JATIMTIMES - Lanjutan pembahasan Raperda Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) antara Panitia Khusus (Pansus) DPRD Banyuwangi dengan tim eksekutif sudah hampir final.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRD Banyuwangi H. M. Ali Mahrus kepada wartawan media ini pada Jumat (11/7/2025). “Beberapa materi perubahan sudah dibahas secara rinci per dinas yang mengajukan perubahan tarif maupun penambahan jenis pungutan pajak baru,” ujar H. M. Ali Mahrus.
Baca Juga : Mas Ibin Dorong Pejabat Eselon IV Jadi Penggerak Reformasi Birokrasi
Sebelumnya Pansus Raperda Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang PDRD yang merupakan gabungan Komisi II dan III DPRD Banyuwangi mengkaji usulan penurunan tarif pajak daerah dalam lanjutan pembahasan Raperda Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang PDRD.
Menurut Politisi PKB tersebut pihaknya mempertanyakan alasan dan argumentasi dari pemerintah daerah atas penyesuaian atau kenaikan dari beberapa sumber pendapatan daerah seperti; Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang telah diberlakukan, penurunan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan khususnya diskotek, tempat karaoke Klub malam dari 50 persen turun menjadi 40 persen.
Selain itu Pajak Air Tanah (PAT) dari 20 persen menjadi 10 persendan batas transaksi maksimal yang dikenakan pajak untuk UMKM.
Lebih lajut dia menungkapkan target penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) selama ini dinilai masih stagnan diangka Rp. 60 miliar. ”Pagu PBB selama ini hanya tercapai dikisaran Rp. 60 miliar, satu sisi pajaknya tidak tercapai disisi lainnya NJOP dinaikkan, padahal NJOP ini sasaranya hanya untuk BPHTP atau jual beli, namun setidaknya ini menjadi acuan kita dalam pembahasan, ” tambah H. Ali Mahrus.
Dia menuturkan kenaikan NJOP di Banyuwangi cukup signifikan, misalnya dari tarif NJOP yang awalnya sebesar Rp. 36 ribu menjadi Rp.336 ribu atau naik 10 kali lipat dari sebelumnya. Kenaikan tersebut menimbulkan dasar yang digunakan dan hitunganya yang digunakan eksekutif. ”Ternyata kenaikan NJOP itu yang digunakan landasan adalah Peraturan Bupati (Perbup) dengan dasar hasil appraisal dengan salah satu perguruan tinggi, namun kenyataan dilapangan banyak keluhan dari masyarakat , ” jelasnya.
Kenaikan NJOP akan berpengaruh pada BPHTP karena perhitungannya berdasarkan NJOP sehingga kenaikan NJOP akan menyebabkan peningkatan tarif BPHTP yang akan dibayarkan.
”Kami sangat prihatin atas keluhan masyarakat terhadap kenaikan NJOP ini, dalam Perda No.1 tahun 2024, sebenarnya telah diatur bahwa penyesuaian NJOP itu dilakukan tiga tahun sekal. Alasan pemerintah daerah menaikkan tarif NJOP 1000 persen ini karena mereka beralasan sudah lama tidak ada penyesuaian NJOP, ini hal yang salah menurut kami,” imbuhnya.
Karena kenaikan dinilai terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat maka DPRD tentu mempunyai kewenangan untuk melakukan evaluasi kenaikan NJOP melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) maupun alat kelengkapan dewan lainnya.”Kita rencanakan untuk memanggil Bupati melalui Bagian Hukum untuk mengavaluasi Perbup yang mengatur kenaikan NJOP ini,” tegasnya.
Baca Juga : Serapan Anggaran Belanja Daerah Pemkot Batu Masih Rendah, Baru 26 Persen hingga Pertengahan Tahun
Terkait dengan usulan penurunan pajak air tanah, menurut H Ali Mahrus, Pansus DPRD Banyuwangi sangat memahami argumen yang disampaikan eksekutif. Selain banyaknya komplain atau keberatan pembayaran dari wajib pajak (penguna air tanah), ada Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur (Jatim) yang mengatur harga dasar air.
Sebagai contoh, untuk penggunaan air tanah antara 500 hingga 1.000 meter kubik dengan tujuan niaga, tarif pajak yang sebelumnya hanya R. 1.050 per meter kubik kini melonjak menjadi Rp. 6.700 per meter kubik. Kenaikan sebesar Rp. 5.650 per meter kubik ini tentu akan berdampak langsung pada biaya produksi bagi pelaku usaha yang mengandalkan air tanah.
”Awalnya kita kurang setuju atas usulan penuruan PAT ini karena selama ini targetnya selalu tercapai kenapa harus diturunkan ternyata ada kenaikan baku air tanah,” jelas H. Ali Mahrus.
Kemudian terkait dengan usulan penurunan pajak tempat hiburan seperti; diskotek, tempat karaoke dan klub malam, Pansus tidak serta merta menerima karena penurunan tarif pajak ini akan memberikan ruang atau celah bagi kelompok-kelompok masyarakat menengah ke bawah untuk masuk. Tempat hiburan kelas atas tersebut seharusnya bersifat private atau hanya bisa dinikmati kalangan berduit.
”Dalam rapat pembahasan tadi ada kesepakatan meskipun belum final akan ada klasifikasi, untuk pajak tempat karaoke keluarga akan dikenakan 40 persen karena target pajaknya tak pernah tercapai namun untuk klub malam dan diskotek diangka 60 persen, sedangkan rate tarif pajak itu kisaran batas minimal 40 persen dan maksimalnya 60 persen,” imbuhnya.
H. Ali Mahrus menambahkan, pihaknya berencana membuka ruang dialog dengan para pelaku usaha selaku wajib pajak. Sehingga kebijakan yang tertuang dalam perubahan Perda PDRD yang dihasilkan mampu mengakomodir dan memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang ada.