free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Ketika Salokantara Dibunuh: Pangeran Silarong dan Kutukan yang Membayangi Penaklukan Blambangan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis Prabu Tawangalun, penguasa Blambangan abad ke-17. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Ketika Surabaya jatuh ke tangan Mataram pada Mei 1625, bayang-bayang ekspansi besar Mataram mulai menjalar ke pesisir timur Pulau Jawa. Blambangan, negeri ujung timur yang memiliki akar hubungan historis dan politis dengan Bali, segera menjadi perhatian. 

Namun, sebagaimana dicatat dalam Daghregister tanggal 1 Mei 1625, kabar awal tentang pengiriman 20 hingga 30 ribu prajurit oleh Raja Mataram untuk menaklukkan Blambangan lebih bersifat ramalan ketimbang fakta aktual. Berita ini berasal dari Encik Muda, seorang pedagang Tionghoa dari Kendal.

Baca Juga : Nasi Pecel dan Ramalan di Tepian Kali Opak: Ki Ageng Karang Lo dalam Sejarah Mataram

Realitas politik waktu itu lebih kompleks. Laporan Belanda tertanggal 27 Oktober 1625 justru membantah kabar tersebut. Bahkan hingga tahun-tahun selanjutnya, perhatian Sultan Agung terhadap Blambangan tampak minim. Meskipun demikian, Raja Blambangan mulai merasa cemas, sebagaimana tercatat dalam Daghregister 24 September 1628, dan mencoba merapat ke Kompeni guna meminta perlindungan dari potensi ancaman Mataram.

Di sisi lain, Blambangan menjalin kedekatan kultural dan politik dengan Bali. Dalam catatan Antonio van Diemen bertanggal 5 Juni 1631, raja Blambangan mengundang perwakilan Belanda ke wilayahnya, tetapi van Diemen menolak dengan alasan kehati-hatian. Dalam konteks ini, Raja Bali berperan sebagai pelindung, namun dalam praktiknya, mengendalikan Blambangan sebagai vasal. Daghregister 25 Juli 1632 bahkan mencatat keberadaan Raja Blambangan di Bali—indikasi subordinasi politik yang nyata.

Huru-hara Pengkhianatan dan Perebutan Takhta

Situasi internal Blambangan mengalami gejolak. Sekitar 1633, istana dilanda kudeta keji. Raja yang sah, Maes Cariaen, diusir dan dibantai bersama seluruh keluarga dan keturunannya oleh seorang tokoh yang disebut "Singersarrij" (kemungkinan orang Singasari). Tokoh ini, melalui patronase dan hadiah-hadiah kepada Raja Bali dan para pembesarnya, diangkat sebagai raja baru Baliboan.

Menurut Meinsma (1874:144), raja baru ini memiliki dua orang putra kembar, yang kelak dikenal sebagai Ki Mas Kembar. Peristiwa berdarah ini menandai berakhirnya dinasti lama Blambangan. Th. Pigeaud (1932:240) mencatat kejatuhan dan lenyapnya garis keturunan terdahulu sebagai titik kritis dalam sejarah kerajaan ini.

Mataram akhirnya turun tangan secara militer. Antara tahun 1636 hingga 1640, dimulailah ekspedisi besar ke Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Silarong dan Padureksa, sang inspektur kerajaan yang diutus untuk menilai kinerja pasukan. Mereka berangkat dari Pasuruan, melintasi Kediri dan Lumajang, sebelum tiba di Blambangan.

Adipati Blambangan ketika itu meminta bantuan kepada Bali. Lima ratus prajurit elit dikirim, dipimpin oleh Dewa Agung dan Dewa Lengkara. Namun, dalam pertempuran yang digambarkan dalam Serat Kandha dan Babad Tanah Djawi, pasukan gabungan Blambangan-Bali mengalami kekalahan. Pasukan Bali hanya bersenjata sumpit, dan meskipun menimbulkan korban di pihak Mataram, mereka tak mampu menahan serangan. Ki Mas Kembar, yang menjaga kota, akhirnya tertangkap.

Sementara penduduk Blambangan melarikan diri ke pegunungan, mereka dikejar hingga ke lereng-lereng curam. Salah satu tokoh yang tertangkap adalah Salokantara, seorang guru pertapa. Ia diseret ke hadapan Pangeran Silarong dan dibunuh dengan kejam. Namun kisah mistis menyelimuti kematiannya. Mayatnya menghilang, dan suara gaib terdengar menggugat pembunuhan itu: "Pada suatu ketika, guru akan menjelma raja dengan bekas luka di lengan kiri atas. Pada saat itu aku akan membunuhmu."

