JATIMTIMES - Pada simpang sejarah antara Majapahit yang runtuh dan Mataram yang bangkit, terbentang narasi panjang tentang tokoh-tokoh yang menjadi penentu arah zaman. Salah satunya adalah Pangeran Benawa II —sosok aristokrat berdarah raja yang kerap absen dalam panggung utama historiografi Jawa.
Dalam naskah-naskah resmi keraton, nama Benawa II tenggelam di balik kilau tokoh seperti Panembahan Senapati atau Sultan Agung. Namun jejaknya, yang membentang lebih dari tiga dekade dalam struktur kekuasaan lokal Jawa, mencerminkan pergulatan antara kekuatan darah biru, spiritualitas Islam, dan tekanan kekuasaan sentralistik Mataram.
Darah Majapahit dan Napas Wali: Silsilah Agung Benawa II
Baca Juga : Jejak Sunyi Sang Perawi: Imam Al-Bukhari, Cahaya Ilmu yang Diuji dengan Fitnah
Pangeran Benawa II lahir dari trah yang menyatukan dua poros besar dalam sejarah Jawa: Majapahit dan Wali Songo. Ia adalah putra Pangeran Benawa I, sultan ketiga Kesultanan Pajang, dan cucu langsung dari Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir —pendiri Pajang dan simbol transisi kekuasaan dari Demak ke pedalaman Jawa. Jalur ayahnya menyambung ke Ki Ageng Pengging (Raden Kebo Kenanga), penguasa Pengging yang menikah dengan Rara Alit, putri dari Pangeran Gugur, salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Dari pasangan ini lahirlah Mas Karebet alias Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir tumbuh dalam asuhan spiritual para tokoh besar: Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tingkir, dan Ki Ageng Butuh. Pendidikan sufistiknya membentuk karakter kepemimpinannya yang memadukan kekuatan militer dan legitimasi spiritual. Ia kemudian menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana dari Demak dan cucu perempuan Sunan Kalijaga dan Siti Zaenab (putri Syekh Siti Jenar). Dari pernikahan ini lahir Pangeran Benawa I, ayah dari Benawa II.
Dengan demikian, Pangeran Benawa II merupakan cicit Prabu Brawijaya V, cucu Sultan Hadiwijaya, dan buyut spiritual Sunan Kalijaga. Ia adalah simpul darah antara Majapahit, Demak, dan Walisongo.
Jipang Panolan dan Pajang: Dua Panggung Kekuasaan
Setelah ayahnya naik takhta menggantikan Arya Pangiri pada 1586, Benawa II diangkat sebagai Adipati Jipang Panolan. Kawasan ini, yang terletak di tepi Bengawan Solo, merupakan salah satu pusat perdagangan dan spiritualitas penting di wilayah timur Jawa. Selama lima belas tahun, Benawa II membangun basis kekuasaan di sana. Kompleks "Pulo Santren Panolan" menjadi cerminan dari strategi pembentukan elite alim di kalangan bangsawan, menjadikan wilayah itu sebagai kawah candradimuka generasi penerus trah Jaka Tingkir.
Pada 1591, ia dipindahkan ke Pajang untuk menggantikan Pangeran Gagak Baning, adik Panembahan Senapati. Di tengah tekanan hegemoni Mataram, Benawa II mengelola Pajang sebagai kadipaten semi-otonom. Masa kekuasaannya berlangsung hingga 1618—tiga dasawarsa yang nyaris luput dari narasi resmi sejarah Jawa.
Benawa II adalah tokoh langka yang mengelola dua kadipaten besar secara berkelanjutan, dan disebut dalam manuskrip lokal seperti Babad Pajang Kajoran dengan gelar ambigu: Prabu Wijaya, Adipati Jipang, hingga Tumenggung Benowo. Gelar terakhir mencerminkan posisi sosial-politiknya: ia bukan raja, namun lebih dari sekadar adipati biasa.
Dilema Kekuasaan: Hegemoni Mataram dan Strategi Perlawanan
Situasi politik awal abad ke-17 ditandai oleh konsolidasi kekuasaan Mataram. Panembahan Senapati dan penerusnya, Panembahan Hanyakrawati, berupaya memusatkan otoritas dan menundukkan kadipaten-kadipaten warisan Pajang. Pajang, yang sejak awal merupakan pusat ideologi Islam politik, menjadi sasaran utama penaklukan simbolik. Dalam posisi ini, Benawa II memainkan peran rumit: sebagai bagian dari trah Mataram (melalui saudari kandungnya, Ratu Mas Hadi, yang menjadi permaisuri Panembahan Hanyakrawati), sekaligus pemegang identitas mandiri trah Pajang.
