Pangeran Djonet: Penerus Diponegoro dan Perlawanan yang Tak Tercatat Sejarah
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
07 - Apr - 2025, 07:30
JATIMTIMES - Pada abad ke-19, ketika api perlawanan terhadap kolonialisme Belanda berkobar di Nusantara, nama Pangeran Diponegoro menjadi simbol perlawanan nasional.
Namun, di balik kisah heroik itu, terdapat kisah lain yang jarang diangkat, yaitu tentang putra sulungnya, Pangeran Djonet, yang hidupnya penuh dengan lika-liku perjuangan, pelarian, dan dedikasi dalam mempertahankan identitas serta kehormatan keluarga. Artikel ini mencoba menelusuri jejak Pangeran Djonet di Bogor, sebuah kota yang menjadi persinggahan sekaligus tempat peristirahatan terakhirnya.
Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Baca Juga : Sebanyak 39 Ribu Kendaraan Tinggalkan Malang Lewat Tol pada Puncak Arus Balik Lebaran
Pangeran Djonet, atau nama lengkapnya Raden Mas Djonet Dipomenggolo, lahir pada tahun 1815 di Yogyakarta. Ia adalah putra pertama dari Pangeran Diponegoro dan Raden Ayu Maduretno, yang merupakan istri kelima Diponegoro sekaligus putri ketiga Raden Ronggo Prawiradirjo III. Sebagai keturunan langsung dari garis bangsawan Mataram, Pangeran Djonet sejak dini sudah terbiasa berada di lingkaran kekuasaan dan perjuangan.
Sejak usia sepuluh tahun, Djonet bersama adik-adiknya, Pangeran Roub dan Diponegoro Anom, sering mendampingi ayah mereka dalam berbagai pertemuan penting. Pengalaman ini menjadi fondasi pembentukan kepribadiannya. Ia menyaksikan langsung siasat perang, kemenangan, kekalahan, hingga pengkhianatan yang merusak cita-cita perjuangan keluarga.
Masa Muda dan Pelarian
Pada tahun 1830, saat Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang, Djonet yang kala itu berusia 15 tahun turut dibawa dalam perjalanan menuju pengasingan di Manado. Namun, menurut kisah turun-temurun, Djonet berhasil melarikan diri di tengah perjalanan bersama para pengikut setianya. Ia kemudian menetap sementara di Batavia (Jakarta).
Di Batavia, Djonet berlindung di komunitas keturunan prajurit Mataram yang menetap di daerah Matraman. Wilayah ini sebelumnya merupakan basis tentara Mataram di masa penyerangan Sultan Agung ke Batavia pada abad ke-17. Di sini, Djonet mulai membangun kembali jaringan perlawanan dengan merekrut pemuda-pemuda setempat.
Sekitar tahun 1832, Djonet memutuskan pindah ke Bogor, daerah yang lebih aman dari pengawasan ketat Belanda. Di sana, ia mendirikan sebuah perkampungan bernama Kampung Jabaru, singkatan dari Jawa Baru...