Ramalan di Makam Butuh: Wahyu Pangeran Pekik dan Kelahiran Raja Mataram dari Darah Surabaya
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
21 - Apr - 2025, 01:57
JATIMTIMES - Di tengah hamparan pedesaan Jawa yang sunyi, di sebuah sudut bernama Butuh dekat Pajang, berdiri sebuah makam yang luput dari hiruk-pikuk sejarah mainstream Jawa: Makam Butuh. Di sinilah, menurut babad dan tradisi lisan, berlangsung suatu peristiwa spiritual yang akan membentuk wajah politik Jawa selama hampir satu abad.
Seorang bangsawan dari Surabaya, Pangeran Pekik, bermalam di makam keramat Sultan Pajang dan menerima sebuah “wahyu keraton” — ramalan bahwa cucunya akan menjadi raja Jawa, memerintah dari sebuah istana di sebelah barat Pajang. Ramalan ini bukan sekadar penglihatan gaib; ia menjelma menjadi strategi politik, persekutuan dinasti, dan konsolidasi kekuasaan yang pada akhirnya melahirkan Sultan Amangkurat I dari Dinasti Mataram-Surabaya.
Baca Juga : Penyelesaian Konflik Apartemen Bale Hinggil, Wali Kota Eri Minta Fasilitas Dasar Tetap Fungsi
Artikel ini menyajikan narasi sejarah dokumenter dengan pendekatan historiografi mendalam, mengkaji sumber-sumber primer seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, laporan Belanda, hingga Daghregister VOC dan berbagai sumber lain, serta menelusuri jejak Pangeran Pekik, tokoh kunci dalam proses integrasi dua kekuatan besar Jawa abad ke-17: Mataram dan Surabaya.
Dari Musuh Menjadi Sekutu: Diplomasi Sultan Agung dan Pangeran Pekik
Antara tahun 1625 hingga 1628, Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung melancarkan ekspansi besar-besaran ke wilayah pesisir utara Jawa. Kota-kota dagang seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban—yang sebelumnya merupakan bagian dari konfederasi perdagangan Islam pesisir—satu per satu jatuh ke tangan pasukan Mataram. Namun kemenangan militer tidak serta-merta menyelesaikan soal politik. Surabaya, sebagai pusat kekuasaan pesisir terakhir, telah runtuh, namun sisa bangsawan dan elite politiknya masih menyisakan potensi gejolak.
Pangeran Pekik, putra dari Raja terakhir Surabaya yang telah wafat, menjadi figur penting dalam penyatuan kembali sisa aristokrasi Surabaya ke dalam struktur kekuasaan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, hingga catatan Meinsma, kita memperoleh gambaran bahwa Sultan Agung tidak serta-merta memperlakukan Pangeran Pekik sebagai tawanan perang, melainkan sebagai sekutu strategis.
Kisah bermula usai wafatnya Raja Surabaya Panembahan Jayalengkara— ayahanda Pangeran Pekik — yang selama dua dekade menjadi batu sandungan bagi ekspansi Mataram ke wilayah pesisir utara...