JATIMTIMES - Pada awal abad ke-17, ketika bayang-bayang kekuasaan Kesultanan Mataram mulai menjangkau seluruh penjuru Tanah Jawa, sebuah suara perlawanan muncul dari reruntuhan kejayaan lama: Pajang.
Dari wilayah yang pernah menjadi pusat kekuasaan Pangeran Benawa, putranya —yang dikenal sebagai Raden Sida Wini atau Pangeran Benawa II— bangkit menentang arus sejarah yang dipaksakan oleh Panembahan Hanyakrakusuma, sosok yang kelak dikenang sebagai Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Baca Juga : PLN Respons Insiden Pemeliharaan Jaringan di Singosari, Sebut Arus Balik Genset Pelanggan Jadi Penyebab
Pemberontakan yang dipimpin oleh Benawa II pada tahun 1617 bukan hanya insiden militer biasa. Ia adalah manifestasi dendam sejarah, konflik legitimasi kekuasaan, dan benturan dua visi politik: otonomi lama yang diwariskan dari Pajang melawan sentralisasi kekuasaan yang dibangun oleh Mataram.
Dinasti yang Dilupakan: Jejak Benawa II
Raden Sida Wini atau Pangeran Benawa II merupakan tokoh keturunan langsung dari Raja Pajang terakhir yang berdaulat, Pangeran Benawa. Sejak wafatnya Pangeran Benawa pada akhir abad ke-16, kekuasaan Pajang memang telah digantikan oleh Mataram yang dipimpin Panembahan Senapati, namun identitas dan warisan politik Pajang tidak serta-merta lenyap. Di antara keturunan bangsawan Pajang, terdapat keyakinan bahwa hak mereka atas kekuasaan masih sahih.
Setelah Mataram mengukuhkan hegemoninya, banyak adipati yang berasal dari garis keturunan Pajang merasa terpinggirkan. Kepada mereka, para raja Mataram terdahulu memberikan otonomi terbatas. Namun, otonomi itu perlahan dicabut oleh Sultan Agung demi konsolidasi kekuasaan pusat. Inilah yang menjadi bara api pemberontakan.
Koalisi Oposisi: Mandurareja dan Surat Pemberontakan
Pemberontakan ini tidak berdiri sendiri. Dalam lingkaran kekuasaan Mataram sendiri, terdapat faksi yang tak puas. Adipati Mandaraka, keturunan Senapati, dan sejumlah bangsawan lama bersimpati kepada Benawa II. Inisiatif datang dari Mandurareja yang diam-diam mengirim surat kepada Benawa II, menawarkan kerjasama untuk menggulingkan kekuasaan Sultan Agung. Ia bahkan menjanjikan akan menyerang dari belakang saat pasukan Mataram bertempur di garis depan.
Benawa II tidak langsung menyambut ajakan itu. Ia meminta Mandurareja bersabar, menunjukkan adanya keraguan atau mungkin kalkulasi strategi. Namun, waktu tidak berpihak padanya. Mataram lebih dulu menyerang.
Insiden Tambakbaya dan Awal Peperangan
Pecahnya perang diawali dari insiden kecil namun simbolik. Seorang abdi Pajang, Ngabei Tambakbaya, memiliki seekor kuda unggulan bernama Domba. Ketika diminta menyerahkannya kepada Sultan Agung, Tambakbaya menolak dengan jawaban penuh tantangan. Ia lebih rela memberikan istrinya daripada kudanya. Ia bahkan menyatakan sanggup bertahan dua bulan jika harus melawan Mataram.
Ucapan itu menjadi bahan laporan ke istana. Amarah Sultan Agung meledak. Perintah dikeluarkan: serang Pajang, tawan rakyatnya, dan bunuh yang melawan. Pasukan dikirim. Peperangan pun dimulai.
Pertempuran di Semanggi: Pengkhianatan dan Kekalahan
Barisan Pajang diorganisasi di bawah pimpinan Ki Demang Jayabaya, dengan Aria Tambakbaya sebagai panglima. Mandurareja, yang awalnya menjanjikan pengkhianatan terhadap Mataram, justru memimpin serangan atas nama Sultan Agung. Kepercayaan Benawa II kepada Mandurareja hancur. Pertempuran di Semanggi menjadi titik balik. Tambakbaya mundur, memaki Mandurareja karena tidak menepati janji.
