biasa.
Nama Angantaka muncul sebagai simbol perlawanan akar rumput. Menurut laporan Couper (14 Mei 1680), Demang Angantaka-lah yang menjadi "satu-satunya sebab mengapa Trunajaya memberontak terhadap Raja". Sosok ini dibunuh secara diam-diam pada 1673 atas perintah Cakraningrat II, menandai titik balik bagi Trunajaya. Putra Angantaka—digambarkan sebagai “pemuda angkuh tapi tidak gila”—kemudian melanjutkan perjuangan, termotivasi oleh dendam atas nasib ayahnya.
Demang Angantaka bukanlah sekadar nama, melainkan representasi struktur sosial non-elite yang menjadi pelindung bagi Trunajaya. Mereka bukan aristokrat, melainkan para demang, tokoh lokal yang masih memegang pengaruh di desa dan kecamatan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan Trunajaya pada akhirnya ditopang oleh jaringan rakyat—para demang, petani bersenjata, dan orang-orang Madura yang tidak terikat oleh birokrasi istana tetapi terikat oleh loyalitas etnik dan dendam sejarah.
Dari Pengungsi ke Panglima: Transisi Kekuasaan di Tangan Anak Terluka
Apa yang membuat kisah Trunajaya begitu menggugah bukan hanya karena dia berhasil melawan Mataram, melainkan karena dia melakukannya setelah dibesarkan oleh Mataram itu sendiri. Ia adalah produk istana yang memberontak kepada penciptanya, seperti seorang anak yang menghancurkan rumah orang tua karena merasa dikhianati dan ditolak.
Pemberontakan yang ia lancarkan pada 1676—hanya dua dekade setelah kematian ayahnya—bukanlah tindakan spontan, melainkan akumulasi dendam dan keinginan untuk mengoreksi sejarah. Dalam perang melawan Mataram, Trunajaya memimpin pasukan Madura, bahkan berhasil merebut Plered dan memaksa Sunan Amangkurat I melarikan diri.
Ia kemudian mendirikan pusat kekuasaan di Kediri, menandai kembalinya bangsawan non-Mataram dalam panggung kekuasaan Jawa. Tetapi ironinya adalah, saat ia memegang tampuk kuasa, bekas sahabat dan pelindungnya, Pangeran Adipati Anom (kemudian menjadi raja dengan gelar Amangkurat II) justru menjadi musuh baru. Trunajaya tidak hanya dikhianati oleh istana, tetapi juga oleh sejarahnya sendiri.
Kisah Trunajaya adalah tragedi klasik dari kekuasaan yang gagal mengasuh anaknya sendiri. Ia dibesarkan oleh istana yang membunuh ayahnya, dilindungi oleh rakyat yang tidak punya jabatan, dan akhirnya memberontak dengan kekuatan yang ia peroleh dari simpati massa. Dalam historiografi Jawa, Trunajaya bukan sekadar tokoh pemberontak. Ia adalah simbol luka warisan, perlakuan istana terhadap para bangsawan Madura, dan representasi dari kompleksitas hubungan antara pusat dan daerah, antara kekuasaan dan rakyat, antara pengasuh dan penghianat.
Dalam menelaah gerakan pemberontakan, penulis sampai pada satu kesimpulan: pemberontakan bukan semata perkara senjata, melainkan perihal kehormatan yang diinjak. Trunajaya, dalam konteks ini, tampil sebagai figur awal dalam sejarah Jawa modern yang menunjukkan bahwa kehormatan dapat tumbuh dari puing-puing pengasuhan palsu. Ia bukan semata dilahirkan untuk melawan, melainkan dibentuk oleh musuhnya sendiri demi menghancurkan mereka.
Api yang Membakar Plered: Historiografi Pemberontakan Trunajaya–Galesong (1674–1680)
Dalam sejarah Jawa abad ke-17, sedikit nama yang menyala terang seperti Raden Trunajaya. Ia bukan sekadar pemberontak dalam bingkai narasi istana, melainkan representasi kompleks dari perlawanan struktural terhadap hegemoni Mataram dan campur tangan VOC. Sebagai bangsawan Madura berdarah Majapahit-Islam, Trunajaya tidak hanya mewarisi dendam kolonial dan luka feodal, tetapi juga membawa misi religius dan cita-cita kedaulatan yang mengakar dari warisan leluhurnya di Arosbaya.
