JATIMTIMES - Dalam pusaran sejarah Mataram akhir abad ke-17, tokoh Raden Kajoran muncul sebagai simbol perlawanan yang tak sekadar dipantik oleh ambisi politik, melainkan juga oleh dendam sejarah, ikatan kekerabatan, dan spirit perlawanan terhadap tirani.
Dalam konteks ini, dua kali serangan besar ke jantung Mataram pada penghujung 1676 dan awal 1677, yang dipimpin oleh Raden Kajoran bersama laskar Madura dan pasukan Jawa Timur, menjadi peristiwa penting yang menandai melemahnya kekuasaan Sunan Amangkurat I.
Baca Juga : Trump Klaim Hancurkan Fordow, Iran Balas: Itu Bohong!
Serangan pertama terjadi pada bulan November 1676, ketika kekuatan pemberontak berkonsolidasi di Kajoran dan bergerak menuju gerbang Taji, pintu timur menuju istana. Kajoran bukan sekadar titik geografis, melainkan pusat jaringan kekuasaan kultural dan spiritual yang membentang dari pegunungan Menoreh hingga pesisir selatan. Setelah kekalahan Mataram dalam pertempuran di Gegodog, Raden Kajoran menghimpun kekuatan besar yang terdiri dari laskar Madura, pasukan Jawa Timur, dan para petani yang kecewa terhadap kebijakan pajak dan dominasi elite keraton. Nama Dandangwacana muncul sebagai panglima laskar besar yang bergerak melalui Jipang dan Pajang, membakar semangat rakyat sepanjang jalur tersebut.
Dalam catatan Bagus Alim, juru tulis Sunan Amangkurat I, disebutkan bahwa pasukan pemberontak mencapai gerbang Taji dengan jumlah sekitar 100.000 orang. Angka ini boleh jadi dilebih-lebihkan dalam suasana panik, tetapi menunjukkan skala ancaman yang dirasakan Mataram. Serangan ini menyebabkan kekacauan besar di ibukota; banyak pembesar keraton tak lagi mengakui Amangkurat I sebagai gusti mereka, seperti dicatat dalam Daghregister tanggal 12 November 1676.
Sunan Amangkurat I menggelar sidang agung. Ia mengirim Pangeran Adipati Anom bersama saudara-saudaranya, termasuk Pangeran Puger dan Pangeran Singasari, didampingi Tumenggung Mangunagara dan Tumenggung Wirasari. Mereka mengepung Kajoran dan bertempur selama sehari penuh. Namun, malam hari pasukan Mataram mundur. Kajoran, sadar akan risiko kekalahan total, melarikan diri bersama keluarga dan kerabatnya ke arah Surabaya. Di sana ia disambut oleh Raden Trunajaya, sekutu dan menantunya.
Perlawanan tak berhenti. Hanya berselang beberapa minggu, sekitar Desember 1676, Raden Kajoran kembali memobilisasi kekuatan, kali ini mencapai 150.000 orang, dan menyerang kembali gerbang Taji. Sunan menurunkan kekuatan penuh, termasuk Pangeran Purbaya Muda (putra Pangeran Purbaya II), serta Pangeran Blitar, Kiai Pulangjiwa, dan Kiai Butaijo. Pertempuran kedua berlangsung sengit, tetapi hasilnya serupa: pasukan Kajoran kembali mundur.
Dalam laporan Jonge (Opkomst, jil. VII), disebutkan bahwa serangan itu terjadi sebulan sebelum tindakan militer Pangeran Martasana di Pingit pada Januari 1677. Martasana mengejek para saudaranya yang gagal menahan Kajoran. Ia menyindir bahwa jika benar mereka putra-putra Sunan, niscaya Raden Kajoran tak akan sempat melarikan diri. Bahkan perempuan dan anak-anak dari pihak pemberontak pun lolos dengan mudah. Kritik ini menyingkap ketegangan internal dalam elite Mataram yang justru memudahkan musuh.
Motif serangan Raden Kajoran lebih dari sekadar politik. Ia adalah imam agung dan guru spiritual yang berpengaruh luas. Penulis mencatat bahwa "dalam sejarah Jawa, gerakan rakyat tidak pernah sepenuhnya bersifat ekonomi atau politik belaka; selalu ada akar spiritual dan jejak dendam sejarah di dalamnya." Dua kali serangan ke gerbang Taji membuktikan hal tersebut secara nyata. Kajoran tak hanya membawa pasukan, tapi juga membawa semangat pembebasan dari apa yang dianggapnya kezaliman istana.
Dendam keluarga juga menjadi pendorong kuat. Pangeran Tepasana, kerabat Kajoran, pernah menjadi korban politik keraton pada 1661. Kini, cucunya, Raden Gogok, menjadi komandan pasukan yang merebut desa-desa bawah Tanumenggala, berkoalisi dengan Raden Trunajaya. Munculnya nama Gogok dan Dandangwacana mengindikasikan bahwa gerakan ini adalah gabungan kekuatan lama yang terpinggirkan, kini bersatu dalam balas dendam kolektif.
