JATIMTIMES - Di tengah lanskap politik dan sosial Kepangeranan Surakarta pada abad ke-19, muncul berbagai gerakan perlawanan yang bersifat lokal, spontan, dan sering mesianis.
Gerakan-gerakan ini mencerminkan pergolakan sosial akibat sistem kolonial yang semakin menekan kehidupan masyarakat Jawa. Perlawanan ini tidak selalu berbentuk pemberontakan bersenjata yang terorganisasi seperti Perang Diponegoro (1825–1830), tetapi lebih sering berupa ekspresi ketidakpuasan rakyat melalui tindakan simbolis, pengklaiman kekuatan supranatural, hingga tindakan kriminal yang bermuatan politis.
Baca Juga : DPU Bina Marga Jatim Normalisasi Lereng Terdampak Longsor di Jalur Pacet-Cangar Mojokerto
Artikel ini akan menyoroti berbagai gerakan periferal yang terjadi di sekitar Surakarta antara tahun 1839 hingga 1870-an —mulai dari aksi telanjang Bagus Jedik dan Raden Lara, fenomena mesianis Damar Jati, hingga maraknya gerombolan perampok atau kecu yang kerap dikaitkan dengan ketidakadilan sosial. Ragam gerakan rakyat ini menunjukkan bahwa Surakarta menjadi salah satu basis penting perlawanan rakyat pasca-Perang Diponegoro.
Bagus Jedik dan Raden Lara: Sebuah Pemberontakan Mistis? (1839)
Pada tahun 1839, seorang pria Jawa bernama Bagus Jedik bersama istrinya, Raden Lara, menggegerkan wilayah Solo. Keduanya, bersama para pengikutnya, berkeliaran dalam keadaan telanjang bulat di sekitar kota, sebuah tindakan yang dalam kacamata masyarakat Jawa saat itu bisa jadi merupakan bentuk protes terhadap struktur sosial yang menindas atau ekspresi spiritual yang ekstrem.
Gerakan mereka berujung pada tindakan represif pemerintah kolonial. Bagus Jedik dan istrinya dianggap sebagai orang gila dan dikirim ke Batavia untuk “dirawat,” sebuah tindakan yang sering digunakan untuk mengasingkan para pembangkang politik. Sementara itu, delapan belas pengikutnya dibuang ke Banda, salah satu lokasi pembuangan politik utama pada masa itu.
Pada tahun yang sama, dua orang lainnya -Gusti dan Raden Nata Kusuma- juga ditangkap dan diasingkan karena mengklaim memiliki kekuatan supranatural dan berusaha membangkitkan pemberontakan di kalangan rakyat. Peristiwa ini mencerminkan bagaimana resistensi terhadap kolonialisme sering bercampur dengan kepercayaan mistis dan harapan akan datangnya seorang ratu adil yang akan membebaskan rakyat dari penderitaan.
Damar Jati dan Gelombang Mistisisme Mesianis (1852)
Gerakan periferal kembali mencuat pada tahun 1852 dengan kemunculan seorang pujang atau pemuka spiritual bernama Damar Jati (berarti "Cahaya Sejati"). Ia mengklaim memiliki wahyu dan berkeliaran di sekitar perbatasan Surakarta dengan lima puluh pengikut setianya.
Fenomena ini cukup meresahkan pihak kolonial. Ketika Residen H.E. Buschkens mengeluarkan perintah penangkapan, para pengikutnya segera tercerai-berai, sementara Damar Jati sendiri melarikan diri. Meski demikian, keberadaan gerakan seperti ini menunjukkan bahwa di luar lingkungan istana, masih ada ketidakpuasan sosial yang berwujud dalam keyakinan akan datangnya pemimpin spiritual yang akan membebaskan rakyat dari ketidakadilan.
Isu Pembunuhan Susuhunan: Desas-Desus yang Menggetarkan (1861)
Pada April 1861, keresahan kembali muncul di Surakarta. Terdapat desas-desus mengenai rencana pemberontakan besar yang bertujuan membunuh Susuhunan Pakubuwana VIII dan para pejabat Eropa. Residen F.N. Nieuwenhuyzen menepis isu ini sebagai kabar bohong yang bersumber dari Semarang. Namun, betapapun tidak berdasarnya isu ini menurut pihak kolonial, fakta bahwa rumor semacam ini bisa menyebar luas menunjukkan adanya keresahan mendalam di kalangan masyarakat terhadap penguasa lokal yang dianggap semakin dekat dengan kolonial Belanda.