Garis keturunan Trunajaya menjejak jauh ke abad ke-15, pada sosok Kiai Demang Plakaran—tokoh penyebar Islam pertama di Madura dan keturunan Prabu Brawijaya V melalui Aria Damar dari Palembang. Dari Plakaran lahir Kiai Pragalba, kelak dikenal sebagai Pangeran Arosbaya, yang memperkuat pusat dakwah di Arosbaya bersama jaringan wali Jawa. Penerusnya, Raden Pratanu (Panembahan Lemah Duwur), memindahkan pusat kekuasaan ke Lemah Duwur dan mempererat hubungan dengan Kesultanan Pajang melalui pernikahan dengan putri Sultan Hadiwijaya.
Trunajaya adalah cucu dari Pangeran Tengah, penguasa terakhir Arosbaya yang takluk kepada ekspedisi militer Sultan Agung dari Mataram sekitar 1624. Penaklukan itu menandai berakhirnya kemerdekaan Madura dan membuka babak baru: subordinasi bangsawan Madura di bawah kendali Mataram. Warisan sejarah ini tak lenyap; ia hidup dalam ingatan kolektif dan membentuk karakter generasi berikutnya—terutama Trunajaya, putra Raden Demang Malayakusuma dari garis Cakraningrat I.
Dibesarkan dalam atmosfer pasca-penaklukan, Trunajaya tumbuh menjadi pribadi militan dan politis. Ia memiliki kecakapan dalam seni perang, kemampuan diplomatik, dan koneksi religius yang kuat. Pernikahannya dengan putri Raden Kajoran, ulama besar dari Kedu, membuka jalan bagi aliansi spiritual-politik melawan Mataram.
Trunajaya dan Adipati Anom: Siasat Rahasia di Balik Pemberontakan yang Mengguncang Mataram
Baca Juga : Pemprov Jatim Godok Rapergub Pemajuan Kebudayaan Daerah, Ini Catatan Komisi E DPRD
Di balik letusan besar pemberontakan Trunajaya pada paruh kedua abad ke-17, tersimpan sebuah jaringan genealogis, politik, dan spiritual yang dalam dan rumit—berakar dari trauma kolektif Madura dan rekahan kekuasaan di jantung Kesultanan Mataram. Gerakan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan produk panjang dari luka sejarah, konflik internal, dan aliansi yang gagal.
Asal-usul Trunajaya dapat ditelusuri hingga Kerajaan Arosbaya, kerajaan Islam pertama di Madura yang berdiri pada abad ke-15. Didirikan oleh Kiai Demang Plakaran, seorang bangsawan keturunan Prabu Brawijaya V melalui Aria Damar dari Palembang, Arosbaya merupakan pewaris trah Majapahit yang memelopori Islamisasi di tanah Madura.
Putranya, Kiai Pragalba alias Pangeran Arosbaya, meneruskan warisan ini dengan dukungan para wali, termasuk Sunan Kudus. Kekuasaan Arosbaya mencapai puncaknya di bawah Raden Pratanu (Panembahan Lemah Duwur), yang memindahkan pusat pemerintahan ke Lemah Duwur dan menjalin ikatan dengan Kesultanan Pajang melalui pernikahan politik dengan putri Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Dari pernikahan ini lahir Pangeran Tengah, raja terakhir Arosbaya (1592–1624), yang merupakan ayah dari Cakraningrat I (Raden Prasena). Salah satu keturunan Cakraningrat adalah Demang Malayakusuma, ayahanda Trunajaya. Dengan demikian, Trunajaya mewarisi darah Majapahit, Pajang, dan Arosbaya sekaligus, sebuah silsilah yang akan membentuk legitimasi dan misinya di masa depan.
Namun pada tahun 1624, ekspedisi militer Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Madura dan membubarkan Kerajaan Arosbaya. Peristiwa ini menjadi luka genealogis yang diwariskan kepada Trunajaya, yang tumbuh dengan kesadaran politik tinggi dan semangat perlawanan terhadap dominasi Mataram.
