JATIMTIMES – Tradisi perhitungan weton masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Dalam kultur setempat, weton tak hanya dianggap sebagai penanda hari lahir, tetapi juga dijadikan rujukan untuk menilai kecocokan pasangan, menentukan hari baik pernikahan, hingga membaca kemungkinan nasib seseorang di masa depan.
Namun, seiring kesadaran keagamaan yang semakin tinggi, muncul pertanyaan: bagaimana pandangan Islam terhadap praktik perhitungan weton ini?
Baca Juga : Cuaca Sabtu 5 Juli 2025: Hujan Ringan dan Petir Landa Beberapa Wilayah Jatim
Sebagai masyarakat yang kaya tradisi, orang Jawa telah mewariskan sistem penanggalan berbasis hari pasaran dan hitungan angka neptu secara turun temurun. Bagi mereka, weton adalah alat bantu untuk menakar keberuntungan atau kesialan, terutama dalam urusan besar seperti pernikahan, pembangunan rumah, hingga membuka usaha baru.
Masalah kerap muncul ketika weton menjadi alasan utama pembatalan rencana pernikahan karena dianggap “tidak cocok” menurut perhitungan. Padahal, dari perspektif akidah, keyakinan yang mengarah pada kekuatan selain Allah dalam menentukan takdir dapat menyerempet pada bahaya syirik.
Islam memandang sebuah tradisi bukan sekadar dari praktiknya semata, tapi juga dari dasar ilmu dan niat yang mendasarinya. Menurut Ustadz Abdillah Amiril Adawi dari Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, weton pada dasarnya adalah sistem hitungan berbasis hari, bulan, dan tahun dalam kalender Jawa. Jika sistem ini dikembangkan melalui riset dan pengalaman empiris yang berulang, maka hukumnya masuk dalam kategori mubah alias boleh. Ini sebagaimana ilmu lain seperti astronomi atau meteorologi.
Namun, jika weton sekadar didasarkan pada pendapat seseorang tanpa landasan ilmiah, maka penggunaannya tetap boleh, dengan catatan si pembuatnya adalah orang yang saleh dan berilmu, serta memenuhi standar keilmuan dalam pandangan syariat. Dalam hal ini, konsep karamah (karunia luar biasa dari Allah) bagi para wali dapat menjadi alasan logis, selama tetap diyakini bahwa segala sesuatu tetap berada di bawah kuasa Allah SWT.
Islam secara tegas melarang umatnya mempercayai bahwa weton memiliki pengaruh mutlak terhadap nasib, termasuk keharmonisan rumah tangga. Jika seseorang meyakini bahwa kecocokan weton adalah penentu sukses atau gagalnya pernikahan, maka keyakinan semacam itu tergolong menyimpang, karena menempatkan weton sebagai entitas berkuasa di luar kehendak Allah.
Analogi yang digunakan oleh para ulama sangat relevan: sebagaimana seseorang minum obat untuk sembuh, tetapi tetap menyadari bahwa kesembuhan datang dari Allah, begitu pula seharusnya dalam menyikapi weton. Jika sekadar diyakini sebagai bagian dari kebiasaan, bukan kebenaran mutlak, maka hal tersebut masih bisa ditoleransi.
"Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini ketetapan adanya karamah bagi para kekasih Allah. Pandangan ini berbeda sama sekali dengan anggapan Muktazilah. Bagi para wali, maka ia mendapat ilham dari Allah untuk mengetahui suatu kejadian di masa depan. Ia diberikan kabar dan ini merupakan kehendak Allah atas dirinya". ('Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Maktabah Syamilah, hal. 353 jil.4)
Dalam diskursus keilmuan Islam, para ulama memiliki pandangan yang bervariasi terkait tradisi semacam ini. Imam Syafi’i, seperti dikutip oleh Ibnul Firkah, memberikan penjelasan yang menyejukkan: jika seorang ahli perhitungan percaya bahwa segala sesuatu tetap terjadi atas kehendak Allah, dan angka-angka hanyalah kebiasaan yang berulang (sunnatullah), maka tak mengapa menggunakannya sebagai pertimbangan. Namun, celaan muncul ketika seseorang meyakini bahwa makhluk baik bintang, angka, atau hari dapat memberi pengaruh secara independen.
Baca Juga : Kalender Jawa Weton Sabtu Pon 5 Juli 2025: Karakter, Rezeki, hingga Jodoh
Islam tidak serta-merta menolak kearifan lokal. Dalam konteks weton, pemaknaan yang proporsional sangat diperlukan. Jika weton digunakan sebagai alat bantu sosial atau psikologis, misalnya untuk menenangkan hati, menyatukan keyakinan keluarga, atau menghindari konflik, selama tetap menyandarkan segalanya kepada takdir Allah, maka penggunaannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Namun, yang harus dijauhi adalah fanatisme berlebihan terhadap hasil perhitungan weton, apalagi jika berujung pada penolakan jodoh, permusuhan, atau prasangka buruk terhadap masa depan.
Pandangan Islam terhadap weton tidak serta-merta hitam atau putih. Ia sangat bergantung pada niat, pemahaman, dan cara masyarakat menggunakannya. Bila weton hanya dianggap sebagai tradisi atau kebiasaan turun-temurun yang tidak bertentangan dengan akidah, maka tidak menjadi soal.
Namun, jika sampai diyakini bahwa weton memiliki kuasa atas jalan hidup seseorang, maka Islam dengan tegas mengatakan bahwa itu adalah bentuk penyimpangan. Sebab, tak ada kekuatan di bumi ini yang bisa menyaingi ketetapan Allah SWT.
Allah SWT dalam surah Al-Jin ayat 26-27 berfirman: "(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya".