Peta Ruhani Jawa: Empat Puluh Sahabat, Ki Ageng Pengging, dan Warisan Sufistik Tanpa Mahkota
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
20 - Jun - 2025, 02:22
JATIMTIMES - Dalam denyut sunyi sejarah Jawa abad ke-16, ketika gempuran Islamisasi kultural mencapai puncaknya dan kekuasaan politik Kesultanan Demak mengukuhkan pengaruhnya di seluruh penjuru tanah Jawa, berdirilah sebuah jaringan spiritual yang tak kalah besar dibandingkan hiruk-pikuk kekuasaan politik saat itu.
Di balik kelindan peristiwa besar seperti pengangkatan Sultan Trenggana, wafatnya Sunan Giri Kedaton, dan bergulirnya Dinasti Demak yang kian pragmatis, muncul sekelompok tokoh sufi-syekh dan ki ageng yang tidak mengejar mahkota, melainkan memilih jalan sunyi: jalan spiritualitas, pertapaan, dan pembinaan masyarakat dari akar.
Baca Juga : Ziarah Makam Bung Karno: Wali Kota Blitar dan Kepala BPIP Satukan Langkah untuk Pancasila
Tokoh sentral dalam jaringan ini adalah Ki Ageng Pengging, yang dalam berbagai naskah babad dan serat juga disebut sebagai Kyai Ageng Pengging atau Raden Kebo Kenanga, putra Prabu Andayaningrat—seorang bangsawan yang menolak tunduk pada sistem politik Kesultanan Demak. Bersama para sahabatnya yang berjumlah sekitar empat puluh orang, mereka bukan sekadar murid-murid spiritual, melainkan juga penguasa wilayah lokal yang mandiri secara politik maupun ruhani.
Mereka membentuk semacam thariqah kolektif: sebuah jaringan para wali, ki ageng, dan pemuka spiritual yang tersebar dari Banyuwangi hingga Karanggayam, dari Tembalang hingga Getasaji, serta dari Waturante hingga Tambakbaya, dengan pusat ruhaniahnya berada di Pengging.
Para sahabat ini membentuk komunitas spiritual yang menolak struktur sentralistik kerajaan. Mereka lebih memilih hidup sebagai pembimbing masyarakat, guru tarekat, dan pemimpin adat, dengan basis otoritas yang berasal dari penguasaan ilmu-ilmu keagamaan dan spiritual, bukan kekuasaan politik.
Sebagian besar sahabat Ki Ageng Pengging merupakan para bangsawan, ulama lokal, atau bekas punggawa istana yang memilih menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan dan mengasingkan diri di tengah masyarakat. Mereka dikenang dalam tradisi lisan dan naskah-naskah lokal sebagai sosok-sosok bergelar Ki Gede, Ki Ageng, atau Kyai Ageng—gelar kehormatan yang mencerminkan kedudukan mereka sebagai pemimpin spiritual, tokoh masyarakat, atau ahli ilmu yang disegani karena keluasan wawasan dan kesalehan hidupnya...