JATIMTIMES - Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang memilih menikah di luar negeri, baik karena alasan pekerjaan, studi, maupun cinta lintas negara. Namun pertanyaannya, apakah pernikahan yang sah secara hukum negara asing bisa langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia?
Menjawab hal ini, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Malang Achmad Shampton, SHI MAg menegaskan bahwa pencatatan nikah di KUA tak sekadar proses administratif, tetapi harus sejalan dengan hukum agama Islam.
Baca Juga : Profil Manisa BBSK, Klub Baru Megawati Hangestri di Turki
"KUA hanya dapat mencatat pernikahan yang sah menurut syariat Islam, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 dan UU Nomor 1 Tahun 1974. Jika pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat sah menurut agama, meski telah sah secara sipil di luar negeri, maka tidak bisa langsung dicatat di KUA," jelasnya.
Mengacu pada PMA 30/2024 Pasal 10, pernikahan dalam Islam hanya dianggap sah jika memenuhi lima rukun, yakni calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul.
Khusus dalam konteks pernikahan di luar negeri, seperti di Washington DC., hukum setempat memperbolehkan pasangan menikah hanya dengan mengucapkan janji di hadapan petugas catatan sipil tanpa wali maupun saksi. Praktik ini sah secara hukum di sana, namun tidak memenuhi syarat keabsahan menurut hukum Islam.
"Pernikahan semacam itu tidak bisa langsung diakui oleh KUA, karena syarat sah pernikahan menurut Islam, seperti kehadiran wali dan dua saksi, tidak terpenuhi," tegas Shampton.
Bagi pasangan WNI muslim yang menikah di luar negeri tanpa memenuhi rukun Islam, masih ada jalan untuk mendapatkan pengakuan resmi dari KUA. Asalkan pasangan tersebut belum memiliki anak, maka mereka dapat melangsungkan akad nikah ulang di Indonesia.
KUA dapat membantu proses ini dengan menghadirkan wali nikah dan dua saksi sah. Setelah pernikahan dianggap sah secara agama, pencatatan bisa dilakukan sebagai “nikah luar negeri” dengan melampirkan dokumen administratif seperti sertifikat pernikahan dari negara asal dan surat keterangan dari KBRI.
"Setelah seluruh unsur sah secara agama terpenuhi, maka kami di KUA dapat mencatat pernikahan tersebut secara resmi," kata Shampton.
Baca Juga : Jejak Sunan Ampel: Dari Champa ke Majapahit, Menyebar Islam Lewat Pesantren dan Perkawinan
Namun bila pasangan sudah memiliki anak dari pernikahan luar negeri tersebut, maka langkah yang harus diambil berbeda. Mereka disarankan untuk mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama guna mendapatkan pengesahan pernikahan.
"Jika disetujui, pernikahan dianggap sah. Namun, bila pengadilan memerintahkan pernikahan ulang, maka pencatatan baru bisa dilakukan setelah prosesi itu berlangsung," jelasnya.
Setelah itu, orang tua bisa mengajukan penetapan status anak. Jika pengadilan menolak penetapan anak, maka secara hukum Islam, anak tersebut hanya bisa dinasabkan kepada ibunya. Dalam akta kelahiran, anak akan tercatat sebagai anak dari sang ibu.
Fenomena pernikahan lintas negara memang semakin umum. Namun bagi umat Islam, sah secara negara belum tentu berarti sah secara agama. Maka penting bagi pasangan yang menikah di luar negeri untuk memahami aturan ini agar pernikahan mereka dapat diakui secara utuh, baik secara administratif maupun spiritual.
“Ini bukan semata-mata soal legalitas, tapi juga menyangkut keberkahan dan ketenangan dalam rumah tangga,” pungkasnya.