Cermin Retak di Tanah Priyayi: Brotodiningrat Menantang Donner
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
20 - Apr - 2025, 07:26
JATIMTIMES - Menjelang pergantian abad ke-20, wilayah Karesidenan Madiun bukan hanya menjadi pusat dinamika ekonomi perkebunan dan industri gula, tetapi juga arena tarik-menarik kekuasaan antara elite pribumi dan pejabat kolonial. Salah satu peristiwa paling mencolok yang mencerminkan ketegangan itu adalah kasus Raden Mas Adipati Brotodiningrat, Bupati Madiun (1897–1902), yang berujung pada pemecatannya dan pengasingan ke Padang.
Kasus ini bukan sekadar perseteruan individu antara Brotodiningrat dan Residen Madiun, J.J. Donner, tetapi juga merupakan representasi dari konflik struktural antara elite bumiputra yang berusaha mempertahankan martabat dan kepentingan lokal, dengan pejabat kolonial yang ingin memperkokoh dominasi atas sistem pemerintahan pribumi.
Baca Juga : Urai Macet di Jam Rawan, Dishub Kota Malang Andalkan Tim RCL
Historiografi Singkat Asal Usul R.M.A. Brotodiningrat: Dari Darah Sumoroto ke Birokrasi Madiun
Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada 1849 dari keluarga bangsawan priyayi tinggi. Ayahnya, R.T. Brotodirjo, adalah Bupati Sumoroto, sebuah kabupaten tua di bawah kedaulatan Surakarta, sementara ibunya adalah putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Garis keturunan ganda ini menjadikannya pewaris darah biru sekaligus simbol kontinuitas kekuasaan lokal Jawa.
Namun, takdirnya berubah drastis saat sang ayah wafat pada 1855. Di usia enam tahun, Brotodiningrat terlalu muda untuk memangku jabatan bupati. Pemerintah kolonial menolak suksesi langsung dan menempatkan pejabat sementara, sementara sang ibu membawanya ke Keraton Surakarta untuk memperoleh pendidikan elite. Di lingkungan istana, ia dibentuk oleh etika priyayi klasik, lalu disekolahkan ke lembaga Belanda, termasuk Sekolah Pamong Pribumi—pijakan awal karier administratifnya.
Tahun 1866, ia memulai magang sebagai mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, naik menjadi Wedana Magetan (1867), lalu diangkat sebagai Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, gelombang reformasi kolonial menghapus kabupaten itu pada 1877. Brotodiningrat dipindahkan ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885—tanda bahwa kekuasaan tidak lagi bersandar pada genealogis, tapi prestasi administratif.
Di Madiun, Brotodiningrat menjelma sebagai representasi baru seorang bupati...