JATIMTIMES - Dalam lintasan sejarah Islam Jawa awal, nama Syekh Siti Jenar dan Lemah Abang membayang sebagai sosok mistik yang sulit ditangkap batasnya antara fakta, mitos, dan propaganda politik.
Di antara narasi-narasi yang berkembang, khususnya dalam Carita Purwaka Caruban Nagari dan Serat Niti Mani, muncul satu tema menarik: eksekusi tokoh bernama Lemah Abang oleh Sunan Kudus di tahun 1505.
Baca Juga : Harga BBM Pertamina, Shell, dan BP Naik per 1 Juli 2025 di Jatim, Ini Rinciannya
Namun, kajian historiografi kritis membuka fakta mengejutkan: yang dieksekusi bukanlah Syekh Siti Jenar sejati, melainkan seorang tokoh peniru bernama Hasan Ali, yang dalam intrik spiritual dan kekuasaan kala itu, menjadi korban dari permainan nama dan ideologi.
Lemah Abang, Baghdad, dan Ajaran Sasahidan
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, sosok Lemah Abang disebut sebagai pendatang dari Baghdad, penganut paham Syi'ah Muntadhar. Ia datang ke Pengging, Jawa Timur, menyebarkan ajaran spiritual kepada Ki Ageng Pengging dan masyarakat sekitar.
Namun kehadirannya tak diterima oleh para pemuka agama ortodoks. Puncaknya terjadi pada 1505 M, ketika Lemah Abang dieksekusi oleh Sunan Kudus menggunakan keris Kanthanaga—senjata warisan Susuhunan Jati Purba (Syekh Datuk Kahfi)—di Masjid Sang Cipta Rasa, lalu dimakamkan di mandala Anggaraksa, Caruban.
Ia dituduh menyebarkan ajaran Sasahidan: sebuah paham mistik yang berpijak pada kesaksian spiritual bahwa alam semesta adalah pancaran Dzat Tuhan. Dalam ajaran ini, bumi, langit, api, angin, air, bulan, matahari, semua menjadi saksi keberadaan Tuhan yang tersembunyi dalam diri manusia. Ajaran ini dianggap menyimpang karena menyamakan kawula (manusia) dengan Gusti (Tuhan) secara literal, sehingga dimaknai sebagai sesat oleh otoritas Wali Songo.
Namun benarkah tokoh yang dibunuh itu adalah Syekh Siti Jenar? Atau justru Hasan Ali, seorang peniru dengan dendam pribadi?
Hasan Ali dan Dendam Politik dari Cirebon
Sosok Hasan Ali dalam naskah-naskah alternatif digambarkan sebagai Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsu dari Cirebon. Ia dikenal ambisius, pernah berusaha merebut kekuasaan di Keraton Caruban, namun terusir karena membangkang dan memberontak. Dalam pengasingan, ia menyimpan dendam kepada Syekh Siti Jenar yang berhasil mencapai status guru suci di Giri Amparan Jati—status yang diidamkan Hasan Ali.
Ketika usia Syekh Siti Jenar telah senja, dua sosok muncul dari bayang-bayang sejarah: Hasan Ali, yang dikenal sebagai Pangeran Anggaraksa, dan San Ali Anshar al-Isfahani, seorang ulama dari Persia yang pernah satu perguruan dengan Siti Jenar di Baghdad. Keduanya memikul dendam berbeda namun bertemu dalam ambisi yang sama: menjatuhkan nama besar Siti Jenar.
Hasan Ali, anak Rsi Bungsu, tersingkir dari panggung kekuasaan Cirebon karena ambisi dan pembangkangan. Ia menyimpan kemarahan yang dalam terhadap Siti Jenar yang justru diangkat sebagai guru utama dan sosok suci di Giri Amparan Jati. Sementara San Ali Anshar, yang kalah dalam laku spiritual dan ilmu hakikat, menaruh iri hati dan sakit hati yang tak padam terhadap keberhasilan sahabat lamanya itu.
Menyadari bahwa banyak masyarakat di pelosok Jawa menyatakan diri sebagai pengikut Siti Jenar—tanpa pernah melihat wajah atau mendengar langsung ajarannya—keduanya memanfaatkan kevakuman otoritas. Hasan Ali lantas mengaku sebagai Syekh Lemah Abang dan beroperasi di Jawa bagian barat, sementara San Ali mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dan menyebarkan pengaruhnya di Jawa bagian tengah dan timur.
Mereka menyampaikan ajaran-ajaran mistik yang melenceng dari prinsip tauhid Islam, bahkan mencampurkan unsur perdukunan, spiritualisme vulgar, dan simbolisme kosmis yang tidak bersumber dari ajaran Islam tasawuf yang murni.
