JATIMTIMES - Politisi muda Partai Golkar Ahmad Irawan memberikan kritik atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilihan umum (pemilu). Hal tersebut tercantum dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Dalam hal ini, gugatan diajukan oleh perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (Perludem), yang mengajukan pengujian sejumlah pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga : Hasto Kristiyanto Dituntut 7 Tahun Penjara dalam Kasus Harun Masiku
Dalam hal ini, Perludem meminta agar Pemilu untuk tingkat nasional dapat dipisah dengan gelaran pemilu tingkat daerah. Yakni dengan diberi jarak setidaknya selama 2 tahun.
Menurut Irawan, putusan tersebut menunjukkan adanya tirani pada Mahkamah Konstitusi (MK). Yang secara nyata bertindak dengan pendapat dan hukumnya sendiri. "Putusan MK tersebut menunjukkan tirani Mahkamah Konstitusi yang nyata karena MK bertindak dengan pendapat dan hukumnya sendiri tanpa memperhatikan lagi perlindungan terhadap konstitusi UUD 1945," jelas Irawan dikutip dari berbagai sumber.
Menurutnya, MK seharusnya melakukan otokritik. Yakni dengan menindaklanjuti banyak putusan dengan dilandasi atas penghormatan check and balances yang harus berlaku secara timbal balik.
"Penghargaan pembentuk undang-undang kepada MK selama ini dengan menindaklanjuti banyak putusannya dilandasi atas penghormatan check and balances yang harus berlaku secara timbal balik sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi," tutur Anggota Komisi II DPR RI ini.
Mengutip berbagai sumber, ia tak segan menilai bahwa langkah MK tersebut sudah terlalu jauh masuk ke ranah legislasi yang memiliki fungsi sebagai pembentuk undang-undang. Menurutnya, putusan itu menjadi sesuatu yang salah.
“Apa yang diputus Mahkamah Konstitusi itu adalah putusan yang salah, saya tidak ingin berbasa basi lagi tentang putusan MK ini final and binding, sehingga kita harus menghormati kita harus laksanakan,” ujar Irawan.
Baca Juga : Senapati Kediri Melawan Takdir: Menggulingkan Ratu Jalu Demi Mataram
Menurutnya, dalam pasal 22 E ayat 1 juncto ayat 2 telah tegas mengatakan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. "Dan di ayat 2 nya mengatakan bahwa termasuk yang dipilih dalam lima tahun sekai anggota DPRD,” imbuh Irawan.
“Apa yang diputus Mahkamah Konstitusi, putusan terbaru ini itu telah masuk jauh ke ranah legislasi atau wilayah pembentuk undang-undang,” sambungnya.
Selain tidak berbasis pada teks konstitusi, putusan MK tersebut ia nilai tidak berbasis pada original intent. Dimana DPRD masuk dalam proses pemilihan yang digelar dalam 5 tahun sekali.
Irawan menyebut MK sudah mengatur hal-hal yang sifatnya sangat teknis. “Saya berulang kali membaca putusan tersebut, salah satu alasannya terdapat kejenuhan masyarakat dalam memilih, itu bukan masalah konstitusional, itu adalah persoalan implementasi persoalan teknis,” pungkas Irawan.