JATIMTIMES - Fraksi-fraksi di DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) ramai-ramai menyoroti tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan antarwilayah di Jatim. Hal ini tertuang dalam pandangan akhir fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jatim 2025-2029.
Juru bicara (jubir) Fraksi PDIP Yordan M Batara-Goa berpandangan bahwa RPJMD bukan sekadar dokumen perencanaan lima tahunan. Melainkan instrumen politik kebijakan daerah yang sangat menentukan arah prioritas pembangunan.
Baca Juga : Sopir Angkot Khawatir Kalah Bersaing, Wali Kota Batu Pastikan Operasional Trans Jatim Tak Saingi Angkot
Ia menjelaskan, RPJMD memuat proyeksi fiskal, target indikator makro sosial ekonomi, serta program prioritas yang akan membentuk fondasi kesejahteraan rakyat dan daya saing daerah. Karena itu, menurutnya penting bagi seluruh fraksi di DPRD untuk memastikan dokumen tersebut benar-benar menjawab persoalan nyata rakyat, bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif.
"Terlebih, jika merujuk data BPS Jawa Timur Maret 2024, masih terdapat 9,79 persen penduduk miskin atau setara 3,98 juta jiwa, di mana ketimpangan antarwilayah juga masih cukup tajam dengan rasio gini sebesar 0,375. Angka yang di atas rerata nasional," ungkapnya.
Dikatakannya, dalam hal percepatan pengurangan kemiskinan, Pansus RPJMD sejalan dengan Fraksi PDIP yang sejak awal menyoroti kemiskinan ekstrem di kawasan Madura, Probolinggo, Tuban, dan Ngawi. Data BPS Jatim Maret 2024 mencatat angka kemiskinan pedesaan mencapai 13,12 persen, jauh di atas rerata provinsi yang hanya 10,13 persen.
"Karena itu, Pansus merekomendasikan adanya kebijakan afirmasi spasial berbasis wilayah, ditopang dengan sistem perlindungan sosial adaptif dan data terpadu. Fraksi PDIP menilai langkah ini sangat penting sebagai koreksi atas kebijakan sektoral yang selama ini masih abai terhadap disparitas spasial," urainya.
Yordan menambahkan, Fraksi PDIP mengapresiasi rekomendasi Pansus agar penganggaran berbasis money follow program diterapkan secara konsisten. Selama ini, penganggaran daerah sering kali lebih menekankan pemerataan administratif antardaerah ketimbang alokasi berdasarkan dampak prioritas program.
"Dengan menerapkan prinsip ini, belanja daerah akan lebih terarah pada program strategis yang berdampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan dan ketimpangan wilayah. Sikap ini juga sejalan dengan ketentuan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah," tuturnya.
Sementara itu, jubir Fraksi PKB DPRD Jatim Abdullah Muhdi juga menyoroti hal serupa. "Kami menyoroti bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur masih tinggi, utamanya di kawasan Madura, Probolinggo, Tuban, dan Ngawi," ujarnya.
Abdullah Muhdi menegaskan, Fraksi PKB mendorong kebijakan afirmatif yang lebih tajam, terfokus, dan berdampak nyata untuk menurunkan angka kemiskinan, melalui realokasi anggaran program yang kurang berdampak menjadi dana strategis percepatan pembangunan manusia.
Selain itu, ia menambahkan, program Jatim Akses yang bertujuan membuka konektivitas antar wilayah harus dirumuskan ulang secara substantif. Bukan semata menambah armada atau membangun jalan.
"Fraksi PKB mendorong agar investasi, industri, dan UMKM tumbuh merata hingga ke wilayah Mataraman, Madura, Tapal Kuda, dan Pantura, sebagai bentuk konkret distribusi kue pembangunan," tandasnya.
Adapun jubir Fraksi PKS DPRD Jatim Agus Cahyono turut menyoroti indikator kinerja utama (IKU) ketimpangan antar wilayah. Fraksi PKS berpendapat, Pemprov Jatim harus memiliki formula lain yang bisa menjadi indikator pengganti indeks Theil, beserta jalan keluar untuk memecahkan ketimpangan antarwilayah/daerah khususnya yang berkaitan dengan ketimpangan pendapatan, ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan dan ketimpangan terhadap akses infrastruktur.
Baca Juga : Sertijab Dirreskrimum dan Kapolres, Kapolda Jatim Tegaskan Profesionalisme dan Sinergi Jadi Kunci
"RPJMD dan RKPD harus bisa menjawab solusi atas ketimpangan tersebut yang tidak hanya berupa program kerja prioritas Jatim Akses saja, namun juga berkolaborasi dengan Pemerintah Pusat dan BUMN/swasta agar berinvestasi di bidang pemenuhan layanan infrastruktur antarwilayah, khususnya di luar area Gerbangkertasusila dalam hal ini kawasan Madura, kawasan Lingkar Selatan Jawa Timur, kawasan Tapal Kuda dan kawasan Pantura," paparnya.
Masih terkait dengan ketimpangan antarwilayah, ia menilai karakter dan potensi wilayah di Jatim sangat beragam. Karena itu, perlu afiirmative policy, dengan konsep pembangunan berdasar pada kewilayahan (spasial development) dengan memahami karakteristik wilayah masing-masing. Daerah-daerah tersebut juga masuk daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan tingkat kesejahteraan yang rendah pula.
"Karena itu, perlu untuk menyegerakan penumbuhan sektor industri berbasis pertanian di wilayah-wilayah yang selama ini masuk dalam zona pertumbuhan dan pendapatan per kapita rendah. Di sini dibutuhkan pemetaan ekonomi yang solid dan strategi investasi yang terpadu," katanya.
Alokasi APBD pada setiap level pemerintahan perlu difokuskan untuk mendorong sektor pertanian dan industri, termasuk alokasi DAK (dana alokasi khusus). Agus Cahyono menegaskan, APBD harus dipastikan untuk kepentingan rakyat.
"Selain itu, perlu kebijakan radikal untuk merubah problematika pembangunan yang sudah ada, salah satunya dengan mengeluarkan afirmasi kebijakan khususn untuk sektor pertanian, jika ingin problema “akut”, yakni kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pembangunan dan wilayah dapat teratasi," ungkapnya.
Jubir Fraksi Partai Gerindra Farid Kurniawan Aditama juga mengaku prihatin dengan kondisi kemiskinan dan ketimpangan di Jatim.
"Kami prihatin bahwa hingga tahun 2024, masih ada hampir 4 juta penduduk Jawa Timur hidup dalam kemiskinan, terutama di Madura, Probolinggo, Tuban, dan Ngawi. Ini menunjukkan bahwa pembangunan belum menyentuh wilayah-wilayah tertinggal," ujarnya.
Oleh karena itu, Fraksi Partai Nasdem menekankan perlunya skema percepatan yang konkret dan terukur, serta kebijakan afirmatif untuk meningkatkan kualitas SDM dan layanan dasar. Selain itu, ia juga menyoroti ketimpangan wilayah yang semakin tajam karena pertumbuhan ekonomi hanya terkonsentrasi di Gerbangkertasusila.
"RPJMD perlu menyusun skenario konektivitas wilayah dan membuka pusat pertumbuhan baru di Madura, Pantura, Mataraman, dan Tapal Kuda, melalui pembangunan infrastruktur strategis yang menarik investasi dan mempercepat mobilitas," ucapnya.