Ratu Amangkurat: Ibu Suri Berdarah Wali di Tengah Badai Geger Pecinan (1740–1743)
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
17 - Jun - 2025, 02:24
JATIMTIMES - Dalam sejarah Mataram Islam abad ke-18, nama Ratu Amangkurat jarang disebut sebagai pemegang kekuasaan formal. Namun, pengaruhnya yang halus namun nyata, terutama selama masa genting Geger Pecinan (1740–1743), menjadikannya figur sentral dalam pusaran kekuasaan dan intrik istana Kartasura.
Sebagai ibu suri dari Sunan Pakubuwono II, ia berasal dari darah bangsawan dan merupakan keturunan langsung dari Sunan Kudus—seorang tokoh wali besar. Hal ini menjadikannya bukan sekadar sosok keibuan di lingkungan keraton, melainkan juga simbol legitimasi spiritual di tengah ketidakpastian politik yang melanda kerajaan.
Baca Juga : Film Horor Jalan Pulang Dimainkan Luna Maya Mulai Tayang 19 Juni 2025
Geger Pecinan adalah tragedi multidimensional yang menyatukan kekacauan politik, perang antar etnis, perebutan kekuasaan, dan kolaborasi pragmatis antara elite Jawa dan VOC. Di tengah pusaran konflik itu, Ratu Amangkurat memainkan peran penting sebagai penyeimbang antara konservatisme Patih Notokusumo dan keterbukaan diplomatik Sunan.
Krisis Legitimasi dan Terjunnya Tirtowiguno
Ketika Kartasura diguncang oleh pemberontakan besar-besaran, posisi Pakubuwono II sebagai penguasa tidak lagi berdiri kokoh. VOC mencurigai gerak-gerik Notokusumo yang dinilai bersimpati pada para pemberontak Tionghoa dan Jawa.
Dalam situasi yang sangat tidak menentu, Sunan—atas anjuran ibunda, Ratu Amangkurat—mengirim sekretaris kepercayaannya, Tirtowiguno, ke Semarang untuk bertemu dengan Hugo Verijsel, pemimpin VOC di wilayah pesisir utara Jawa.
Tirtowiguno adalah pilihan tepat. Ia bukan hanya paham watak Sunan, tetapi juga dikenal memiliki relasi diplomatis yang lebih diterima oleh VOC ketimbang Notokusumo. Ratu Amangkurat memainkan peranan krusial dalam penunjukan ini.
Ia menyadari bahwa kepercayaan terhadap Kartasura hanya bisa dipulihkan melalui komunikasi yang elegan dan cerdas dengan Kompeni. Patih Notokusumo dianggap terlalu radikal dan tidak disukai Belanda.
Pada 8 Maret 1742, Tirtowiguno tiba di Semarang. Namun, Verijsel belum memperoleh petunjuk dari Batavia. Meskipun demikian, ia mencatat keputusasaan yang terpancar dari pesan Sunan melalui Tirtowiguno.
Sang Raja menyampaikan bahwa tanpa bantuan VOC, posisinya sebagai penguasa akan runtuh. Maka, VOC disarankan segera mengirim garnisun ke Kartasura.
Tirtowiguno menekankan pentingnya kehadiran militer VOC walau dalam skala kecil...