Dalam naskah-naskah Jawa kuno disebutkan bahwa keduanya menyebarkan paham Sasahidan, ajaran kedelapan yang mengandung klaim bahwa seluruh unsur alam—langit, bumi, api, air, angin, dan bintang—menjadi saksi keilahian manusia. Dalam interpretasi asli, ajaran ini merupakan ekspresi kesatuan eksistensial antara hamba dan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti) yang lazim dalam doktrin wihdatul wujud sufi.
Namun oleh Hasan Ali dan San Ali, konsep itu diseret ke titik ekstrim: manusia bukan sekadar bayang-bayang ilahi, melainkan mengaku sebagai Allah itu sendiri. Bagi masyarakat awam yang tidak mengenal Siti Jenar secara langsung, ajaran tersebut diterima sebagai peninggalan sang wali. Namun bagi Dewan Wali Songo dan para ulama sejati, ini adalah penyimpangan fatal.
Maka, dalam sebuah investigasi panjang yang juga melibatkan nasihat dari Siti Jenar sendiri, kedok keduanya terbongkar. Dewan Wali Songo menjatuhkan vonis hukuman mati: San Ali Anshar dihukum di wilayah kekuasaan Demak, sementara Hasan Ali dieksekusi di Cirebon. Ironisnya, dalam arus fitnah sejarah yang kelam, nama Syekh Siti Jenar yang asli justru ikut terseret sebagai tertuduh, seolah-olah dialah yang dihukum mati oleh Dewan Wali. Padahal, ia hanya menjadi korban pencatutan nama dan pengaburan ajaran oleh dua tokoh yang memalsukan identitasnya.
Tak hanya itu, Sunan Kudus pun turut menjadi korban distorsi sejarah, karena dalam banyak versi babad, ia disebut sebagai eksekutor utama kematian Syekh Siti Jenar—sebuah tuduhan yang tak berdasar. Oleh karena itu, dalam artikel ini, nama Sunan Kudus kami tempatkan secara eksplisit dalam judul, untuk menegaskan bahwa yang sesungguhnya dieksekusi bukanlah Syekh Siti Jenar, dan bahwa Sunan Kudus bukanlah tokoh pelaksananya.
Dalam ranah sosial, masyarakat awam yang belum pernah mengenal langsung Syekh Siti Jenar dengan mudah tertipu. Identitas spiritual dikaburkan, dan ajaran Jenar digeser menjadi bentuk sinkretisme liar antara kepercayaan lokal, sihir, dan filsafat transenden.
Wali Songo: Investigasi dan Eksekusi
Ketika Wali Songo menerima laporan tentang ajaran menyimpang ini, mereka mengira Syekh Siti Jenar telah menyimpang. Namun setelah penyelidikan intensif, mereka justru menemukan bahwa dua peniru itulah yang bertanggung jawab atas distorsi ajaran dan penyesatan publik.
Dewan Wali Songo akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap dua tokoh pemalsu ajaran Syekh Siti Jenar. San Ali Anshar al-Isfahani, yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar dan menyebarkan ajaran sesat di wilayah Demak dan sekitarnya, dihukum mati atas perintah langsung Dewan Wali.
Eksekusi terhadap San Ali dilakukan oleh otoritas Kesultanan Demak dengan keterlibatan langsung Sunan Kalijaga, yang kala itu dipercaya memimpin investigasi dan pelaksanaan keputusan dewan. Sementara itu, Hasan Ali atau Pangeran Anggaraksa, yang mengaku sebagai Syekh Lemah Abang dan menyebarkan ajaran serupa di wilayah Cirebon, juga dijatuhi hukuman mati oleh otoritas lokal dengan keterlibatan Sunan Gunung Jati selaku pemuka spiritual dan penguasa religius Cirebon.
Namun dalam perkembangan sejarah yang dipenuhi bias politik dan kerancuan nama, narasi yang kemudian berkembang justru menuding bahwa Syekh Siti Jenar asli yang dihukum mati, bukan kedua pemalsunya.
Kesalahan ini diperparah oleh propaganda kekuasaan. Dalam masa-masa krusial naiknya Raden Patah dan kemudian Sultan Trenggono ke tampuk kekuasaan Demak, segala yang tidak tunduk kepada otoritas politik diposisikan sebagai musuh.
Politik, Dendam, dan Distorsi Spiritual
Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, naik ke tampuk kekuasaan dengan membawa bekas-bekas trauma Majapahit. Dalam konteks pasca-keruntuhan Majapahit, ia harus menghadapi rivalitas dengan pusat-pusat kekuasaan lama, termasuk kekuatan spiritual non-keraton seperti Ki Ageng Pengging dan gurunya, Syekh Siti Jenar. Karena ajaran Siti Jenar tak berpihak pada struktur sultanat dan lebih menekankan kemandirian spiritual, ia dianggap ancaman ideologis.
