Karaeng Galesong dan Perang Pesisir 1674–1676: Saat Makassar Mengguncang Jawa
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
25 - May - 2025, 02:34
JATIMTIMES - Perang pesisir Jawa pada tahun 1674–1676 merupakan salah satu episode paling kompleks dalam sejarah perlawanan terhadap hegemoni Kompeni Belanda di Nusantara. Terjadi tidak lama setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar (1666–1669), peristiwa ini menjadi ajang konsolidasi kekuatan diaspora Makassar di pesisir utara Jawa.
Dipimpin oleh tokoh karismatik Karaeng Galesong dan beberapa bangsawan Makassar seperti Karaeng Bonto Marannu dan anak Karaeng Tenetiye, gelombang perlawanan ini memperlihatkan perpaduan kekuatan militer, niat balas dendam, dan aliansi politik antara eksil Makassar dengan bangsawan dan pejabat lokal Jawa yang sedang mengalami krisis internal.
Kerja Sama Jawa-Makassar: Menyerang Kota-kota Pantai
Baca Juga : Doa Terakhir dari Imogiri: Detik-Detik Pengasingan Raja Surakarta Pakubuwana VI
Setelah kekalahan dalam Perang Makassar, banyak bangsawan dan pejuang Gowa melarikan diri ke berbagai wilayah, salah satunya pesisir utara Jawa. Mereka tidak datang sebagai pengungsi semata, tetapi sebagai armada gerilya yang tetap mempertahankan struktur komando, perlengkapan perang, dan idealisme perlawanan terhadap Kompeni. Kelompok Karaeng Galesong, Karaeng Bonto Marannu, dan Karaeng Tenetiye muncul sebagai pemimpin utama.
Pada akhir tahun 1674, gerakan Makassar mulai menunjukkan tajinya. Dari Demung, mereka mulai menyerang kota-kota pantai, dimulai dengan penaklukan Gerongan, pelabuhan beras vital di Delta Brantas yang berperan besar bagi suplai pangan Kompeni. Dengan armada lengkap, mereka menebar ancaman yang nyata. Daghregister VOC tanggal 7 Maret 1675 mencatat keluhan keras dari pejabat Belanda atas terbunuhnya awak perahu Batavia Struys oleh kelompok Makassar.
Yang mengejutkan pihak Kompeni adalah sikap ambigu, bahkan cenderung bersahabat, dari beberapa pejabat Jawa terhadap kelompok Makassar. Di Semarang, Demak, dan Jepara, perampasan oleh Makassar tidak direspons secara represif. Bahkan Putra Mahkota Mataram disebut telah memerintahkan agar orang-orang Makassar tidak diganggu. Sebaliknya, beberapa bupati seperti dari Gresik dan Surabaya yang berani menolak instruksi ini, justru kemudian dibunuh atas perintah Sunan Amangkurat I.
Di Jepara, Syahbandar Kartisedana – seorang Benggala yang loyal pada putra mahkota – disinyalir memiliki jaringan dengan perompak Makassar. Ia dituduh sering menerima barang rampasan, namun berhasil meyakinkan Kepala Daerah Wiraatmaka dengan argumentasi yang rapi...