JATIMTIMES - Dalam sejarah Islam, tak banyak nama yang bergema hingga lintas abad seperti sosok Imam Al-Bukhari. Ia bukan hanya seorang ahli hadis, tetapi juga pelita ilmu yang menerangi zaman.
Namun, di balik ketenarannya sebagai penyusun Shahih al-Bukhari, kitab hadis paling terpercaya setelah Al-Quran, tersimpan perjalanan hidup yang penuh luka, pengabdian, dan kesunyian menjelang ajal.
Baca Juga : Bediding Sampai Kapan? Ini Kata BMKG
Muhammad bin Ismail, yang kemudian dikenal sebagai Imam Al-Bukhari, lahir di Bukhara (kota di Uzbekistan) pada 13 Syawal 194 H atau 19 Juli 810 M. Sejak awal, takdir membentuknya dalam ujian: ayahnya wafat saat ia masih kanak-kanak, menjadikannya yatim sejak dini. Ibunya, sosok perempuan tangguh, membesarkannya seorang diri.
Ujian lain datang ketika ia kehilangan penglihatan di usia belia. Namun, mukjizat doa seorang ibu tak pernah sia-sia. Penglihatannya kembali dan bersama itu, semangat menuntut ilmu Bukhari bangkit, menyala, tak terbendung.
Sejak kecil, ia telah menghafal ribuan hadis. Di usia remaja, ia sudah khatam menelaah kitab-kitab besar. Otaknya menyerap ilmu dengan daya ingat luar biasa. Saat anak-anak seusianya bermain, Bukhari muda sibuk memburu ilmu dari para perawi ternama.
Rasa dahaga terhadap ilmu membawa Imam Bukhari menapaki jejak ilmu ke berbagai kota besar Islam. Ia mengembara ke Makkah, Madinah, Baghdad, Mesir, hingga Syam untuk mencari sanad yang kuat, mengecek keabsahan riwayat, menyaring ribuan hadis dengan ketelitian nyaris sempurna.
Perjalanan panjang itu membuahkan karya fenomenal: Shahih al-Bukhari. Ia menyusun kitab tersebut selama 16 tahun, memilih sekitar 7.000 hadis dari lebih dari 600.000 yang ia hafal. Metodologi yang ia pakai menjadi standar emas dalam kajian hadis hingga kini.
Namun, di balik kejayaan karyanya, awan mendung mulai menggantung di ujung kehidupan sang imam. Sekembalinya ke Bukhara pada masa senja, sekitar tahun 250 H, Imam Bukhari justru disambut dengan prasangka dan kecemburuan.
Awalnya Gubernur setempat Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli meminta sang imam untuk menjadi pengajar pribadi anak-anaknya di istana. Imam Bukhari, yang menjunjung tinggi keterbukaan ilmu, menolak halus. Ia berprinsip bahwa majelis ilmu bukan hak eksklusif. Setiap orang berhak hadir tanpa sekat status.
Penolakan itu berubah jadi bara. Sang gubernur menyebar fitnah, menggiring opini masyarakat bahwa Imam Bukhari telah menyimpang. Tuduhan tak berdasar itu mengguncang reputasinya. Ia pun terusir dari kota kelahirannya sendiri.
Baca Juga : Kalender Jawa Jumat Wage, 11 Juli 2025: Karakter, Rezeki, hingga Jodoh
Dengan tenang, Imam Bukhari memilih menyepi di Khartank, desa kecil di antara Samarkand dan Bukhara. Bersama keluarganya dan murid-murid setia, ia menghabiskan hari-hari terakhir dalam kesederhanaan dan doa.
“Semoga Allah lapangkan pertemuanku dengan-Nya,” bisiknya suatu waktu kepada muridnya. Ucapan itu bukan keluhan, melainkan kerinduan akan pertemuan dengan Tuhan setelah penat dunia yang membekas luka.
Malam Idul Fitri, 1 Syawal 256 H atau 31 Agustus 870 M, menjadi malam terakhir Imam Bukhari di dunia. Setelah mengeluh sakit dan memanjatkan doa penuh keikhlasan, ruhnya terangkat dalam keheningan malam yang suci.
“Ya Allah, dunia telah menyempit karena fitnahnya. Maka jemputlah aku kembali pada-Mu,” demikian doanya.
Imam Bukhari wafat dalam usia 62 tahun dan dimakamkan di Khartank. Tak ada arak-arakan agung, tak ada gelar resmi yang disematkan. Tapi sejarah telah menulis namanya dengan tinta abadi. Kitabnya tetap dibaca, ilmunya terus diwariskan, dan kisah hidupnya menjadi pelajaran tentang keteguhan, integritas, dan kesabaran dalam menapaki jalan ilmu.