Naiknya Sultan Trenggono lebih dramatis lagi. Ia dituduh membunuh saudaranya, Pangeran Suronyoto (Pangeran Sekar Seda Ing Lepen), agar dapat merebut tahta. Kematian sang kakak disamarkan seolah tenggelam di sungai. Strategi politik ini disempurnakan dengan menggandeng para ulama ortodoks sebagai pendukung legitimasi. Maka, siapa pun yang menolak struktur kekuasaan, akan dicap menyimpang.
Baca Juga : Diperingati Setiap 1 Juli, Ini Sejarah Hari Bhayangkara: Lahirnya Kepolisian RI
Masyarakat Pengging, murid-murid spiritual Siti Jenar, bahkan Pangeran Panggung di Bojong, dianggap pembangkang. Maka penyebaran kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo, bahkan konon mayatnya berubah menjadi anjing dan dikubur di bawah mihrab masjid, menjadi narasi yang disebarluaskan sebagai bentuk simbolik penghinaan terhadap ajaran non-mainstream.
Dekonstruksi Narasi: Siapa yang Sebenarnya Mati?
Jika kita menarik ulang benang sejarah dengan pendekatan kritis, terlihat bahwa terjadi distorsi kolektif dalam penulisan sejarah Islam awal Jawa. Satu sisi, kita melihat upaya Wali Songo menjaga kemurnian tauhid. Namun sisi lain memperlihatkan bagaimana spiritualitas dimanipulasi oleh politik dinasti.
Dua tokoh palsu—Hasan Ali dan San Ali Anshar—telah menyamar sebagai tokoh suci dan menyesatkan banyak orang. Mereka pula yang sebenarnya menerima hukuman. Sementara Syekh Siti Jenar sejati, justru kemungkinan besar tetap hidup sampai usia tua, tetap mengajar di jalur spiritualnya yang sunyi.
Dalam logika Islam ortodoks, mengeksekusi seorang sufi senior tanpa pengadilan sah dan hanya berdasarkan dugaan sesat adalah pelanggaran syariat. Maka cerita kematian Siti Jenar—dengan tubuh yang berubah menjadi anjing kudisan—tidak dapat diterima dalam konteks hukum Islam. Narasi ini lebih menyerupai legenda yang dibungkus dalam simbol politik dan keajaiban fiktif.
Antara Nama, Ideologi, dan Kekuasaan
Kisah Hasan Ali dan eksekusinya oleh Sunan Kudus adalah cermin dari zaman ketika batas antara kekuasaan politik, otoritas spiritual, dan identitas keagamaan menjadi sangat cair dan mudah diputarbalikkan. Dalam kabut sejarah, tokoh-tokoh suci bisa disulap menjadi pemberontak, dan para penipu bisa menggunakan nama-nama suci untuk memperdaya.
Namun sejarah, seperti halnya ajaran Sasahidan yang dipercaya Lemah Abang, menyimpan kesaksian dalam lapisan-lapisan tersembunyi. Alam dan waktu akan menjadi saksi atas mana yang hakiki dan mana yang manipulasi. Dalam kerangka ini, Hasan Ali memang menerima eksekusi. Tapi nama Syekh Siti Jenar-lah yang selama berabad-abad menanggung beban distorsi.
Kini, tugas para sejarawan adalah mengembalikan peristiwa itu ke dalam terang akal dan nalar, membersihkan nama-nama yang ternoda oleh fitnah dan kesalahpahaman, dan menunjukkan bahwa sejarah spiritual Jawa bukan sekadar soal mati atau hidup, sesat atau lurus, tapi tentang perlawanan ideologis terhadap dominasi kuasa yang membungkam suara berbeda.
Syekh Siti Jenar: Wali dengan Nasab Mulia, Bukan dari Seekor Cacing
Syekh Siti Jenar adalah sosok yang mengguncang batas-batas ortodoksi dalam sejarah Islam Jawa. Dikenal pula dengan nama Syekh Datuk Abdul Jalil, ia tampil sebagai figur sufi radikal yang menantang struktur kekuasaan religius dan politik Kesultanan Demak pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Namun, sosoknya kerap dikaburkan oleh mitos dan narasi-narasi simbolik, seperti legenda kelahirannya dari seekor cacing yang tercerahkan, sebagaimana termuat dalam Babad Tanah Jawi. Narasi ini bukan hanya mereduksi kedalaman spiritualitasnya, tetapi juga menjadi bentuk delegitimasi terhadap ajaran-ajarannya.