Benawa II melarikan diri bersama para panglima. Mereka menyeberangi sungai dan bergerak ke arah hilir. Kuda Domba ditangkap, menjadi trofi simbolis kemenangan Mataram. Dari sini, Benawa II menghilang dari panggung Jawa Tengah, tapi jejaknya muncul kembali di arah timur.
Tambakbaya ke Surabaya: Lahirnya Adipati Sanjata
Ki Tambakbaya, panglima setia Pajang, melarikan diri ke Surabaya usai kekalahan pasukan Pajang oleh Mataram. Mula-mula ia diterima dengan penuh keraguan karena dikenal keras kepala dan besar mulut. Namun, setelah diketahui memiliki kesaktian luar biasa—kebal terhadap peluru emas—ia justru diperlakukan dengan hormat. Ia dinikahkan dengan putri Raja Surabaya, Panembahan Jaya Langkara, yang merupakan ayah Pangeran Pekik, tokoh penting yang kelak menorehkan sejarah besar bagi Mataram. Perkawinan ini mempererat simpul politik antara eksponen Pajang dan istana Surabaya. Tambakbaya kemudian diangkat sebagai Adipati Sanjata dan dipercaya memimpin pasukan Surabaya.
Sejak saat itu, perlawanan terhadap Mataram terkoordinasi dari arah timur. Namun, kekuatan Surabaya dan sekutunya belum cukup kuat untuk menandingi hegemoni Mataram yang telah kokoh.
Laporan Belanda dan Krisis Sosial Pascaperang
Sumber Belanda memperkuat gambaran kehancuran pascaperang. Cornelis van Maseyck, utusan Gubernur Jenderal VOC, melaporkan pada Juni 1618 bahwa desa-desa di sekitar Pajang kosong melompong, warganya dipindah paksa ke Mataram untuk menjadi tukang batu dalam proyek pembangunan istana.
Jan Pieterszoon Coen dalam suratnya tanggal 24 Juni dan 4 September 1618 mencatat lonjakan harga beras di Mataram akibat perang. Satu gantang beras mencapai 1/2 rial, dan banyak penduduk tewas karena kelaparan. Sultan Agung bahkan melarang ekspor beras demi stabilisasi dalam negeri.
Pemberontakan Pajang berdampak sistemik. Ia bukan hanya mengguncang legitimasi Mataram, tetapi juga memperparah krisis ekonomi, kelaparan, dan ketidakstabilan sosial di pusat kekuasaan.
Benawa II di Pengasingan: Jejak Terakhir
Sumber Antonio Vissozo pada 10 September 1619 menyebut bahwa Raja Pajang berada di Giri, bersama Raja Tuban. Giri dan Surabaya berdekatan, sehingga besar kemungkinan Pangeran Benawa II mencari perlindungan di wilayah para wali yang telah lama menjadi poros spiritual dan kultural alternatif bagi Mataram.
Dari catatan Babad Sangkala, Benawa II disebut berpindah ke Giripura. Perjalanan pelarian dari Semanggi ke Giri, melewati sungai Solo, mencerminkan sisa-sisa perlawanan elite lama yang memudar di hadapan gelombang sentralisasi Mataram.
Baca Juga : Nabi Tanpa Umat: Kisah Heroik Sam’un AS yang Jarang Diketahui
Seiring waktu, wilayah Pajang yang pernah jaya luluh lantak oleh kekuatan Mataram. Menurut Hageman (1852), Sultan Agung menghancurkan pusat kekuasaan Pajang dan mengubahnya menjadi kawasan hutan yang kelak dikenal dengan nama Wana Karta. Di kemudian hari, hutan ini menjadi lokasi pendirian keraton baru oleh Sunan Amangkurat II, yang menjadikannya pusat pemerintahan Mataram Islam setelah jatuhnya Keraton Plered akibat serbuan pasukan Trunajaya. Pada 11 September 1680, di atas puing-puing sejarah lama itu, berdirilah Keraton Kartasura Hadiningrat. Nama Wanakerta pun berganti menjadi Kartasura, yang berarti “hutan kemakmuran” atau “kemakmuran yang berani.”
Lengsernya Pangeran Benawa II menandai berakhirnya babak terakhir kekuasaan Pajang dalam sejarah politik Jawa. Namun, sosoknya tetap hidup dalam ingatan kolektif sebagai simbol perlawanan aristokratik terhadap hegemoni baru yang dibangun oleh Mataram.Secara historiografis, pemberontakan ini mencerminkan kegagalan proses transisi kekuasaan yang damai di Jawa. Ia mengungkap retaknya jaringan elite lama dan munculnya kekuasaan baru yang cenderung militeristik dan tersentralisasi. Ideologi lama—yang lebih cair, berbasis patronase, dan spiritualitas wali—digantikan oleh kekuasaan absolutis yang lebih rasional dan struktural.