Kecu: Dari Perlawanan Sosial hingga Kejahatan Terorganisasi
Selain gerakan-gerakan mesianis, pada paruh kedua abad ke-19, Surakarta dan daerah sekitarnya menghadapi gelombang perampokan besar-besaran yang dilakukan oleh gerombolan kecu. Perampokan-perampokan ini bukan sekadar kejahatan biasa, tetapi sering dimotivasi oleh ketidakadilan sosial yang dialami rakyat kecil akibat sistem kolonial dan feodal yang menindas.
Pada tahun 1842, seorang tuan tanah di Solo bernama J. Moser menjadi korban serangan kecu. Yang menarik, di saat yang sama, sebuah surat kaleng dikirim ke pemerintah Batavia yang menuduh para tuan tanah Eropa telah merampas sawah-sawah rakyat untuk kepentingan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa serangan kecu bisa jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap penindasan ekonomi, bukan sekadar tindakan kriminal semata.
Baca Juga : Kisah Amr Bin Tsabit Bin Waqsy, Sahabat Nabi yang Tidak Pernah Salat namun Masuk Surga
Kasus serupa terjadi di Klaten pada tahun 1843, ketika rumah seorang penyewa tanah bernama J. Jozes diserang, dan ia sendiri dibunuh oleh segerombolan kecu. Pada tahun 1864, fenomena ini semakin meluas dengan banyaknya surat ancaman yang ditujukan kepada orang-orang kaya, khususnya para pemilik tanah keturunan Cina dan Eropa.
Pada akhir tahun 1860-an, fenomena kecu semakin meresahkan pemerintah kolonial. Antara tahun 1867 dan 1870, jumlah serangan meningkat tajam, dengan total lebih dari empat puluh insiden tercatat dalam laporan resmi pemerintah.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan maraknya kecu adalah perubahan sosial dan ekonomi di Jawa setelah sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) diterapkan pasca-1830. Sistem ini memperkaya para bangsawan lokal yang bekerja sama dengan Belanda, tetapi memiskinkan rakyat kecil. Banyak anggota aristokrasi Jawa berpangkat rendah yang tersingkir dari sistem feodal dan memilih bergabung dengan gerombolan kecu untuk bertahan hidup.
Dalam novel yang ditulis Groneman, seorang penulis Belanda yang mengisahkan fenomena kecu di Jawa, digambarkan bahwa dalang di balik aksi perampokan sering adalah bangsawan Jawa berpangkat rendah yang miskin, seperti Raden Ngabehi. Para pemimpin semacam ini tidak secara langsung terlibat dalam perampokan, tetapi mengendalikan jaringan kriminal dari balik layar.
Selain itu, tradisi jago—yakni kelompok orang kuat yang memiliki keterampilan bertarung dan sering bekerja sebagai pengawal bangsawan—juga turut berperan dalam fenomena ini. Seiring berjalannya waktu, sebagian dari mereka yang kehilangan perlindungan dari patronnya memilih beralih menjadi pemimpin gerombolan kecu.
Meningkatnya ancaman kecu memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil tindakan serius. Pada tahun 1872, empat orang asisten residen baru ditunjuk untuk menangani keamanan di pedalaman Surakarta. Selain itu, pada tahun 1876, kepolisian lokal diperkuat dengan tambahan 46 personel baru.
Meski demikian, kebijakan ini lebih bertujuan meningkatkan keamanan bagi kepentingan kolonial dan para pemilik tanah Eropa, bukan mengatasi akar permasalahan sosial yang menjadi pemicu utama lahirnya kecu.
Kriminalitas Bermuatan Politik
Gerakan periferal di Surakarta pada abad ke-19 mencerminkan ketegangan antara sistem kolonial yang menindas dan perlawanan rakyat yang mengambil berbagai bentuk, mulai dari gerakan mistis hingga perampokan bersenjata. Di satu sisi, munculnya figur seperti Bagus Jedik dan Damar Jati menunjukkan adanya keyakinan mesianis yang menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap status quo. Di sisi lain, fenomena kecu menggambarkan bagaimana ketidakadilan sosial dan ekonomi dapat melahirkan gerakan kriminal yang bermuatan politis.
Sejarah gerakan-gerakan ini menjadi cerminan dari kompleksitas perlawanan di Jawa, yang tidak selalu berbentuk pemberontakan besar seperti Perang Diponegoro, tetapi tetap menjadi bagian penting dalam narasi panjang perjuangan rakyat melawan kolonialisme dan feodalisme.