Kutukan dan Mistik Balas Dendam

Peristiwa pembunuhan Salokantara membentuk inti legenda kelam Blambangan. Serat Kandha memberikan versi berbeda: Salokantara enggan duduk di tanah saat diinterogasi dan memilih meninggal dengan penuh wibawa. Dalam banyak narasi Jawa, guru pertapa yang dibunuh secara tidak adil kerap dianggap sebagai pembawa kutukan atau pemilik kalimat sakti.

Kutukan Salokantara dipercaya menjadi awal dari nasib tragis Pangeran Silarong di kemudian hari, terutama perselisihannya dengan Sunan Amangkurat I. Konflik itu menjadi babak baru dalam narasi spiritual dan politis era Mataram.

Pada penghujung tahun 1669, Pangeran Silarong—seorang bangsawan tinggi Mataram yang masih memiliki garis darah dengan Sultan Agung—mengalami akhir hayat yang tragis. Ia, yang dahulu pernah memimpin ekspedisi besar menaklukkan Blambangan, justru menemui ajal di bawah bayang-bayang kecurigaan dan politik istana. Sunan Amangkurat I, penguasa Mataram yang dikenal keras dan curiga terhadap para kerabat yang berpengaruh, menuduh Silarong hendak merebut takhta. Tanpa melalui peradilan resmi, Silarong dijatuhi hukuman mati.

Baca Juga : DPRD Dorong Direksi Baru Bank Jatim Pulihkan Kepercayaan Publik

Jasadnya tidak disemayamkan di makam-makam kerabat raja seperti Kotagede atau Imogiri. Sebaliknya, ia dikuburkan secara hina di Banyusumurup, sebuah kompleks pemakaman yang oleh masyarakat Jawa dikenal sebagai tempat peristirahatan para "durhaka": tokoh-tokoh bangsawan dan pangeran yang dianggap berkhianat atau bersalah terhadap Mataram.

Di sinilah, menurut kabar keraton, Pangeran Silarong—sang penakluk Blambangan dan sosok kontroversial dalam sejarah kekuasaan Mataram abad ke-17—beristirahat dalam senyap, dikutuk sejarah resmi namun tetap membekas dalam ingatan rakyat sebagai tokoh tragik yang terjebak dalam pusaran kekuasaan.

Penjarahan dan Penaklukan Total

Setelah kota utama Blambangan jatuh, pasukan Mataram menjarah dan membakar rumah sang adipati. Kedua putranya, Ki Mas Kembar, dibawa sebagai tawanan ke Mataram bersama hasil rampasan perang. Menurut Meinsma (1874:145), mereka kemudian diangkat menjadi bupati Blambangan di bawah pengawasan langsung Mataram. Sementara itu, Padureksa diangkat menjadi Pangeran Tepasana sebagai penghargaan atas keberhasilannya dalam ekspedisi tersebut.

Peran Raden Wangsakartika, putra Pangeran Pringgalaya, juga penting. Ia yang sebelumnya dikenal sebagai penjahat dan pembunuh, justru berbalik membela Mataram. Dalam serangan yang brutal, ia membunuh Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua tokoh penting pasukan Blambangan-Bali. Aksinya mendorong mundurnya sisa pasukan Bali dan membuat Blambangan benar-benar takluk.

Sisa-sisa penduduk dan bangsawan Blambangan melarikan diri ke Gunung Wilis, tempat tinggal pertapa Sakanda. Namun, mereka tetap diburu. Sakanda pun ditangkap dan dibunuh atas perintah Pangeran Silarong. Dengan itu, berakhirlah resistensi Blambangan yang tersisa.

Ki Mas Kembar dan Bayangan Masa Depan

Ki Mas Kembar, meskipun berasal dari garis penguasa yang lahir dari pengkhianatan atas Raja Maes Cariaen, kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah Blambangan pasca-penaklukan. Gelar Tawangalun yang disandangnya menjadi simbol kesinambungan pemerintahan lokal yang tunduk pada kekuasaan pusat Mataram. Namun, kisahnya tetap diwarnai oleh stigma sejarah dan bayang-bayang kutukan Salokantara.

Dalam perspektif historiografi, penaklukan Blambangan tak hanya menggambarkan ekspansi militer Mataram, tetapi juga menyimpan narasi kompleks tentang perebutan kuasa, persekutuan antar kerajaan, peran spiritualitas lokal, dan legenda-legenda rakyat yang terus hidup dalam memori kolektif Jawa Timur.

Kisah Ki Mas Kembar dan Salokantara memperlihatkan betapa sejarah Jawa bukan hanya ditulis dengan darah dan pedang, tetapi juga dengan kata-kata yang gaib, kutukan yang diwariskan, dan kesaktian yang diselubungi misteri. Di sanalah sejarah dan mitologi berpadu—menjadi warisan Blambangan yang hilang, namun tak pernah benar-benar padam dari ingatan rakyatnya.