Ketegangan memuncak pada 1617. Banyak bangsawan mendesaknya untuk melepaskan Pajang dari hegemoni Sultan Agung (1613–1645), keponakannya sendiri. Hasutan ini bukan hanya lahir dari kekecewaan terhadap sentralisasi kekuasaan Mataram, tetapi juga dari infiltrasi strategi pecah-belah yang dilancarkan VOC dan kekuatan kolonial awal. Di bawah tekanan politik dan spiritual, Benawa II memilih mengangkat senjata. Namun, pasukannya mengalami kekalahan besar.
Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha mencatat bahwa ketegangan bermula dari informasi yang diterima Tumenggung Singaranu mengenai rencana Adipati Pajang menjalin hubungan kekerabatan dengan Tuban. Meski kabar ini dianggap remeh oleh Sultan Agung, friksi dalam lingkaran istana mulai mengemuka. Keturunan Senapati seperti Mandaraka dan para bangsawan eks-Pajang merasa Mataram berlaku sewenang-wenang, meminggirkan otonomi yang dahulu diberikan.
Inisiatif perlawanan justru datang dari dalam: Adipati Mandurareja mengirim surat kepada Adipati Pajang dan menawarkan dukungan. Ia berjanji menyerang Mataram dari belakang. Namun, Benawa II bersikap hati-hati. Ia meminta waktu, menunjukkan adanya keraguan, atau barangkali strategi menunggu momentum.
Titik api konflik tersulut oleh satu insiden yang tampak sepele namun sarat makna simbolik. Tambakbaya, panglima Pajang yang juga dikenal sebagai Ki Ngabei Tambakbaya, memiliki seekor kuda bernama Domba yang tersohor keunggulannya. Saat Raja Mataram memintanya, Tambakbaya menolak dengan nada sinis. Ia lebih rela memberikan istrinya ketimbang kudanya kepada Mataram. Ia bahkan menyatakan kesanggupan bertahan dua bulan jika perang pecah.
Sikap keras kepala Tambakbaya menjadi katalis pemberontakan. Amarah Sultan Agung meledak, dan perintah penyerangan dijatuhkan. Pasukan Mataram dipimpin oleh Adipati Mandurareja, Pangeran Purbaya, Pangeran Juminah, Adipati Sumedang, dan Demang Tanpa Nangkil. Sementara itu, pihak Pajang menempatkan Ki Demang Jayabaya sebagai pemimpin, dengan Tambakbaya dan Demang Jagaraga di sayap kanan.
Pertempuran pun meletus. Tambakbaya sempat melukai Adipati Sumedang, namun pasukan Pajang akhirnya terdesak. Mandurareja tak menepati janjinya. Pangeran Benawa II dan para pengikutnya melarikan diri lewat Sungai Bengawan Solo. Kuda Domba pun tertangkap. Pajang porak-poranda.
Meinsma (1874) mencatat bahwa Tambakbaya melarikan diri ke Surabaya dan diterima dengan penuh keraguan karena reputasinya yang "besar mulut." Namun setelah diketahui memiliki kekebalan terhadap peluru emas, ia justru diangkat sebagai menantu dan diberi gelar Adipati Sanjata. Ia menikah dengan putri Raja Surabaya, Panembahan Jaya Langkara, dan menjadi ipar Pangeran Pekik. Surabaya pun mempercayakan urusan militer padanya.
Baca Juga : Pakubuwono X dan Jejak Modernisasi Surakarta: Air Bersih, Listrik, dan Radio
Sumber Belanda seperti laporan Cornelis van Maseyck (1618) menggambarkan dampak besar perang ini. Setelah Pajang ditaklukkan, seluruh penduduk desa sekitar diangkut ke Mataram untuk menjadi tukang batu. Ini menjelaskan mengapa wilayah Pajang kosong dan banyak desa hancur. Jan Pieterszoon Coen mencatat bahwa perang menyebabkan krisis pangan parah di Mataram. Harga beras melonjak drastis, dan banyak orang meninggal karena kelaparan.
Babad Sangkala mencatat tahun 1618 sebagai momen kekalahan Pajang. Raden Sida Wini, yang diyakini sebagai Benawa II, disebut memerintah sejak 1591. Ia adalah cucu Sultan Hadiwijaya, pewaris sah Pajang. Status inilah yang memberinya legitimasi untuk memberontak terhadap Mataram. Dalam sudut pandang historiografi, perlawanan Benawa II mencerminkan resistensi aristokrasi lama terhadap kekuasaan baru yang represif.
Wilayah Pajang sendiri, menurut Valentijn, dulunya adalah pusat kerajaan besar. Namun setelah dihancurkan Sultan Agung, kawasan itu berubah menjadi hutan bernama Wana Karta. Kelak, di bekas wilayah ini didirikan Keraton Kartasura Hadiningrat oleh Amangkurat II pada 1680.