Wangsenggati, salah satu bekas laskar Madura yang kemudian menyerah pada Kompeni pada Januari 1679, memberikan kesaksian berharga. Ia menyebut bagaimana setelah merebut Kertasana dan membakar semangat rakyat Madiun dan Ponorogo, mereka berhasil membujuk Tumenggung Jayadipa (Madiun) dan Ngabei Martawangsa (Ponorogo) untuk bergabung. Ini membuktikan bahwa perlawanan yang dipimpin Kajoran dan Trunajaya memiliki basis dukungan sosial yang luas di pedalaman Jawa.
Pasukan ini kemudian bergerak ke Jipang, Grobogan, dan akhirnya Demak. Di sana, pada 11 Desember 1676, mereka berhasil menguasai kota dan mendapatkan dukungan sekitar 7.000 penduduk. Strategi ini menunjukkan bahwa serangan ke Mataram tidak hanya frontal, tetapi juga berbasis jaringan dan infiltrasi sosial.
Dari sudut pandang Belanda, sebagaimana tercermin dalam Daghregister, kekuatan Mataram berada dalam posisi krisis. Penarikan pasukan dari pantai ke pedalaman pada akhir November 1676, serta laporan bahwa pelabuhan-pelabuhan Mataram sudah jatuh ke tangan Madura (kecuali Jepara), memperlihatkan skala ancaman. Bahkan desas-desus dari Banten menyebut Mataram sudah dikepung sepenuhnya.
Raden Kajoran, dalam laporan Belanda, hidup seperti seorang pendeta: menyepi, tidak mencampuri urusan duniawi, dan dihormati luas karena asketismenya. Tapi dari tempat pertapaannya itu, ia justru memancarkan api perlawanan. Keberhasilannya memobilisasi kekuatan dalam dua gelombang besar ke gerbang Taji menjadi bukti kekuatan pengaruh spiritual sekaligus politisnya.
Akhirnya, dua kali serangan itu gagal menembus istana, tapi tidak gagal mengguncang fondasi kekuasaan Mataram. Tak lama setelah itu, pada akhir 1679, Raden Kajoran ditangkap dan dieksekusi. Tapi ingatan tentangnya tetap hidup, menjadi simbol kesalehan yang berani menentang ketidakadilan. Dalam perspektif historiografi kritis, peristiwa ini menegaskan bahwa kekuasaan keraton tidak pernah berdiri sendiri. Ia dikepung oleh jaringan moral, spiritual, dan sosial yang jika diabaikan, akan bangkit dalam bentuk perlawanan.
Raden Kajoran tidak hanya dua kali menyerang jantung Mataram secara militer. Ia juga menggugat legitimasi moral dan spiritual kerajaan yang mulai ditinggalkan rakyatnya. Dan dalam pusaran sejarah Jawa, itu lebih menggetarkan daripada serangan bersenjata semata.
Baca Juga : B-2 dan Tomahawk Siap Hantam Iran, Ini Langkah Militer AS yang Mengejutkan
Raden Kajoran: Mertua dan Mentor Trunajaya dalam Pemberontakan Mataram
Dalam gejolak politik abad ke-17, sejarah Jawa mencatat peristiwa besar yang mengguncang fondasi kekuasaan dinasti Mataram: pemberontakan Trunajaya (1674–1680). Namun, di balik sosok utama Trunajaya, berdirilah tokoh kharismatik dari pegunungan selatan yang memainkan peran kunci namun kerap luput dari sorotan dominan: Raden Kajoran, dikenal pula sebagai Panembahan Rama. Ia bukan sekadar mertua Trunajaya, melainkan pemimpin spiritual, konseptor ideologis, dan penggagas utama dari gerakan yang menantang legitimasi Amangkurat I.
Raden Kajoran berasal dari lingkungan ulama terpandang. Garis nasabnya menyambung ke Sunan Tembayat dan Ki Ageng Giring, dua figur penting dalam Islamisasi Jawa. Sebagai ulama sekaligus bangsawan lokal, ia memiliki otoritas ganda—spiritual dan sosial—yang memberinya pengaruh luas di kalangan rakyat pedalaman. Di sinilah posisinya berbeda dari banyak tokoh sezamannya: ia tidak hanya membaca kitab, tetapi juga membaca zaman. Ketika tirani Mataram di bawah Amangkurat I kian menindas, Kajoran tidak tinggal diam.