Benawa II, meski kalah, mewakili narasi alternatif dalam sejarah Jawa. Ia tidak hanya tokoh yang kalah dalam militer, tetapi juga simbol keberlanjutan identitas politik yang terpinggirkan. Pajang memang menjadi hutan, tetapi ingatan atasnya tetap hidup di antara reruntuhan bata dan mitos rakyat.
Pangeran Benawa II: Pewaris Pengging, Bayang-Bayang Mataram
Dalam arus besar sejarah Jawa pasca-Majapahit, nama-nama seperti Sultan Hadiwijaya, Arya Penangsang, hingga Sultan Agung kerap menjadi tumpuan narasi utama. Di tengah pusaran tokoh besar ini, jejak Pangeran Benawa II—atau Tumenggung Benowo—tenggelam dalam kelamnya historiografi kekuasaan. Padahal, Benawa II bukan hanya penerus darah raja, tetapi juga aktor penting dalam masa transisi antara kemunduran Pajang dan kebangkitan Mataram. Ia adalah simbol kekuatan aristokratik yang mencoba bertahan di antara badai ideologi, politik dinasti, dan intrik kolonialisme dini.
Pangeran Benawa II, yang pada masa mudanya dikenal sebagai Raden Sida Wini, merupakan putra dari Pangeran Benawa I, Sultan ketiga Kesultanan Pajang. Ia sekaligus cucu langsung dari Sultan Hadiwijaya—lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir—pendiri Kerajaan Pajang, pengusung ideologi Islam politik di Jawa tengah abad ke-16, dan tokoh utama dalam penyatuan warisan Demak dan ekspansi Islam ke pedalaman Jawa.
Secara garis keturunan (nasab), Pangeran Benawa II menempati posisi strategis sebagai pewaris sah dari trah kerajaan besar, baik melalui jalur ayah maupun ibunya. Dari pihak ayah, ia merupakan cicit dari Raden Kebo Kenanga, penguasa wilayah Pengging, yang menikah dengan Rara Alit, putri dari Pangeran Gugur—seorang putra Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Dari pasangan inilah lahir Mas Karebet, yang kelak dikenal sebagai Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya Hing Pajang, pendiri Kerajaan Pajang dan simbol transisi kekuasaan dari Demak ke pedalaman Jawa.
Mas Karebet kemudian menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana dan cucu perempuan Sunan Kalijaga dan Siti Zaenab (putri Syekh Siti Jenar). Dari pernikahan ini, lahirlah Pangeran Benawa I, yang naik takhta sebagai Sultan Pajang ketiga dengan gelar Sultan Prabuwijaya. Dari Pangeran Benawa I inilah lahir Pangeran Benawa II, yang semasa mudanya dikenal dengan nama Raden Sida Wini . Dengan demikian, darah Dinasti Brawijaya dan spiritualitas Walisongo, terutama dari jalur Sunan Kalijaga, mengalir kuat dalam tubuhnya—menjadikannya sebagai figur yang menyatukan dua kekuatan utama peradaban Jawa: kekuasaan Majapahit dan kebatinan Islam.
Dari sisi maternal, trah Benawa II semakin kuat. Pernikahan Sultan Hadiwijaya dengan Ratu Mas Cempaka tidak hanya memperkuat posisi politik Pajang di mata elite keagamaan, tetapi juga menghubungkan langsung silsilah Pajang dengan warisan wali. Hubungan ini menciptakan legitimasi spiritual sekaligus politik dalam struktur kekuasaan Jawa abad ke-16 dan ke-17.
Dalam lingkup keluarga, Pangeran Benawa II memiliki ikatan erat dengan tokoh-tokoh kunci era Mataram. Ayahandanya, Pangeran Benawa I, memiliki beberapa anak utama, yakni Pangeran Mas yang menjabat sebagai Adipati di Pajang; Pangeran Sida Wini—yakni Pangeran Benawa II sendiri; serta Pangeran Kaputrah yang juga berkedudukan di Pajang. Selain itu, saudari kandung Benawa II, yakni Kanjeng Ratu Mas Hadi, menikah dengan Panembahan Hanyakrawati, raja Mataram kedua, dan menjadi ibu dari Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja terbesar Mataram.
