JATIMTIMES - Dalam alur sejarah panjang Kesultanan Mataram Islam, tokoh-tokoh seperti Panembahan Senapati, Sultan Agung, dan Amangkurat I sering menjadi pusat perhatian. Namun, terselip di sela lembar-lembar sejarah yang jarang dijamah adalah nama Pangeran Singasari—seorang bangsawan spiritualis, pendiam, alim, namun juga terlibat dalam intrik berdarah, cinta segitiga, dan kisah tragis kudeta politik. Ia pernah menjadi raja, walau hanya delapan hari.
Dikenal pula sebagai Raden Mas Pandonga, atau Raden Aria Tiron, Pangeran Singasari adalah anak ketiga dari Amangkurat I. Masa pemerintahannya yang singkat mencerminkan betapa getir dan getirnya kehidupan politik istana Mataram pada dekade-dekade terakhir abad ke-17, di tengah atmosfer ketidakpastian, persaingan antarputra raja, dan tekanan Belanda dari luar.
Asal Usul: Anak dari Perempuan Rampasan
Menurut sumber dari Sadjarah Dalem dan laporan Belanda dalam Daghregister serta catatan Jonge (Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indië), Pangeran Singasari adalah putra dari perempuan rakyat biasa bernama Patra Kilassa dari Pasuruan. Ia adalah salah satu perempuan yang ditawan dan dibawa ke Mataram dalam ekspedisi Sultan Agung ke Blambangan sekitar tahun 1630-an. Saat itu, gadis itu masih belia dan dibesarkan oleh selir Saralati sebelum akhirnya diambil sebagai istri oleh Raja Mataram.
Kelahiran Raden Mas Pandonga diperkirakan terjadi sekitar pertengahan 1640-an. Nama "Pandonga" yang berarti doa, mencerminkan harapan spiritual dan religiositas yang kelak menjadi ciri khasnya. Masyarakat mengenalnya sebagai seorang alim. Ia tinggal di sebuah padepokan di Jenar, menjalani kehidupan sederhana dan dikenal suka bertafakur serta mendirikan salat malam di masjid. Bahkan Putra Mahkota Raden Mas Rahmat pun mengakui, dalam sebuah dialog yang direkam di Jepara pada tahun 1676: 'Saya bukan seorang kiai seperti Pangeran Singasari.
Delapan Hari Menjadi Raja: Kudeta atau Rekayasa Politik?
Pada tanggal 23 Juli 1670, berdasarkan catatan dari Daghregister, Raja Amangkurat I menyerahkan tahta kepada Pangeran Aria Tiron—yakni Pangeran Singasari. Penyerahan kekuasaan ini tampaknya bersifat dadakan dan penuh misteri. Sumber-sumber Belanda menunjukkan adanya ketakutan Raja terhadap malapetaka atau gejala spiritual-politik yang mengancam, sehingga ia memilih untuk secara simbolik menyerahkan kekuasaan sebagai bentuk penangkal nasib buruk.
Namun, penyerahan kekuasaan ini tidak berlangsung lama. Pada 8 Agustus 1670, tepat delapan hari kemudian, Raja mencabut kembali titahnya dan mengambil alih tampuk pemerintahan. Tidak dijelaskan secara rinci alasan pasti penyesalannya, namun sinyalemen kuat menunjukkan bahwa Raja merasa tidak aman dan meragukan kesetiaan para pengikut Pangeran Singasari.
Kembalinya kekuasaan ke tangan Raja juga beriringan dengan pengangkatan Putra Mahkota, Pangeran Adipati Anom, sebagai penguasa atas wilayah strategis Tuban, serta kemudian Surabaya dan Gresik. Langkah ini memperjelas siapa yang sebenarnya dianggap lebih pantas menjadi penerus kekuasaan secara penuh.
Intrik Ratu Blitar: Cinta, Pengkhianatan, dan Darah
Namun cerita Pangeran Singasari tidak berhenti pada kekuasaan delapan harinya. Dalam babak berikutnya dari hidupnya, ia menjadi tokoh utama dalam tragedi istana yang melibatkan istrinya, yang dikenal sebagai Ratu Blitar.