Salah satu aspek paling menarik dari pemberontakan Trunajaya adalah konspirasi awal yang melibatkan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram. Berdasarkan laporan utusan VOC bernama Piero (10 Februari 1675), Trunajaya mengakui pernah menjalin kesepakatan rahasia dengan sang pangeran. Aliansi ini kemungkinan terbentuk sekitar tahun 1670–1671, di tengah konflik internal antara Adipati Anom dan ayahnya, Amangkurat I, yang dikenal otoriter dan represif.
Sejarawan modern menafsirkan aliansi ini sebagai embrio oposisi elite dalam tubuh kerajaan. Namun koalisi tersebut tak bertahan lama. Ketika serangan awal pasukan eksil Makassar ke Gresik dan Surabaya pada awal 1675 gagal, Adipati Anom tampaknya mengurungkan niatnya. Dalam Daghregister VOC tanggal 20 April 1675, dicatat bahwa sang pangeran kembali berdamai dengan ayahandanya. Ini menandai kegagalan aliansi dan membuka jalan bagi Trunajaya untuk bertindak mandiri.
Tanpa restu istana Mataram, Trunajaya mengambil langkah berani: ia menikahkan keponakannya dengan Karaeng Galesong, panglima pasukan eksil Makassar. Pernikahan ini lebih dari sekadar ikatan keluarga—ia merupakan perjanjian militer-politik. Sebagai balasan, Karaeng Galesong memperoleh legitimasi genealogis dan komitmen untuk merebut pelabuhan-pelabuhan penting seperti Gresik dan Surabaya demi kepentingan Trunajaya.
Anak dari pernikahan ini lahir pada Januari 1677, menandakan bahwa konsolidasi kekuatan Trunajaya-Galesong sudah berlangsung sejak akhir 1675. Artinya, pemberontakan ini bukan reaksi spontan, melainkan rencana strategis panjang dari elite pesisir yang kecewa pada sentralisasi kekuasaan Mataram dan tekanan pajak yang tinggi.
Pemberontakan Trunajaya akhirnya meletus secara penuh antara tahun 1674 hingga 1679. Pasukan Madura dan Makassar menggempur pesisir utara Jawa. Surabaya, Gresik, dan Jepara jatuh ke tangan mereka. Trunajaya memproklamasikan dirinya sebagai Panembahan Maduretno, pemimpin tandingan Mataram yang membentuk pemerintahan baru berbasis legitimasi rakyat, ulama, dan elite lokal.
Sementara itu, Amangkurat I melarikan diri dan meninggal pada 1677. Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II, tetapi hanya dengan bantuan VOC setelah menandatangani Perjanjian Jepara—menggadaikan wilayah pesisir sebagai kompensasi atas bantuan militer Belanda.
VOC bergerak cepat. Menggunakan teknologi militer dan strategi sabotase, mereka menyerang basis Trunajaya. Pertempuran puncak terjadi di Bukit Selokurung, lereng Gunung Kelud. Meski bertahan dengan taktik gerilya, Trunajaya akhirnya tertangkap pada 27 Desember 1679.
Ia dibawa ke Payak, Bantul, dan pada 2 Januari 1680 dieksekusi langsung oleh Amangkurat II. Menggunakan keris Kyai Balabar, sang raja menikam, memenggal, dan mempermalukan jasad Trunajaya—sebuah eksekusi yang dirancang untuk menghapus simbol perlawanan.
Namun Trunajaya tidak pernah benar-benar lenyap dari kesadaran rakyat. Ketidaktahuan tentang lokasi makamnya menumbuhkan mitos. Ia hidup sebagai simbol abadi perlawanan terhadap tirani, korupsi elite, dan kolonialisme.
Historiografi modern kini melihat pemberontakan Trunajaya sebagai momen penting yang mencerminkan krisis struktural Mataram. Dari kegagalan konspirasi istana hingga gerakan rakyat pesisir, dari luka kolektif Arosbaya hingga kemunculan elite baru Madura, Trunajaya menjadi cerminan kompleksitas politik Jawa abad ke-17.
Ia bukan sekadar pemberontak. Ia adalah produk zaman, pemegang warisan leluhur, dan simbol perlawanan yang melampaui batas geografis maupun zaman. Seperti yang konon ia katakan sebelum dieksekusi:
"Raja bisa membunuhku, tapi tak bisa membungkam kebenaran."