Jika merujuk pada sumber primer yang lebih sistematis dan dapat diverifikasi, seperti Naskah Wangsakerta dari Keraton Cirebon, Syekh Siti Jenar justru memiliki silsilah yang sangat mulia. Dalam manuskrip tersebut disebutkan bahwa ia adalah putra Syekh Datuk Sholeh, cucu dari Syekh Datuk Isa yang berasal dari Bharata Nagari (India). Syekh Datuk Isa merupakan anak dari Maulana Abdul Malik, cicit dari Al-Amir Abdullah Khanuddin, seorang keturunan langsung dari Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Rantai nasab Syekh Siti Jenar menunjukkan keterhubungan genealogis yang jelas dengan jalur keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dari Hasan bin Ali, silsilah tersebut berlanjut kepada putranya, Al-Hasan al-Mutsanna, kemudian kepada Abdullah al-Kamil, diteruskan oleh Muhammad al-Nafs al-Zakiyah, Isa al-Rumi, Ahmad al-Muhajir, dan Ubaidillah.
Garis ini terus mengalir melalui Alwi Amil Faqih, Muhammad Shahib Mirbath, Ali Khali' Qasam, Muhammad, Al-Hasan, Ja’far, dan Ali Nuruddin, hingga sampai kepada Syekh besar Abdul Qadir al-Jilani. Dari beliau, nasab berlanjut kepada Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin, lalu kepada Al-Amir Abdullah Khanuddin, dan diteruskan oleh Maulana Abdul Malik dari Bharata Nagari. Silsilah ini kemudian sampai kepada Syekh Datuk Isa dari Malaka, diteruskan oleh putranya Syekh Datuk Sholeh, dan berujung pada Syekh Datuk Abdul Jalil—yang lebih dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar.
Posisinya sebagai sayyid menempatkan Syekh Siti Jenar dalam jejaring elite intelektual Islam di Asia Tenggara. Di tengah transformasi sosial pasca-Majapahit menuju Islamisasi politik, ia hadir dengan gagasan-gagasan spiritual sekaligus sosial yang revolusioner. Salah satunya adalah komunitas Lemah Abang yang ia dirikan di wilayah utara pesisir Jawa. Di sini ia membangun tatanan masyarakat egaliter yang menolak feodalisme. Semua manusia dipandang sama di hadapan Tuhan. Inilah cikal bakal munculnya corak Islam Abangan, yang mengutamakan hakikat ketuhanan daripada formalisme syariat.
Namun ajaran yang paling kontroversial adalah "Manunggaling Kawula-Gusti," yang oleh kalangan ulama fiqh dipandang sebagai bentuk hulul (inkarnasi). Konsep ini sejalan dengan doktrin Wahdatul Wujud ala Ibnu Arabi. Dalam konteks Jawa abad ke-15, ajaran ini sangat berisiko, karena berpotensi mengikis otoritas syariat yang menjadi basis kekuasaan para wali dan penguasa Demak.
Ketegangan antara Syekh Siti Jenar dan para wali—terutama Sunan Giri—berujung pada pemanggilan dan persidangan di hadapan Dewan Wali Songo. Dalam sejumlah versi babad, disebutkan bahwa ia dieksekusi karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Namun, versi yang lebih kritis dan filosofis menunjukkan bahwa yang dieksekusi bukanlah dirinya, melainkan tokoh-tokoh seperti Hasan Ali dan San Ali Anshar yang menyelewengkan ajarannya.
Hasan Ali, cucu Prabu Surawisesa, mendirikan pedukuhan tandingan di Lemah Abang dan mengklaim sebagai penerus Syekh Siti Jenar. Ajarannya bercampur dengan praktik sihir dan penguatan ego spiritual. San Ali Anshar dari Demak pun demikian, mempraktikkan zikir yang mencampurkan laki-laki dan perempuan dalam suasana emosional yang mengaburkan batas syariat. Keduanya dieksekusi oleh Wali Songo karena membahayakan tatanan sosial dan agama.
Sementara itu, Syekh Siti Jenar disebut memilih hidup dalam uzlah di kawasan sunyi bernama Kemlaten, selatan Dukuh Lemah Abang. Di sanalah ia wafat sekitar tahun 1530 M dalam keadaan damai. Bersama istri dan murid-muridnya seperti Nyi Mas Gandasari dan Ki Ageng Pengging, ia menjalani kehidupan spiritual yang menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan. Jenazahnya dimakamkan secara syar’i, dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan oleh Wali Songo sebagai penghormatan terakhir.
Dengan demikian, sosok Syekh Siti Jenar tak dapat dipahami hanya melalui lensa ortodoksi atau mitologi. Ia adalah seorang sufi yang membawa pesan kesetaraan, pemurnian spiritual, dan perlawanan simbolik terhadap kekuasaan feodal. Dalam konteks sejarah Nusantara, ia bukan pengacau, melainkan pembaharu—seorang penyambung napas tasawuf profetik di tengah transisi peradaban.
Kisahnya menuntut pembacaan ulang yang jernih, bukan sekadar reproduksi dongeng. Dalam cahaya historiografi kritis, Syekh Siti Jenar adalah suara dari pinggiran sejarah yang menolak dibungkam oleh tafsir tunggal kekuasaan.