JATIMTIMES – Menurut syariat Islam, wewenang untuk menjatuhkan talak atau memutuskan ikatan pernikahan umumnya berada di pihak laki-laki. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah istri juga memiliki wewenang yang sama untuk mengakhiri pernikahan?
Dari sudut pandang fikih, suami dianggap memiliki otoritas utama dalam urusan perceraian, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi yang merujuk pada tafsir Surah Al-Baqarah ayat 229, hadis Nabi Muhammad SAW, serta ijma’ para ulama.
Baca Juga : Jumat Agung 2025 Apakah Libur? Cek Jadwal Lengkapnya
Lantas, bagaimana jika hubungan rumah tangga mengalami masalah serius, seperti perselisihan yang berkepanjangan atau tindak kekerasan? Dapatkah istri mengupayakan perceraian?
Sebagian besar mazhab, termasuk Mazhab Syafi'i, berpendapat bahwa hak untuk menjatuhkan talak tetap berada di tangan suami. Tetapi, dalam situasi tertentu, istri diperbolehkan mengajukan pemutusan pernikahan melalui sebuah mekanisme bernama khulu'.
Khulu’ merupakan bentuk perpisahan yang diinisiasi oleh istri dengan memberikan sejumlah kompensasi kepada suami. Dalam hal ini, istri dapat memohon untuk dipisahkan dengan cara mengembalikan mahar atau harta yang pernah diterima dari suami, baik secara penuh maupun sebagian, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Secara prinsip, khulu’ dianggap makruh (tidak dianjurkan), kecuali dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika terjadi persengketaan atau kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan ketidakmampuan pasangan untuk memenuhi hak dan kewajiban pernikahan.
Surah Al-Baqarah ayat 229 menyatakan: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka (istri), kecuali jika keduanya khawatir tidak mampu menaati batasan-batasan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 229). Ayat ini menjadi dasar bahwa apabila upaya perdamaian gagal dan salah satu pihak merasa tidak sanggup melanjutkan ikatan pernikahan, khulu’ dapat menjadi solusi.
Sebuah riwayat dari Bukhari dan Nasa’i mengisahkan soal istri Tsabit bin Qais yang meminta perceraian kepada Rasulullah SAW. Meski tidak menemukan kesalahan dalam agama atau akhlak suaminya, ia mengaku tidak sanggup menghadapi sifat pemarah Tsabit. Setelah berdiskusi dan mengetahui bahwa istri tersebut bersedia mengembalikan kebun pemberian suaminya sebagai mahar, Nabi SAW pun memerintahkan Tsabit untuk menerimanya dan mengakhiri pernikahan mereka.
Baca Juga : Konglomerat Dermawan yang Dijamin Surga, Siapa Sosoknya?
Namun, hal ini tidak lantas memberi kebebasan mutlak bagi istri untuk mengajukan cerai tanpa alasan yang kuat. Sebagaimana ditekankan oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam karyanya
Halal dan haram dalam Islam, istri tidak boleh meminta cerai tanpa dasar yang sah. Rasulullah SAW bahkan mengingatkan bahwa perempuan yang memutuskan ikatan pernikahan tanpa alasan yang dibenarkan akan terhalang dari mencium aroma surga. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Daud: “Perempuan mana pun yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang syar’i, maka dia tidak akan mencium bau surga.”
Beberapa kondisi yang membolehkan istri mengajukan khulu’ antara lain: suami memiliki kekurangan fisik atau mental yang menghalangi terwujudnya tujuan pernikahan, seperti gangguan jiwa, impotensi, atau kecacatan organ vital. Lalu, suami tidak mampu memberikan nafkah atau menunaikan kewajiban mahar dan suami menghilang tanpa kabar dalam waktu lama (mafqud) sehingga kehidupan rumah tangga tidak dapat berjalan normal.
Jika suami menolak permintaan cerai meskipun istri telah memenuhi syarat khulu’, istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Di Indonesia, baik suami maupun istri dapat mengajukan perceraian selama memiliki alasan yang sah menurut hukum. Apabila pengadilan menemukan bukti yang kuat, hakim berwenang memutuskan tali pernikahan.