Dengan lenyapnya Pajang dan menghilangnya Benawa II dari panggung sejarah, berakhir pula satu bab penting dalam kisah kekuasaan Jawa. Namun perlawanan yang dipimpinnya, bersama Tambakbaya, menjadi catatan penting akan eksistensi kekuatan-kekuatan aristokratik yang tak sepenuhnya tunduk pada sentralisasi kekuasaan Mataram.
Dalam konteks zaman, pemberontakan Pajang bukan semata konflik personal, tetapi juga pertarungan ideologi dan legitimasi sejarah. Pajang, dengan warisan Majapahit dan Demak, masih dianggap memiliki hak simbolik atas tanah Jawa. Mataram, meski kuat secara militer, belum sepenuhnya berhasil menghapus ingatan itu.
Menyepi dan Laku Sunyi: Jalan Terakhir Sang Pangeran
Kekalahan militer tersebut menandai kehancuran sisa-sisa otonomi Pajang. Wilayah itu berubah menjadi hutan wana kerta—tanah sunyi yang kehilangan peran politisnya. Status Benawa II direduksi, dan ia tersingkir dari arena kekuasaan. Pilihannya bukan menyerah pada dominasi Mataram, tetapi mundur secara spiritual: menyepi ke wilayah timur Jawa, menjauh dari hiruk-pikuk politik, dan kembali menekuni laku tapa warisan leluhurnya.
Setelah kekalahan di Pajang, Benawa II tercatat berlabuh ke Giri, sebuah pusat spiritual Islam peninggalan Walisongo yang sejak abad ke-16 menjadi tempat berlindung bagi para bangsawan dan ulama yang tersingkir dari pusaran kekuasaan. Surat Antonio Vissozo tertanggal 10 September 1619 menyebut bahwa Raja Pajang bersama Raja Tuban berada di Giri ketika Sultan Agung bermaksud menuntut penyerahan mereka. Dari Giri, arah pelarian Benawa II kemungkinan besar menyusuri Sungai Solo ke hilir menuju Surabaya—sebuah kota pelabuhan strategis yang kala itu menjadi benteng terakhir bagi kekuatan politik pesisir yang masih bertahan dari penetrasi Mataram.
Dalam tafsir historiografi lokal, pelarian ini bukan sekadar bentuk kekalahan militer, tetapi manifestasi dari penolakan spiritual terhadap kuasa duniawi yang berlandaskan ekspansi kekerasan. Benawa II dipandang sebagai bagian dari aristokrasi spiritual yang kalah secara politik, tetapi tetap bertahan secara simbolik. Ia menjelma sebagai representasi golongan bangsawan suci—seorang 'raja tanpa mahkota'—yang mewarisi martabat Pajang melalui jalur spiritual, bukan melalui dominasi kekuasaan.
Historiografi yang Diam: Lenyapnya Jejak dari Tembang dan Babad
Tidak seperti Panembahan Senapati atau Sultan Agung, nama Benawa II nyaris tidak tercantum dalam babad utama. Sejarah memilih diam. Tidak ada pujangga keraton yang mencatat prestasinya, tidak ada tembang macapat yang melantunkannya. Padahal, masa pengabdiannya selama 32 tahun jauh melebihi sejumlah pemimpin lain yang lebih terkenal.
Mengapa ia dilupakan? Karena ia mewakili identitas yang tidak cocok dengan narasi hegemonik. Ia bukan pembaru seperti Senapati, bukan penakluk seperti Sultan Agung, dan bukan pendiri dinasti. Ia adalah pewaris masa lalu—seorang aristokrat yang berdiri di antara dunia lama dan dunia baru, dan karena itulah ia harus dihapus agar narasi pusat dapat berlanjut tanpa gangguan.
Pangeran Benawa II bukan hanya korban dari perebutan kekuasaan, tetapi juga korban dari konstruksi historiografi Jawa yang menempatkan kekuasaan pusat sebagai satu-satunya sumber legitimasi sejarah. Dalam dirinya mengalir darah para raja Majapahit, spiritualitas para wali, dan warisan Demak yang Islamis. Ia adalah representasi dari perlawanan aristokratik terhadap narasi tunggal kekuasaan.
Hari ini, namanya memang tidak tercatat dalam buku pelajaran. Namun di kalangan masyarakat lokal, terutama di bekas wilayah kekuasaannya di Panolan dan Pajang, namanya tetap disebut dalam bisik doa dan narasi lisan. Ia adalah pangeran yang kalah, tetapi tidak hilang. Dalam sunyi sejarah, Benawa II berdiri sebagai simbol kekuatan tak terlihat yang menolak tunduk pada kekuasaan yang tidak adil.
Sejarah boleh diam, tetapi rakyat tidak pernah benar-benar lupa.