Pangeran Pekik, Amangkurat II, dan Lahirnya Kartasura: Sebuah Warisan Surabaya

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

18 - Jun - 2025, 09:22

Sepasang batu besar ini berdiri di tengah petilasan bekas Keraton Kartasura, tepat di lokasi yang diyakini sebagai ruang utama Raja Kartasura. Batu-batu tersebut dipasang atas perintah Pakubuwana IV sebagai penanda tempat meditasi sekaligus bentuk penghormatan terhadap situs yang pernah menjadi pusat kekuasaan Mataram Islam. Di tempat inilah, jejak kejayaan dan keruntuhan Kartasura dikenang dalam keheningan. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)


JATIMTIMES - Pada suatu pagi yang tenang di Butuh, dekat reruntuhan Pajang, seorang bangsawan  dari pesisir timur Jawa duduk bersimpuh di depan makam keramat Sultan Hadiwijaya. Dalam keheningan itu, ia menerima sebuah wahyu agung: cucunya kelak akan memimpin tanah Jawa dan mendirikan sebuah kerajaan baru di Wanakerta. 

Wahyu itu bukan ilusi semata. Tiga generasi kemudian, impian itu mewujud dalam sosok Amangkurat II, pendiri Keraton Kartasura. Namun, sebelum itu terjadi, kisah perdamaian, cinta politik, dan penyatuan dua darah kerajaan besar—Mataram dan Surabaya—telah lebih dahulu memahat fondasi sejarah baru.

Baca Juga : Hari Selasa Menurut Islam: Ternyata Banyak Yang Salah Paham

Peristiwa politik terbesar pada tahun 1628 bukan hanya penyerbuan pasukan Mataram ke Giri Kedaton, melainkan justru keberhasilan diplomatik Sultan Agung dalam mengubah musuh bebuyutan menjadi sekutu. Setelah bertahun-tahun perang antara Kesultanan Mataram dan Kerajaan Surabaya—yang berpuncak pada penaklukan Surabaya oleh Mataram dan pengakuannya sebagai bawahan—akhirnya tercapai sebuah rekonsiliasi monumental: Pangeran Pekik, putra almarhum Raja Surabaya, Panembahan Jayalengkara, menerima tawaran Sultan Agung untuk menghadap ke istana.

Perundingan ini terjadi bukan semata hasil strategi militer, tapi karena jalinan alur takdir dan kebijaksanaan seorang raja tua. Dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa setelah kematian Raja Surabaya, Tumenggung Alap-Alap—seorang tokoh militer kepercayaan Sultan Agung—diperintahkan untuk menjemput Pangeran Pekik. Ia adalah keturunan ketujuh dari Sunan Ampel, dan sekaligus simbol terakhir martabat Surabaya.

Sesampainya di Mataram, ia duduk bersimpuh di bawah pohon beringin kembar, lambang kesucian dan dualitas kuasa. Ia datang dengan sikap merendah, namun dengan martabat yang tak pernah lepas dari dirinya. Dalam upacara penerimaan di Sitinggil, Raja menyambutnya dengan penuh pujian dan simbolisme alam: “Wajahmu seperti kembaranku sendiri, bagai cahaya bulan dan matahari, bagai air mancur dan danau, bagai permata di tengah pusaka.”

Sang Raja mengembalikan kehormatan Pangeran Pekik dengan berkata: “Saya kembalikan Surabaya kepadamu. Kekuasaanmu tetap seperti sediakala. Tinggallah tenang di Mataram. Anggaplah Mataram dan Surabaya sama bagimu.”

Namun diplomasi itu tak selesai hanya dengan kata-kata manis...

Baca Selengkapnya


Topik

Serba Serbi, Pangeran Pekik, Amangkurat II, Kesultanan Mataram, Kartasura,



Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Indonesia. Sektor industri, perdagangan, dan pariwisata menjadi pilar utama perekonomian Jatim. Pembangunan infrastruktur juga terus dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

cara menyimpan tomat
memilih model baju kerja wanita
harga gabah shio 2025
Cincin anniversary bukan sekadar perhiasan - ia adalah simbol yang menceritakan perjalanan cinta yang telah dilalui bersama. Mari kita dalami bagaimana Tips Memilih Wedding Anniversary Ring yang tepat untuk moment spesial Anda.

cara simpan tomat
Tips Memilih Bralette