Dengan silsilah yang demikian lengkap dan kuat, Pangeran Benawa II bukan hanya bagian dari elite kekuasaan masa itu, tetapi juga simpul penghubung antara tiga poros utama sejarah Jawa: Majapahit, Demak, dan Mataram. Ia adalah pangeran berdarah raja, cucu pendiri kerajaan, dan paman dari seorang penguasa besar, yang posisinya sangat menentukan dalam kontestasi politik dan spiritual Jawa awal abad ke-17.
Dengan demikian, Pangeran Benawa II adalah paman dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram, sekaligus bagian dari trah darah biru yang menyatukan empat warisan utama: Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram.
Kedudukan genealogisnya yang unik menjadikan Pangeran Benawa II sebagai figur aristokrat yang tidak hanya memegang otoritas politik, tetapi juga otoritas spiritual dan simbolis. Dalam berbagai manuskrip lokal seperti Babad Pajang Kajoran dan catatan silsilah Panolan, ia disebut dengan berbagai nama dan gelar: Adipati Jipang Ing Panolan, Prabu Wijaya, hingga Tumenggung Benowo. Gelar terakhir ini mencerminkan ambiguitas perannya: ia bukan raja, namun statusnya melampaui seorang adipati biasa. Ia adalah “Tumenggung berdarah Raja”—satu-satunya bangsawan tinggi yang mengelola dua kadipaten besar: Jipang dan Pajang, selama lebih dari tiga dekade (1586–1618).
Setelah ayahandanya naik takhta menggantikan Arya Pangiri pada 1586, Benawa II dipercaya memimpin Kadipaten Jipang Ing Panolan. Di wilayah yang berada di tepi Bengawan Solo ini, ia membangun basis kekuasaan selama 15 tahun (1586–1591), menjadikannya pusat perdagangan dan pendidikan spiritual. Kompleks “Pulo Santren Panolan” menjadi simbol pencerahan elite lokal. Di sinilah, anak-anaknya dididik menjadi bangsawan alim, dan Panolan menjelma “kawah candradimuka” trah Jaka Tingkir.
Pada 1591, ia naik menjadi Adipati Pajang, menggantikan Pangeran Gagak Baning, adik Panembahan Senapati. Masa kekuasaannya di Pajang bertahan hingga 1618—hampir tiga dekade yang tak tercatat secara layak dalam sejarah resmi. Di masa itu, Pajang berada dalam posisi sebagai kerajaan fasal (vassal state) di bawah hegemoni Mataram. Namun di balik status subordinatif ini, Benawa II justru memperkuat otonomi dan identitas Pajang sebagai entitas bersejarah yang berakar dari kejayaan Jaka Tingkir.
Ketegangan dengan Mataram memuncak pada 1617. Banyak kalangan bangsawan menghasut agar Pajang memisahkan diri dari kekuasaan Sultan Agung (1613–1645), keponakan Benawa II dari jalur ibunya, Ratu Mas Hadi. Hasutan politik diperparah oleh strategi devide et impera Hindia Belanda, yang mulai menancapkan pengaruhnya dalam politik dinasti lokal. Pertempuran tak terhindarkan: Pangeran Benawa II memimpin pasukan menyerang Mataram, namun justru menghadapi kekalahan besar.
Kekalahan ini menandai titik balik nasib Pajang, yang semula berstatus sebagai kerajaan bawahan Mataram, berubah menjadi wilayah periferal tak berdaulat—sebuah wana kerta yang sunyi dari pusat kuasa. Status politiknya direduksi secara drastis, dan Pangeran Benawa II—yang selama ini dipandang sebagai “pangeran potensial”—tersingkir dari panggung kekuasaan. Ia dikisahkan memilih jalan sunyi: mengundurkan diri dari hiruk-pikuk politik, menyepi ke wilayah timur Jawa, dan kembali menekuni laku pengabdian spiritual yang selama ini menjadi napas utama warisan keluarganya.
Riwayat panjang Benawa II, dengan masa pengabdian 32 tahun sebagai pemimpin Jipang dan Pajang, ironisnya dikubur dalam diam sejarah. Tidak seperti pamannya, Sutawijaya (Panembahan Senopati), atau keponakannya, Sultan Agung, nama Benawa II jarang muncul dalam babad utama. Sejarah resmi memilih diam—diam yang menyisakan luka historiografi. Tidak ada pujangga kraton yang mencatat prestasinya, tidak ada tembang macapat yang melantunkannya.