JATIMTIMES - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari 186 organisasi, menyatakan penolakan terhadap rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR. Untuk menegaskan sikap tersebut, mereka menginisiasi petisi menolak dwifungsi TNI yang kini telah mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
Petisi ini dibuat pada Minggu, 16 Maret 2025, dan hingga Senin (17/3) pukul 18.53 WIB telah mengumpulkan 9.520 tanda tangan.
Koalisi menyoroti sejumlah pasal dalam revisi UU TNI yang dinilai berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer, seperti yang tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah ke DPR pada 11 Maret 2025.
Koalisi juga menilai bahwa revisi ini tidak memiliki urgensi dalam meningkatkan profesionalisme TNI, justru sebaliknya, berpotensi mengancam prinsip militer yang profesional.
"Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil." tulis Koalisi, dalam keterangan resminya kepada JatimTIMES, Senin (17/3/2025).
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, Koalisi menekankan bahwa yang seharusnya menjadi prioritas adalah revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, bukan revisi UU TNI. Koalisi juga menegaskan bahwa reformasi peradilan militer adalah mandat konstitusional yang harus dijalankan untuk memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negara, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU 34/2004 tentang TNI.
Salah satu poin utama yang dipersoalkan Koalisi adalah perluasan penempatan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil. Di mana Koalisi menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme TNI serta berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti terbatasnya akses bagi warga sipil ke jabatan strategis, meningkatnya dominasi militer di ranah sipil, serta potensi konflik kepentingan dan loyalitas ganda.
Lebih jauh, kebijakan ini juga dinilai bisa merugikan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perempuan dalam memperoleh kesempatan yang setara untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan.
Selain itu, Koalisi mengkritisi wacana pelibatan militer dalam operasi di luar perang yang didasarkan pada Memorandum of Understanding (MoU). Mereka menegaskan bahwa pelibatan semacam itu seharusnya hanya terjadi atas dasar keputusan politik negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI.
"Kami memandang bahwa perluasan tugas militer untuk menangani narkotika adalah keliru dan bisa berbahaya bagi negara hukum. Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan, penegakkan hukum yang proporsional, bukan perang," kata Koalisi.
Selain itu, Koalisi juga menilai pendekatan militeristik dalam menangani narkotika justru berisiko menimbulkan kekerasan berlebihan. Koalisi mengingatkan akan dampak dari kebijakan "war model" yang diterapkan di Filipina pada masa pemerintahan Rodrigo Duterte, yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Koalisi juga menyoroti rencana revisi yang akan menghilangkan kewajiban persetujuan DPR dalam operasi militer selain perang. Dalam rancangan perubahan ini, keputusan pelibatan TNI dalam operasi semacam itu cukup diatur melalui Peraturan Pemerintah, tanpa keterlibatan parlemen.
"RUU TNI mau meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Ini akan menimbulkan konflik kewenangan atau tumpang tindih dengan lembaga lain dalam mengatasi masalah di dalam negeri," tutur Koalisi.
Mereka menilai bahwa perubahan ini secara tersirat merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan DPR oleh TNI dalam operasi militer selain perang serta berpotensi melemahkan kontrol sipil terhadap institusi militer.
Lebih lanjut, Koalisi mengungkapkan kekhawatiran bahwa revisi UU TNI ini hanya akan menjadi alat untuk melegitimasi keterlibatan prajurit dalam berbagai urusan domestik. Seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan perkebunan sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga pengelolaan ibadah haji.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Koalisi menegaskan penolakannya terhadap revisi UU TNI yang saat ini sedang dibahas oleh DPR.
"Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung Pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia," tegas Koalisi.