Narasi Tercecer Pemberontakan Pulung Ponorogo 1885: Kami Datang untuk Membunuh Belanda
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
04 - May - 2025, 07:42
JATIMTIMES - Pada penghujung tahun 1885, tanah Pulung di wilayah Ponorogo, keresidenan Madiun, menjadi saksi sebuah ledakan sosial yang tidak hanya mencerminkan resistensi petani terhadap sistem kolonial, tetapi juga menyingkap akar dalam dari ketimpangan fiskal yang menggerogoti fondasi masyarakat pedesaan Jawa.
Di bawah pimpinan seorang tokoh yang kelak dicatat dalam laporan-laporan resmi sebagai Martorejo, pemberontakan yang semula dianggap kecil ini menyibak kontradiksi antara narasi resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan realitas getir kehidupan rakyat jelata.
Baca Juga : Jangan Tidur dalam Keadaan Marah, Psikolog Ungkap Bahayanya
Dalam rekonstruksi historiografi modern, peristiwa Pulung harus dipahami bukan semata sebagai pemberontakan dadakan oleh sekelompok kecil orang kecewa. Ia adalah puncak gunung es dari perasaan muak, marah, dan tersingkir dari warga desa yang semakin kehilangan kontrol atas tanah dan penghidupannya akibat sistem pajak yang memberatkan dan eksploitatif.
Pajak: Sumbu dari Amarah Sosial
Dari berbagai kesaksian yang tertangkap selama penangkapan dan interogasi para pemberontak, terlihat jelas bahwa motif ekonomi menjadi penyulut utama dari aksi kekerasan yang dirancang. "Kami datang dari Yogyakarta, Kertosono, Banyuwangi, dan mendengar bahwa rakyat di Ponorogo kesulitan karena tingginya pajak tanah," demikian kesaksian para pemberontak kepada kepala desa Caper.
Mereka menegaskan, "Kami tidak melawan sesama Jawa. Kami datang untuk membunuh Belanda."
Narasi semacam ini kembali ditemukan dalam berbagai kesaksian lainnya. Di Desa Bojong, para pemberontak menyatakan dengan tegas, "Kami ingin membunuh Belanda karena mereka membebani kami dengan pajak."
Bahkan kepada aparat keamanan di Rejosari mereka menuturkan niat yang lebih strategis: cukup dengan tiga hari perlawanan, Ponorogo akan dikuasai dan pajak akan dihapuskan. “Katakan pada Wedana Rejosari, kami datang karena wong cilik tidak sanggup membayar pajak.”
Dalam pengakuan yang dikutip oleh surat kabar De Locomotief, bahkan terungkap bahwa ada yang berkata: "Orang kecil ini bahkan tidak mampu memakai celana karena uangnya dipakai untuk membayar pajak."
Respon pemerintah kolonial pada awalnya penuh penyangkalan...