Versi Meinsma dalam Babad Tanah Jawi dan catatan Valentijn menyajikan kisah yang dramatis dan mengerikan: Istri Pangeran Singasari dilaporkan berselingkuh dengan Putra Mahkota (kelak Amangkurat II) dan seorang pemuda bernama Raden Dobras, putra Pangeran Pekik. Dalam versi Valentijn, pada suatu malam, sang putra mahkota bersama Dobras dan beberapa pengikutnya diam-diam mengunjungi Ratu Blitar ketika Pangeran Singasari sedang salat malam. Sekembalinya dari masjid, Pangeran Singasari memergoki kejadian itu, mengejar mereka, dan berhasil menangkap Dobras. Dalam kemarahannya, ia menikam Dobras dengan keris, menguburkannya diam-diam di belakang rumah, dan tidak membunyikan tanda bahaya (bende), yang merupakan kewajiban protokoler bila terjadi peristiwa kriminal.
Saat pengadilan internal diadakan, Putra Mahkota menyangkal keterlibatannya, dan dengan bukti minim serta testimoni para abdi yang “tidak mendengar apa-apa,” Raja membebaskannya dari tuduhan. Sebaliknya, para pengikut setia Pangeran Singasari menjadi sasaran balas dendam: sebanyak 33–34 orang abdinya dihukum mati di alun-alun atas perintah Raja.
Pengampunan yang Tidak Tuntas dan Ketegangan yang Tak Pernah Reda
Baca Juga : 7 Fakta Ilmiah Khasiat Bawang Dayak yang Mengejutkan
Tiga tahun setelah tragedi berdarah itu, Raja akhirnya mengampuni putra sulungnya, Pangeran Adipati Anom, atas insiden pembunuhan massal tersebut. Ia pun memerintahkan agar tidak ada lagi pembicaraan mengenai peristiwa itu. Namun jelas bahwa pengampunan ini tidak menyelesaikan persoalan mendalam dalam struktur internal keluarga kerajaan. Keretakan antara Pangeran Singasari dan kakaknya tetap membekas dan menjadi sumber ketegangan berkepanjangan.
Pada 24 Juni 1672, laporan Residen Belanda dari Jepara menyebut bahwa seluruh Jawa merasa takut terhadap Pangeran Adipati Anom. Situasi politik menjadi sedemikian genting, hingga pada 4 Agustus 1672 terjadi letusan dahsyat Gunung Merapi—suatu gejala alam yang dalam tradisi Jawa sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan kosmis dan kekacauan di istana.
Dalam surat tanggal 12 Agustus 1672 dari Jepara, tercatat bahwa Sunan Amangkurat I sangat murka terhadap dua putranya: Pangeran Adipati dan Pangeran Singasari. Ia mengumpulkan 4.000 abdi untuk diadu dalam pertarungan, dan seorang kerabat raja terbunuh. Beberapa laporan menyebut adanya rencana pembalasan dendam dari Pangeran Adipati.
Historiografi: Mataram dalam Kabut Kekuasaan dan Ketegangan Darah
Kisah Pangeran Singasari mencerminkan dinamika kompleks sejarah Mataram Islam pada akhir abad ke-17. Sejarawan Belanda seperti Jonge, Valentijn, dan laporan Daghregister memberikan narasi dari sudut pandang kolonial yang sarat agenda, tetapi dengan dokumentasi kronologis yang ketat. Di sisi lain, Sadjarah Dalem dan babad-babad Jawa memberikan gambaran budaya dan spiritual dari dunia istana yang sarat simbol dan mitos.
Penulis berpandangan bahwa dalam pendekatan terhadap sejarah Jawa, penting untuk menekankan pembacaan silang antara sumber-sumber Eropa dan lokal. Dalam kasus Pangeran Singasari, kedua jenis sumber ini saling melengkapi: yang satu mencatat tanggal, surat, dan laporan resmi; sementara yang lain merekam batin kolektif serta tafsir masyarakat Jawa terhadap pengkhianatan, spiritualitas, dan karma.
Jejak Tak Terlacak Seorang Raja Sepekan
Pangeran Singasari mungkin hanya menjadi raja selama delapan hari, tetapi kisah hidupnya mencakup seluruh spektrum pengalaman manusia: kekuasaan, spiritualitas, pengkhianatan, pembunuhan, dan pengampunan. Ia adalah cermin dari sejarah Mataram yang tidak hanya dipenuhi oleh pertempuran dan diplomasi, tetapi juga oleh drama keluarga yang menyimpan luka kolektif.
Pangeran Singasari. Namanya absen dalam daftar panjang para raja Mataram, tetapi sejarah mengenangnya di lorong-lorong tergelap kekuasaan. Ia bukan sekadar raja sepekan—ia adalah penanda luka, simbol keterputusan, dan gema dari memori yang sengaja dibungkam. Dalam sejarah yang ditulis pemenang, dialah catatan pinggir yang terus menuntut dibaca ulang.