Trunajaya, tokoh pemberontak dari Madura, menemui Kajoran setelah terusir dari lingkungan istana Mataram. Laporan VOC tertanggal 5 Juli 1677 menyebutkan bahwa Trunajaya adalah “pangeran Mataram yang dibesarkan di lingkungan Sunan yang sudah tua ini,” namun mengalami pengkhianatan. Ia menulis kepada Speelman dan Couper, menyatakan dirinya diburu “tanpa sebab” oleh Adipati Sampang dan Sunan Amangkurat I. Dikecewakan kekuasaan, Trunajaya menemukan pelindung dan pembimbing dalam diri Kajoran. Hubungan mereka diperkuat secara simbolik dan politis melalui pernikahan Trunajaya dengan putri Kajoran, dikukuhkan secara resmi pada 15 Maret 1677.
Sekitar tahun 1670, terbentuk aliansi rahasia antara Trunajaya, Raden Kajoran, dan Pangeran Adipati Anom—putra mahkota Mataram. Ketiganya memiliki tujuan tunggal: menjatuhkan Amangkurat I. Kajoran menolak tampil sebagai komandan perang, tetapi memilih menjadi otoritas spiritual. Ia mendorong Trunajaya untuk tampil sebagai pemimpin gerakan, sementara Adipati Anom tetap dalam keraton menanti saat yang tepat. Aliansi ini membentuk segitiga kekuasaan yang menantang tatanan lama.
Pemberontakan dimulai 1674. Trunajaya menghimpun kekuatan Madura dan pasukan Makassar pimpinan Karaeng Galesong. Pada 1676, Surabaya jatuh ke tangan pemberontak. Dalam Pertempuran Gegodog (13 Oktober 1676), pasukan Mataram dipukul mundur, termasuk oleh pasukan Kajoran. Kudus dan Demak dikuasai, dan rakyat pesisir serta pedalaman Jawa mulai menyambut laskar Trunajaya sebagai pembebas dari tirani. Pengaruh Kajoran tampak dalam dukungan dari kalangan santri, ulama, dan petani—sebuah basis sosial yang melampaui strategi militer.
Kajoran bukan sekadar pendukung logistik. Ia adalah poros ideologis. Dalam dunia spiritual-politik Jawa, ia mengemban peran wali yang melampaui sekat duniawi. Dalam naskah-naskah babad, ia digambarkan sebagai pemangku "kebatinan zaman"—menjaga kemurnian agama sekaligus menuntun arah politik ke jalan kebenaran. Dukungan Kajoran terhadap pemberontakan bukan hanya karena kebencian pribadi terhadap Mataram, tetapi sebagai ekspresi perlawanan terhadap “kerusakan moral dalam istana”.
Pada Juni 1677, pasukan gabungan Trunajaya dan Kajoran menaklukkan Plered. Amangkurat I melarikan diri dan wafat dalam pelarian di Tegalarum. Namun, aliansi lama pecah. Trunajaya tidak menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom seperti yang direncanakan, melainkan memproklamirkan diri sebagai Panembahan Maduretna, dan memusatkan kekuasaan di Kediri. Kajoran kembali ke daerahnya, memelihara jaringan perlawanan spiritual.
Tahun 1678–1679, Amangkurat II (Adipati Anom) yang kini bersekutu dengan VOC, melancarkan ofensif balik. Komandan Belanda Jan Albert Sloot menaklukkan daerah-daerah pemberontak. Pada September 1679, Raden Kajoran ditangkap dan dieksekusi. Trunajaya menyusul ditangkap di Gunung Kelud dan dihukum mati pada Januari 1680.
Eksekusi Raden Kajoran menjadi simbol matinya poros spiritual rakyat. Namun, dalam historiografi Islam-Jawa, kematian Kajoran tidak menandai akhir perjuangan. Ia tetap dikenang sebagai guru yang berani melawan tirani, seorang wali yang mengusung moralitas dalam politik. Makamnya di Kajoran, Klaten, menjadi tempat ziarah. Ia tak dikenang sebagai pemberontak, tetapi sebagai pelita zaman yang mencoba menuntun kekuasaan kembali ke arah adil dan bermoral.
Dalam pandangan penulis, kekuasaan yang melupakan dimensi spiritual akan kehilangan legitimasi di mata rakyat. Seperti tersirat dalam petuah leluhur Jawa:
“Sapa kang ngawula marang daulat, nanging lalai marang Gusti, bakal kelangan loro-lorone.”
(Barang siapa mengabdi pada raja tetapi lalai kepada Tuhan, akan kehilangan keduanya).
Dalam konteks inilah, perlawanan rakyat bukan sekadar perebutan takhta atau wilayah, tetapi pergulatan batin untuk menegakkan ruh keadilan. Gerakan seperti yang dipimpin Raden Kajoran tidak lahir dari ambisi kekuasaan belaka, melainkan dari kekecewaan mendalam terhadap raja yang dianggap telah kehilangan pamor spiritual sebagai khalifah di tanah Jawa.